Universitas Airlangga Surabaya Berawal dari NIAS

Unair Surabaya

Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH  *)

Yousri Nur Raja Agam  MH

Yousri Nur Raja Agam MH

 

UNIVERSITAS Airlangga adalah perguruan tinggi yang sangat dibanggakan warga kota Surabaya. Bahkan, juga bagi masyarakat Indonesia bagian timur.

Perguruantinggi ini termasuk perguruantinggi “tertua” di Jawa Timur. Embrio sekolah tinggi ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Ada dua sekolah yang berdiri tahun 1913 sebagai cikalbakal Unair (Universitas Airlangga). Pertama: NIAS (Nederlands Indische Artsen School) atau Sekolah Dokter Hindia dan STOVIT (School Tot Opleiding van Indische Tandartsen) atau Sekolah Dokter Gigi.

Kedua sekolah ini telah banyak menghasilkan ahli di bidang kesehatan umum dan gigi. Dan tidak sedikit di antara mereka kemudian meneruskan menjadi dokter umum dan dokter gigi. Salah satu dokter gigi itu adalah tokoh pejuang Surabaya, alm.Prof.Dr.drg.Mayjen TNI (Purn) Moestopo. Namanya sekarang diabadikan sebagai nama jalan yang berada di depan kampus Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi Unair. Sebelumnya, jalan inik bernama Jalan Dharmahusada, karena juga berada di kawasan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Dr.Sutomo.

Sekolah kedokteran umum dan kedokteran gigi ini kemudian ditingkatkan satusnya menjadi fakultas tahun 1948. Namun ke dua fakultas ini, yakni Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) berada di bawah naungan Universitas Indonesia, sebagai cabang.

Baru pada tanggal 10 November 1954, perguruantinggi dengan nama Universitas Airlangga (Unair) resmi “dilahirkan” berdasarkan PP (Peraturan Pemerintah) No.57 tahun 1954. Nama Airlangga diambil dari nama raja yang memerintah di belahan timur Nusantara pada tahun 1019-1042. Lambangnya, burung garuda tunggangan Wisnu yang membawa guci berisi “Amrta”, yakni air kehidupan abadi yang dimaknai sebagai sumber ilmu yang senantiasa kekal.

Saat diresmikan kelahirannya itu oleh Presiden Soekarno, ada lima fakultas. Selain FK dan FKG, adalah Fakultas Hukum (FH), Fakultas Sastra (FS), serta Fakultas Ilmu Pendidikan). Uniknya, FS dan FIP berada di luar kota Surabaya. FS berada di Denpasar Bali dan FIP di kota Malang.

Tahun 1961, Sekolah Tinggi Ekonomi Surabaya digabungkan ke Unair sebagai Fakultas Ekonomi (FE). Tahun 1962, FS yang ada di Denpasar “cerai” dengan Unair dan bergabung Universitas Udayana. Demikian pula dengan FIP di Malang yang memisahkan diri dari Unair dan bergabung ke IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Malang.

Unair terus berkembang dan melebarkan sayapnya sebagai perguruantinggi negeri kebanggaan warga kota Surabaya. Tahun 1964 didirikan Fakultas Farmasi (FF), tahun 1972 didirikan pula Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), tahun 1977 berdiri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), tahun 1982 Fakultas Ilmu Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), tahun 1993 didirakan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) dan Fakultas Psikologi (FPsi) dan tahun 1998, Unair kembali memiliki Fakultas Sastra (FS). Selain itu, tahun 1991 Unair membuka Program Pascasarjana.

Data yang diungkap pada saat peringatan Ulang Tahun ke-50 Unair, tanggal 10 November 2004 lalu, perguruan tinggi ini telah mewisuda 37.867 orang sarjana (S1), 3.678 orang Magister Sains (S2) dan Spesialis 1 (Sp 1) 4.105 orang, serta Doktor (S3) sebanyak 546 orang. Di samping itu Unair juga sudah melepas tenaga menengah spesialis D-3 sebanyak 11.795 orang dan D-4 sebanyak 463 orang.

Fakultas Kedokteran (FK) memang merupakan primadona bagi Unair. Fakultas ini sekarang benar-benar merupakan fakultas yang istimewa dan favorit. Untuk masuk fakultas ini tidak sembarangan orang bisa. Di samping pintar, orangtua atau yang membiayai mahasiswa di FK ini harus “kaya”. Betapa tidak, sebab dalam masa penerimaan mahasiswa baru sejak akhir tahun 1990-an, kecenderungan itu sudah terlihat. Pada SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2004 misalnya, untuk bisa masuk FK, sekurang-kurangnya harus menyiapkan dana antara Rp 60 juta sampai Rp 100 juta.

Memang, di masa sekarang ini, lulusan FK Unair tidak hanya menjadi dokter di wilayah Jawa Timur. Para alumninya sudah tersebar ke seluruh Nusantara dan terbanyak di wailayah Indonesia bagian timur.

Kecuali berdiri sendiri, perguruantinggi ini juga melalkukan kerjasama dengan berbagai perguruantinggi lain di Indonesia, bahkan dengan beberapa perguruantinggi di mancanegara. Tidaklah mengherankan, jika Unair sekarang ini diasuh oleh para dosen dan gurubesar yang berasal dari berbagai perguruantinggi ternama di tanahair dan luarnegeri. Tahun 2004, jumlah mahasiswa yang kuliah di Unair sebanyak 20.607 orang yang tersebar di 11 fakultas dan program studi. Ada 127 gurubesar yang mengajar Unair saat ini, di samping 228 doktor, 751 orang bergelar Magister (S2), 174 Sp-1 dan 248 orang S-1.

Dengan perkembangan situasi dan kebijakan pemerintah sekarang ini, perguruantinggi negeri tidak lagi mempunyai ketergantungan dari pemerintah. Subsidi kepada perguruantinggi negeri mulai diperhitungkan. Bahkan, nantinya seluruh perguruantinggi negeri berubah satusnya menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara). Artinya, perguruantinggi dikelola “seperti perusahaan”.

Prof.Dr.Med.dr.Puruhito yang memegang tampuk pimpinan tertinggi sebagai rektor Unair di hari ulang tahun “emasnya”, mengakui, bahwa sekarang usia Unair sudah tua. Tertua ke tiga di samping Universitas Indonesia (UI) di Jakarta dan Universitas Gajah Mada (UGM) di Jogjakarta.

Perubahan status perguruantinggi negeri menjadi PT BHMN di usia ke-50 ini, merupakan momentum yang sangat tepat bagi Unair untuk introspeksi. Kita harus berkaca, apakah Unair ini masih besar seperti dulu dengan lulusan berkualitas dan berwawasan internasional? Tentu ini yang paling tepat untuk direnungkan, kata Puruhito.

Filosofi Unair kini berubah menuju perguruantinggi yang mandiri, akuntabel dan bertaraf internasional. Kita tidak lagi tergantung pada subsidi negara, karena jatah pendidikan pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk perguruantinggi dikurangi. Tidak hanya itu, selama ini perguruantinggi seolah-olah dimanja dan dininabobokkan dengan subsidi, sehingga tidak mandiri. Subsidi itu ternyata tidak mendidik. Untuk itulah, Unair bertekad akan maju dengan pola otonomi kampus melalui PT BHMN.

Unair, harus akuntabilitas, sebagai pertanggungjawaban kepada rakyat agar Unair benar-benar dipercaya sebagai lembaga pendidikan tinggi.

Walaupun gerak langkah dan cita-cita menuju hari esok sudah dicanangkan, namun  Puruhito melihat konsep PT BHMN itu belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebab, katanya otonomi bukan berarti kebebasan dalam arti bebas sebebas-bebasnya. Beberapa hal yang menyangkut kebijakan masih diatur oleh pemerintah pusat.

Salah satu contoh, katanya, masalah kebijakan pengaturan PR (Pembantu Rektor), yakni PR-1, PR-2 dan PR-3. Seharusnya keberadaan PR tidak harga mati, tetapi dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan perguruantinggi yang disesuai dengan banyaknya mahasiswa.

Saat ini, Unair menempati tiga kampus yang tersebar di Surabaya. Kampus A ( FK, FKG ) di Jl. Prof. Dr. Moestopo, Kampus B ( FE, FH, FF, FISIP, FPSI, FIB, Pasca Sarjana ) di Jl. Dharmawangsa Dalam Surabaya. Sedangkan Kampus C ( FSaintek, FKM, FKH, F Keperawatan, F Perikanan dan Kelautan, Kantor Manajemen ) terletak di kawasan Mulyorejo, Surabaya Timur.

Program akademik yang diselenggarakan terdiri dari tiga jenjang pendidikan yaitu, S1 sebanyak 32 prodi, S2 sebanyak  34 prodi, S3 sebanyak 9 prodi. Sedangkan Program Pendidikan vokasi dan profesi terdiri dari D3 sebanyak 20 Prodi  Pendidikan profesi sebanyak 7 program, yaitu Pendidikan Dokter, Dokter Gigi, Apoteker, Dokter Hewan, Notariat, Akuntan, dan Psikolog dan juga Prodi Spesialis 1 (Sp1) sebanyak 32 program.

Kegiatan administrasi Universitas Airlangga dipusatkan di Kantor Manajemen Universitas Airlangga di Kampus C Mulyorejo, Surabaya.

*) Yousri Nur Raja Agam MH adalah Wartawan di Surabaya dan Ketua Yayasan Peduli Surabaya

ITS “Cuk” Kebanggaan Arek Surabaya

ITS — Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Beriri Sejak Tahun 1957

Oleh: Yousri Nur Raja Agam, MH

Yousri Nur RA, MH

Yousri Nur RA, MH

ITS, adalah singkatan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Bukan singkatan dari Institut Teknologi Surabaya.

Kendati demikian, umumnya orang tahu ITS ada di Surabaya. Tidak pernah mempermasalahkan singkatannya. Tetapi ada yang menarik dari perguruan tinggi teknik di Surabaya ini. Tidak hanya sejarah kelahirannya yang unik, tetapi perkembangannyapun layak menjadi menjadi perbincangan. Bahkan, mendapat acungan jempol.

ITS lahir dan dewasa sebagai ikon Surabaya yang berciri khas “Suroboyo”. Berwatak Surabaya dan Jawatimuran. Itulah, kata penghuni kampus di Surabaya Timur itu. Salah satu yang dibanggakan para mahasiswanya adalah sikap berani, kasar, blak-blakan dan peduli.

Bahkan yang lebih asyik lagi, arek-arek mahasiswa di kampus Sukolilo ini, bangga dengan kata “cuk”. Kata dengan tiga huruf dan kadang-kadang ditambah dengan kata “dian” di depannya adalah kalimat “pisuan” (kalimat caci maki bernada marah dalam bentuk bentakan yang spontan) yang khas di Surabaya. Walaupun kata ini dianggap tidak sopan, namun sering manjadi guyonan tegur sapa bagi arek Suroboyo.

Nah. Kata “cuk” itu pulalah yang dipopularkan oleh anak kampus ITS sebagai sebuah selogan kebanggan. Namun, kata “cuk” itu sudah dimodifikasi menjadi sebuah singkatan atau inisial. Kata “cuk” itu dipanjangkan menjadi Cerdas, Ulet dan Kreatif.

Kegiatan ITS Surabaya  sudah dimulai sejak tahun 1957. Namun  ITS Surabaya ini diresmikan oleh Presiden RI pertama, Ir.H.Soekarno pada tanggal 10 November 1960. Maka, tanggal 10 November 1960 itulah yang dijadikan sebagai “hari lahir” ITS Surabaya.

Bila dilihat sejarahnya, berdirinya ITS ini cukup unik. Ternyata pencetusnya bukanlah para ahli teknik atau para insinyur. Penggagas dan sekaligus sebagai pendiri ITS ini adalah dokter umum bernama Angka Nitisastro. Dalam perkembangannya, ITS di Surabaya ini posisinya sekarang menjadi perguruan tinggi teknik terbesar ke dua setelah ITB (Institut Teknologi Bandung) di Bandung, Jawa Barat.

Tidak saja warga kota atau Arek Surabaya saja yang bangga dengan ITS. Kampus Sukolilo ini juga menjadi idola para remaja lululasn SLTA atau SMA sederajat dari wilayah Indonesia bagian timur. Maka tidaklah mengherankan, jika mahasiswanya selain berasal dari Jawa Timur, juga berdatangan dari berbagai daerah di Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusatenggara, Maluku dan Irian Jaya.

Dalam cuplikan “sekilas ITS dan sejarah ITS” terungkap, bahwa ide mendirikan ITS itu terjadi saat para insinyur yang tergabung dalam PII (Persatuan Insinyur Indonesia) Jawa Timur mengadakan lustrum pertama tahun 1957.

Waktu itu dr. Angka Nitisastro, bersama dengan insinyur-insinyur PII cabang Jawa Timur, memutuskan untuk mewujudkan berdirinya sebuah Yayasan Perguruan Tinggi Teknik (YPTT), tepatnya tanggal 17 Agustus 1957. Sebagai penghargaan kepada penggagas, para insinyur anggota PII itu mempercayakan kepada dr. Angka Nitisastro sebagai ketua YPTT tersebut.

Alasan pokok pendirian yayasan waktu itu, antara lain dinyatakat bahwa kebutuhan  tenaga insinyur sekitar 7000 untuk melaksanakan program-program pembangunan dan industri di dalam negeri. Melihat perbandingan dengan jumlah insinyur di negara maju dan berkembang lainnya jumlah insinyur di Indonesia jauh ketinggalan.

Tahun 1957, YPTT mendirikan “Perguruan Teknik 10 Nopember Surabaya.Tiga tahun kemudian, tepatnya 10 November 1960i diresmikan oleh presiden Soekarno. Saat diresmikan, Perguruan Tinggi Teknik 10 Nopember Surabaya baru memiliki dua jurusan yaitu, Jurusan Teknik Sipil dan Jurusan Teknik Mesin.

Setelah beberapa tahun melalui usaha-usaha yang dirintis oleh tokoh-tokoh dari YPTT, Perguruan Tinggi Teknik 10 Nopember diubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Negeri dengan nama: “Institut Teknologi Sepuluh Nopember”,  disingkat ITS Surabaya.

Kalau semula ada dua jurusan yaitu Teknik Sipil dan Teknik Mesin, kemudian bertambah menjadi lima yaitu: Teknik Sipil, Teknik Elektro, Teknik Mesin, Teknik Perkapalan, dan Teknik Kimia. Jurusan- jurusan tersebut kemudian berubah menjadi fakultas. Kemudian dengan peraturan pemerintah No. 9 tahun 1961 tanggal 23 Maret 1961.

Sejak saat itu ditetapkan bahwa Dies Natalis ITS yang pertama adalah tanggal 10 Nopember 1960.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1965 berdasarkan SK Menteri No. 72 tahun 1965,  ITS  membuka dua fakultas baru, yaitu, Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam.

Sejak saat itu, ITS mempunyai tujuh fakultas yang tersebar di beberapa tempat. Kampusnya tersebar di Jalan Simpang Dukuh 11, di Jl. Ketabang Kali 2F, di Jalan Baliwerti 119-121 dan di Jalan Basuki Rahmat 84 sebagai kantor pusat ITS.

Pada tahun 1972, Fakultas Teknik Sipil pindah ke Jalan Manyar 8, sehingga ITS semakin terpencar. Kemudian pada akhir 1975, Fakultas Teknik Arsitektur pindah ke kampus baru di Jalan  Cokroaminoto 12A Surabaya.

Tahun 1973 disusunlah rencana induk pengembangan jangka panjang (20 tahun) sebagai pedoman pengembangan ITS selanjutnya. Rencana Induk Pengembangan ITS itu menarik perhatian Asian Development Bank (ADB). Bank Pembangunan Asia. ADB menawarkan dana pinjaman sebesar 25 juta dolar AS untuk pengembangan empat fakultas, yaitu, Fakultas Teknik Sipil, Fakultas Teknik Mesin, Fakultas Teknik Elektro, dan Fakultas Teknik Kimia.

Pada tahun 1977 dana dari ADB tersebut sebagian digunakan untuk membangun kampus ITS di daerah Sukolilo, Surabaya Timur untuk empat fakultas tersebut.

Tahun 1981 pembangunan gedung di kampus Sukolilo sebagian sudah selesai. Tahap I selesai dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 27 Maret 1982.

Dalam perjalanan pengembangannya, tahun 1983 ITS mengalami perubahan struktur organisasi yang berlaku bagi universitas atau institut sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1980, Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1981 dan Keputusan Presiden No. 58 tahun 1982. ITS berubah menjadi hanya 5 fakultas saja. Fakultas-fakultas itu adalah: Fakultas Teknik Industri, Fakultas Teknik Perkapalan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, serta Fakultas Non Gelar Teknologi (Program-Program Non Gelar).

Sejak tahun 1991 terjadi perubahan menjadi 4 fakultas, yaitu Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Teknologi Industri (FTI), Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), dan Fakultas Teknologi Kelautan (FTK). Jurusan yang ada di Fakultas Non Gelar Teknologi diintegrasikan ke jurusan sejenis di 2 fakultas (FTI dan FTSP). Selain itu ITS juga mempunyai 2 Politeknik yaitu Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS) dan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS).

Tahun 1994, ITS kembali memperoleh dana pinjaman ADB sebesar 47 juta dolar AS untuk pengembangan semua fakultas dengan fokus teknologi kelautan. Program ini selesai pada April 2000. Selain itu ITS juga telah memperoleh dana hibah dari pemerintah Jerman/GTZ (1978-1986) untuk pengembangan Fakultas Teknik Perkapalan.

Tahun 2001, berdasarkan SK Rektor tanggal 14 Juni 2001, ITS membentuk fakultas baru yaitu Fakultas Teknologi Informasi (FTIF) dengan 2 jurusan/program studi: Jurusan Teknik Informatika dan Program Studi Sistem Informasi.

Akhirnya sejak tahun 2002 ITS terdiri dari 5 fakultas dan 2 politeknik, yaitu: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Teknologi Industri (FTI), Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Fakultas Teknologi Informasi (FTIF), Fakultas Teknologi Kelautan (FTK), Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS), Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS).

Rektor ITS Sejak 1960-2011

Dr. Angka Nitisastro (19601964), Kol.Laut Ir. Marseno Wirjosapoetra (19641968), Prof. Ir. R. Soemadijo (19681973), Prof. Mahmud Zaki MSc (19731982), Ir. Hariono Sigit BS (19821986), Prof. Oedjoe Djoeriman MSc Phd (19861995), Prof. Ir. Soegiono (19952003), Prof. Dr. Ir. M. Nuh DEA (20032007), Prof. Ir. Priyo Suprobo MS. Phd (20072011), Prof. Dr. Ir. Triyogi Yuwono, DEA (20112015)

Itulah sekilas sejarah berdirinya ITS yang menjadi kebanggaan Arek Surabaya dan idola para kaum muda dari wilayah Indonesia belahan timur.

Kebun Binatang Surabaya (KBS) Obyek Wisata Tertua di Surabaya Didirikan oleh Wartawan Penyayang Binatang

Kebun Binatang Surabaya

Obyek Wisata Tertua

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  MH  *)

Yousri Nur RA, MH

Yousri Nur RA, MH

 

KEBUN Binatang Surabaya (KBS) merupakan salah satu tempat rekreasi dan obyek wisata “tertua” di Kota Surabaya. Usia KBS hampir satu abad, sama dengan usia Pemerintah Kota Surabaya. KBS didirikan berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda No.40 tanggal 31 Agustus 1916.

Walaupun resminya Pemerintah Kota atau Gemeente Surabaya dibentuk sebagai pemerintahan sendiri pada tanggal 1 April 1906, namun walikotanya baru dilantik tanggal 21 Agustus 1916. Jadi pada saat KBS diresmikan, baru 10 hari walikota (Burgermeester) Surabaya yang pertama Mr.A.Meyroos, menduduki jabatannya.

Tidak banyak yang tahu tentang asal-usul KBS ini. Bahkan tentang riwayat KBS inipun jarang sekali dipublikasikan. Masyarakat hanya tahu, lokasi KBS berada di kecamatan Wonokromo, berdampingan dengan subterminal angkutan umum kota Joyoboyo dan bekas stasiun lama kereta api jurusan Surabaya-Sepanjang.

Nah, bagaimana sebenarnya awal berdirinya KBS ini? Kita layak menyampaikan penghargaan kepada seorang wartawan pencinta alam dan penyayang binatang bernama: H.F.K.Kommer. Sebab, berkat jerih payah dan perjuangan tanpa lelah yang dilakukan pria asal Negeri Belanda inilah KBS berdiri. Tidak hanya itu, selain merintis dan  mendirikan KBS, H.F.K.Kommer sekaligus menghimpun orang-orang yang peduli terhadap binatang. Perkumpulan yang didirikan Kommer tahun 1916 itu bernama: Soerabaiasche Planten & Dierrentuin (S.P & D) dan kemudian berganti nama menjadi Perkumpulan KBS.

Kendati yang merintis berdirinya KBS atau SP&D ini adalah Kommer, namun dia mempercayakan kepengurusan kepada kawan-kawannya yang sama-sama peduli terhadap kehidupan flora dan fauna di awal abad ke 20 itu.

Berdasarkan dokumen yang ditemukan penulis, kepengurusan Soerabaiasche Planten & Dierrentuin yang pertama terdiri dari  sembilan orang. Tiga orang masing-masing sebagai ketua, sekretaris dan bendahara, serta enam orang sebagai anggota pleno. Ke sembilan orang tersebut adalah:

Ketua: Mr.J.P.Mooyman,

Sekretaris: A.H. de Wilt.

Bendahara: P.Egas.

Enam anggota pleno, yakni: F.C.Fruman, J.Th.Lohman, A.Lenshoek, E.H.Soesman, H.C.Liem dan M.C.Falk.

Memang, untuk mendirikan KBS ini tidak mudah, apalagi mengumpulkan atau mengoleksi binatang sampai dengan merawat dan memeliharanya. Belum lagi menyediakan sarana dan prasarana kandang beserta petugas yang khusus yang dapat “berkomunikasi” dengan para binatang di KBS. Di sini, diperlukan jiwa, sifat dan rasa untuk menyayangi binatang. Tanpa itu semua, tidak mungkin KBS bisa berkembang dan bertahan hingga hampir sekarang ini.

Pindah ke Jalan Pandegiling

Koleksi binatang milik HFK Kommer terus bertambah, di samping hasil buruannya sendiri, Kommer juga mendapat sumbangan dari teman-temannya. Berbagai jenis binatang yang dikoleksi Kommer. Ada monyet, kera, babi, ayam dan kambing hutan, ular, berbagai jenis burung, bahkan harimau dan landak.

Halaman rumahnya di Kaliondo, dekat Jalan kapasan sekarang yang cukup luas berubah menjadi kebun binatang mini. Kommer membuat kandang dan sangkar untuk binatang piaraannya. Namun Kommer kewalahan juga, karena peminat yang berkump;ul bersamanya juga bertambah. Komunitas penyayang binatang berdatangan, semula menyumbang dan menitipkan binatang temuannya. Lama kelamaan mereke manjadi sebuah komunitas. Masyarakat pun makin banyak yang berkunjung untuk menonton koleksi binatang itu.

Kesepakatan komunitas ini secara resmi akhirnya mendirikan sebuah perkumpulan bernama “Soerabajasche Planten-en Dierentuin“. Nama perkumpulan ini kemudian didaftarkan kepada Pemerintahan Hindia Belanda, dan mendapat Surat  Keputusan Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda No.40 tanggal 31 Agustus 1916.

Nah, karena halaman rumah Kommer yang digunakan semakin penuh, maka ada tuan tanah yang bersimpati. Tuan tanah itu mengusahakan lahan bekas pabrik gula NV Koepang di daerah Grudo, dekat Jalan Pandegiling sekarang. Di halaman bekas pebrik gula itulah dibangun kandang dan sangar hewan pindahan dari Kaliondo.

Untuk pengamanan, maka dibuatlah perjanjian sewa-menyewa antara Perkumpulan SPD (Soerabajasche Planten en-Dierentuin) dengan maskapai bangunan “Koepang” yang menguasai lahan bekas pabrik gula Koepang itu pada tanggal 28 September 1917.

Ceritanya, di zaman VOC (Verenigde Of Company) — perusahaan dagang dari Belanda, mendirikan pabrik gula di daerah Kupang. Pabrik gula itu dikelola oleh NV Koepang. Namun warga yang tinggal di sekitar pabrik gula itu, disebut “pandai giling” (pandegiling) — orang yang pandai menggiling tebu menjadi gula. Ini, karena tiap tahun pabrik gula NV Koepang menggiling tebu menjadi gula. Kalau ada warga yang akan mendatangi rumah warga di sini, selalu mereka sebut mau ke pandegiling (ke rumah pandai giling). Lama ke lamaan kawasan di dekat Grudo dan Kupang itu berubah menjadi Pandegiling. Bahkan, Jalan Asem atau Tamarindelaan yang di kiri kanan jalannya tumbuh pohon asem, juga disebut Jalan Pandegiling — sampai sekarang.

Di pinggir  kiri dan kanan jalan berdiri warung dan kedai makanan, Bahkan, juga pedagang sayur, sampai pakaian. Para PKL (Pedagang Kali Lima) itu ditertibkan oleh Perusahaan Pasar Kupang yang berpusat di Pasar Kembang. PKL yang berada di bawah binaan Perusahaan Pasar itu merasa terlindungi, apalagi mereka ditarik retribusi oleh Perusahaan Pasar yang sekarang menjadi Perusahaan Daerah (PD) Pasar Surya itu. Namun tahun 1799, pabrik gula ini tutup dengan berakhirnya kekuasaan VOC.

Setelah pabrik tutup, kemudian lahannya berubah menjadi kebun binatang. Pasar yang sebelumnya berfungsi melayani karyawan dan buruh pabrik gula, beralih melayani pengunjung kebun binatang pindahan dari Kaliondo.  Kebun Binatang milik wartawan Kommer ini semakin tertata dengan baik. Organisasi pengelola yang didukung oleh sebuah kepengurusan perkumpulan penyayang binatang yang bergabung ke SPD  juga semakin kompak. Kebun binatang baru itu makin ramai dikunjungi masyarakat, terutama anak-anak yang diajak orang tua mereka. Kawasan Jalan Asam atau Tamarindelaan  yang dilewati trem (kereta api listrik) memperlancar kunjungan warga dari berbagai jurusan, termasuk dari luar kota..

Trem uap milik perusahaan OJS (Oost Javaasche Stoomtram Maatschappij)  yang lewat Tamarinde (Asam) laan atau Jalan Asem ini beawal dari stasiun Ujung Tanjung Perak menuju ke Stasiun Karang Pilang. Rute yang dilewati dari Perak ke Jalan Rajawali, terus ke Pasar Turi, Jalan Semarang, jalan Arjuna, Jalan Asem (Pandegiling), Jalan Dinoyo, Jalan darmo Kali, Jalan Marmoyo, Joyoboyo, Gunungsari terus dan berakhir di Karangpilang.

Tahun 1927, Kebun Binatang ini pindah ke Wonokromo. berkat perhatian yang serius dari Walikota (burgermaster) Surabaya, Ir.G.J.Dijkerman.

Setelah Indonesia merdeka, Pemerintah Republik Indonesia mengukuhkan kedudukan .

Tidaklah terlalu berkelebihan, apabila kita menyampaikan rasa hormat, salut dan terimakasih kepada perintis, pendiri dan penerus kegiatan pemeliharaan serta pelestarian flora dan fauna yang sekarang ini terawat dengan baik di KBS. Kita wajib mempertahankan kehidupan satwa yang berada di KBS ini dari pencemaran lingkungan dan lebih-lebih lagi dari kepunahan. Dan tidak dapat disangkal, perkembangan kota Surabaya menuju kota metropolitan “mengancam” masa depan KBS beserta penghuninya.

 

Pencemaran

Agar pencemaran udara dapat diatasi, perlu adanya kepedulian semua pihak. Segala bentuk pencemaran lingkungan alam di dalam dan di sekitar KBS harus dikurangi seoptimal mungkin. Memang, salah satu upaya yang selama ini dilakukan adalah memelihara dan mengembangkan tumbuh-tumbuhan pelindung. Dengan cara konvensional ini gas CO2 (Carbon di Oksida) yang berasal dari asap knalpot kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar KBS yang berdekatan dengan terminal Joyoboyo dapat ditekan.

Selain ancaman pencemaran lingkungan, sering pula kita mendengar ada masyarakat yang menghendaki agar KBS dipindahkan ke pinggir kota, bahkan ada yang menginginkan dipindahkan ke luar kota. Berbagai alasan yang dikemukakan untuk memindahkan KBS. Ada yang mengatakan, “kasihan” terhadap satwa yang berada di dalamnya, karena habitatnya terganggu, tidak aman dan sebagainya.

Ada lagi yang menyebut, akibat adanya KBS, Jalan Mayjen Sungkono terus ke Jalan Adityawarman terhalang oleh kawasan KBS, sehingga jalan besar itu terpaksa dibelokkan ke Jalan Ciliwung untuk menuju ke Jalan Raya Darmo dan Jalan Wonokromo. Seharusnya jalan raya itu lurus sampai ke terminal Joyoboyo.

Sekarang, ada perkembangan baru, terminal Joyoboyo dibangun menjadi terminal modern yang dilengkapi dengan pusat perbelanjaan, perkantoran dan mal. Lagi-lagi menambah ancaman bagi KBS.

Perlu disadari, bahwa keberadaan KBS itu, tidak semata-mata sebagai tempat mengandangkan satwa dan binatang berbagai jenis. Di dalam KBS itu, di samping sebagai tempat rekreasi, pusat ilmu pengetahuan dan pelestarian binatang, juga dilakukan penangkaran dan pengembangbiakan binatang langka dari kepunahan. Bersamaan dengan itu, kawasan KBS juga dijadikan sebagai hutan lindung dan konservasi alam. Apalagi Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan Surat Keputusannya No. 13/KPTS/DJ-IV/2002, menetapkan: KBS sebagai lembaga konservasi eks satwa liar.

Ingat! Kota Surabaya yang tingkat pencemarannya sangat tinggi, perlu dinetralisasikan dengan hutan-hutan kota yang juga disebut lahan terbuka hijau. Untuk itulah, maka KBS harus dipertahankan keberadaannya sebagai “paru-paru” kota. Jangan sampai ada lagi, yang mempunyai keinginan dan upaya untuk memindahkan KBS ke tempat lain dengan dalih dan alasan apapun juga. Justru, demi meningkatkan peran KBS sebagai obyek wisata “flora dan fauna”, wilayahnya dikembangkan sampai ke pinggir kali Jagir Wonokromo. Dan terminal Joyoboyo “ditutup” dan dipindahkan ke tempat lain.

 

Anak-anak

Mungkin bagi warga kota Surabaya, KBS bukan lagi merupakan sarana rekreasi yang menarik. Pamor KBS sebagai obyek wisata dalam kota sudah dipandang dengan sebelah mata oleh warga kota. Begitu banyaknya tempat rekreasi dan hiburan modern, KBS sudah menjadi barang kuno dan tradisional. Kalaupun ada warga kota yang berkunjung ke KBS, karena “terpaksa” oleh ajakan anak-anak.

Kenyataannya selama ini, KBS hanya menjadi tempat rekreasi anak-anak. Orang dewasa yang berkunjung ke KBS, tidak khusus untuk melakukan pengamatan dan mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan yang dipelihara di sini. Mereka hanya datang sebagai pendamping anak-anak.

Bagi masyarakat luar kota Surabaya dan kota-kota lain di Jawa, serta daerah Indonesia timur, keberadaan KBS merupakan obyek wisata idaman. KBS adalah “primadona” bagi sebagian besar wisatawan nusantara (wisnu). Sebab, KBS merupakan kebun binatang terbesar kedua setelah kebun binatang Rangunan di Jakarta. Bahkan dibandingkan dengan 28 kebun binatang lain di Indonesia, KBS mempunyai koleksi yang sangat beragam.

Di lahan seluas 14 hektar ini, hidup sekitar 3.800 ekor lebih satwa yang terdiri dari jenis mamalia, reptilia, aves dan pisces. Selain itu juga terdapat 345 spesies jenis tanaman, mulai tanaman air, rumput sampai pohon besar. Ada di antaranya termasuk jenis tanaman langka.

Jumlah binatang yang ada di KBS terus bertambah. Ada yang diperoleh dari sumbangan para penyayang binatang, ada pula dari hasil tukar-menukar dengan kebun binatang lain di Indonesia, maupun kebun binatang mancanegara.

Sebagai obyek wisata, setiap tahunnya KBS dikunjungi tidak kurang dari dua juta orang. Dari penjualan karcis, diperoleh pemasukan sekitar Rp 6 miliar per-tahun. Pihak KBS hanya memberi kontribusi 5 persen untuk Pemkot Surabaya. Hal ini, hampir tidak pernah dipermasalahkan oleh Pemkot Surabaya, karena pemasukan keuangan tersebut langsung digunakan untuk memelihara dan merawat ribuan satwa, serta membayar gaji, jaminan sosial dan asuransi para karyawan KBS.

Harus diakui, untuk pemeliharaan dan perawatan satwa dan flora di KBS diperlukan dana yang besar. Untuk meningkatkan kesehatan dan gizi satwa penghuni KBS, biayanya cukup tinggi. Pengelola KBS ternyata mampu menanggulangi segala kebutuhan. Selain dari penjualan karcis, juga iuran dan sumbangan anggota perkumpulan. Pemkot Surabaya sudah lama menghentikan bantuan dan subsidi keuangan untuk KBS, sebab pihak pengelola KBS menyatakan sudah mampu mandiri, bahkan memberikan pemasukan dana ke kas Pemkot Surabaya.

Selain sebagai obyek wisata bagi masyarakat umum, KBS bagi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya         dijadikan sarana ilmiah bagi para mahasiswa dan dosen. Selain menjadikan hewan dan satwa yang ada di KBS sebagai bahan penelitian, juga didirikan klinik khusus FKH Unair Surabaya.

Para dokter hewan juga membuka praktik untuk melakukan perawatan dan pengobatan terhadap hewan atau binatang penghuni KBS. Bahkan, di klinik FKH Unair di Jalan Setail 3 Surabaya itu, juga sering dilakukan operasi terhadap binatang yang sakit parah. Tidak jarang, berkat pengalaman para dokter hewan itu, beberapa binatang langka yang dalam keadaan sekarat berhasil diselamatkan dari kepunahan.

 

Aset Kota

Sejak berdiri hingga sekarang,  “diakui” bahwa status KBS adalah sebagai aset Kota Surabaya. Tetapi, pengertian aset kota di sini, tidak sama dengan milik atau aset Pemkot Surabaya. KBS adalah milik “perkumpulan” yaitu Perkumpulan Kebun Binatang Surabaya (PKBS) yang anggotanya adalah perorangan atau individu.

Berdasarkan ketetapan Menteri Kehakiman No.J.A.5/7/10 tanggal 15 Januari 1953 dan No.J.A.5/82/25 tanggal 20 November 1957, dinyatakan bahwa KBS yang berkedudukan di Surabaya dan didirikan untuk waktu yang tidak ditetapkan, merupakan milik perkumpulan. Terhitung sejak 7 Februari 2002, nama perkumpulan KBS sesuai dengan Bab II, Pasal 2 Anggaran Dasar PKBS diubah menjadi: “Perkumpulan Taman Flora dan Satwa Surabaya”. Jumlah anggota perkumpulan terkahir sebanyak 254 orang. Jumlah ini bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan anggota baru, dan berkurang karena anggota meninggal dunia, mengundurkan diri, diberhentikan dan terkait dengan masalah hukum.

Walikota Surabaya, Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd  saat peresmian program orangtua asuh satwa KBS tanggal 7 Agustus 2002, mengakui bahwa KBS merupakan “milik publik”, khususnya warga kota Surabaya. Namun, katanya, lahan KBS ditetapkan sebagai milik Pemkot Surabaya yang peruntukannya hanya untuk KBS, bukan untuk hal lain. Tetapi, sampai sekarang Pemkot Surabaya “belum” memegang sertifikat HM (Hak Milik), Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atau hak-hak tanah lainnya atas lahan KBS tersebut.