Mengapa Walikota “Baru” Surabaya Menolak Jalan Tol Tengah Kota?

Mengapa Walikota “Baru” Surabaya

Menolak Jalan Tol Tengah Kota?

Senin, 20-12-2010 13:28:23 oleh: Yousri Nur Raja Agam
Kanal: Layanan Publik

Sungguh aneh! Kota Surabaya yang sedang menuju kota modern, kota metropolitan, dan dipimpin oleh seorang sarjana teknik, ternyata berpola pikir “pendek”. Demikian guman dan celoteh lebih separuh wakil rakyat yang duduk di DPRD Kota Surabaya.

Adalah seorang perempuan bernama Ir.Tri Rismaharini,MT yang baru tiga setengah bulan menduduki jabatan walikota Surabaya, membuat pertikaian masyarakat. Walikota yang seharusnya menjadi penyegar, apalagi seorang ibu yang muslimah, ternyata berhati keras. Pergunjingan panjang tiada henti dan polemik di mediamassa juga menjadi-jadi. Belum lagi, obrolan dan debat kusir di warung kopi.

Risma – begitu walikota perempuan pertama di Surabaya itu akrab disapa – tanpa melihat “ukuran baju” yang dipakainya, seolah-olah sudah menjadi orang kuat. Entah “bisikan” apa yang didengar dari orang-orang di sekitarnya, ia “berani menantang tembok besar”.

Wanita yang sekarang mengenakan jilbab ini dengan gaya “gagah” melawan “kebijakan pemerintah pusat,  pemerintah Provinsi Jawa Timur, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur dan Perda Kota Surabaya, serta suara mayoritas rakyat Kota Surabaya yang diwakili DPRD Kota Surabaya”.

Alumnus ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) Surabaya ini “mengajak” akademisi dari kampusnya berdemonstrasi menolak persetujuan sidang paripurna DPRD Kota Surabaya tentang persetujuan pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya. Dalam barisan insinyur itu, terlihat mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Prof.Dr.Ir. Daniel M.Rasjid, pakar permukiman Prof.Dr.Johan Silas dan mantan rektor ITS Prof.Dr.Soegiono.

Namun, belasan akademisi yang mengatasnamakan diri “Masyarakat Surabaya Menggugat” itu kalah dalam argumentasi di kantor DPRD Kota Surabaya. Bahkan, yang cukup memalukan, ucapan dua anggota delegasi, Sulistyanto Santoso dan Isa Anshori dinilai melecehkan dan mencemarkan lembaga DPRD Surabaya. Serta merta, dua orang intelektual ini diusir dari ruang sidang. Mereka digelandang empat petugas keamanan saat demo hari Jumat, 17 Desember 2010 itu.

Pemerintah Pusat

Pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya sudah dicanangkan cukup lama, saat Surabaya dipimpin Walikota Surabaya DR.H.Sunarto Sumoprawiro, tahun 1999. Proyek penanggulangan kemacetan lalulintas di Surabaya itu sebagai hasil studi para ahli dalam dan luar negeri yang peduli Surabaya. Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Pekerjaan Umum – dulu Departemen PU – setelah mempertimbangkan berbagai hal sebelum memberi persetujuan pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya.

Wakil Walikota Surabaya, waktu itu Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd yang mendampingi Cak Narto – panggilan akrab Sunarto Sumoprawiro – dan kemudian menjadi walikota Surabaya tahun 2002 – 2005 dan 2005 – 2010, pada awal tahun 2006 menerima surat persetujuan resmi dari Menteri PU. Surat Keputusan Menteri PU No.369/2005 itu bahkan menetapkan PT.Margaraya Jawa Tol (MJT) sebagai investor pelaksana jalan tol tengah kota Surabaya itu.

Berdasarkan Surat persetujuan Menteri PU No.369/2005 itu, kemudian DPRD Kota Surabaya mengesahkan Perda No.3 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya.  Perda ini pun sudah mendapat persetujuan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sebelum disahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Menteri PU kemudian menyempurnakan SK No.369/2005 dengan mengubahnya dengan Keputusan Menteri (Kepmen) PU No.360 tahun 2008..Namun, pelaksanaan pembangunan tak kunjung dilaksanakan. Dalihnya, investor masih kesulitan dana.

Pertengahan tahun 2010 ini, PT.MJT berhasil membentuk konsorsium , sehingga masalah pendanaan dapat diatasi. Proyek jalan tol tengah kota Surabaya yang bakal menghabiskan dana Rp 9,2 triliun itu bakal dibiayai perusahaan konsorsium. Dengan tetap menggunakan nama PT.MJT, saham perusahaan dibagi menjadi: PT.Jasa Marga 55 persen, PT DGI 20 persen, PT.PP 20 persen dan PT.Elnusa 5 persen.

Dengan perusahaan konsorsium dan dana segar yang bakal dikucurkan untuk pembangunan jalan tol tengah kota yang sudah lama dirancang itu, PT.MJT menghubungi Pemkot Surabaya dan juga Pemprov Jatim. Pertemuan dengan Pemkot Surabaya dihadiri Walikota Surabaya, Bambang DH yang saat itu berada pada akhir masa jabatannya.

Bambang DH didampingi Plt.Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Ir.Hendro – sebab saat itu Kepala Bappeko Tri Rismaharini sudah mengundurkan diri, karena mempersiapkan diri menjadi calon walikota Surabaya. Pejabat lain yang juga mendampingi Bambang DH adalah, Asisten I Sekretaris Kota Surabaya bidang Pemerintahan Hadi Siswanto Anwar,SH, Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Ir.Arief Darmansyah, serta staf ahli walikota Dr.Ir.Djamhadi yang juga Ketua Kadinda Kota Surabaya.

Risma Menolak

Nah, begitu Pemerintah Pusat menyatakan pembangunan jalan tol tengah kota di Surabaya tidak lama lagi akan dilaksanakan, walikota “baru” Tri Rismaharini merasa dilangkahi. Ia tersinggung dan “kebakaran jenggot”.

Berulang-ulang Risma menyatakan menolak rencana Pemerintah Pusat untuk membangun jalan tol di tengah kota Surabaya. Gubernur Jawa Timur Dr.H.Soekarwo sebagai kepala pemerintahan yang merupakan kepanjangtangan pemerintah pusat, berada pada posisi “serba salah”. Betapa tidak, sebagai gubernur Pakde Karwo – begitu Soekarwo akrab disapa – harus menjadi pengaman kebijakan pusat. Sedangkan sebagai kepala daerah Jawa Timur, mantan Sekda Jatim ini harus mengayomi para kepala daerah di Jawa Timur.

Risma bersikukuh menolak rencana pembangunan tol tengah kota Surabaya itu. Mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Surabaya itu, mengharapkan yang ditindaklanjuti adalah pembangunan jalan lingkar timur dan lingkar barat Surabaya. Ia melihat, pembangunan tol tengah kota tidak akan memecahkan masalah kemacetan lalu-lintas di Surabaya. Justru, kalau jalan lingkar yang diprioritaskan, maka akan membuat kemacetan tengah kota akan berkurang. Sebab, kemacetan yang terjadi di tengah kota, akibat masih kurangnya jalur jalan raya di pinggir kota.

Dr.Ir.Djamhadi yang menjadi mantan staf ahli walikota Surabaya, menyatakan seharusnya walikota Tri Rismaharini bisa berpikir jernih. Proyek pembangunan jalan tol itu, merupakan pemecahan masalah lalu-lintas jangka panjang di tengah kota.

Mantan Gubernur Jatim HM Basofi Soedirman, juga menyatakan heran, mengapa proyek yang dibiayai dengan uang pemerintah pusat di lahan yang juga milik pemerintah pusat, kok ditolak Walikota Surabaya. Memang, katanya, sewaktu menjadi gubernur Jatim, ia merasakan pembangunan jalan tol tengah kota Surabaya itu perlu.

“Tetapi, kalau sekarang dianggap tidak perlu, saya juga tidak mengerti”, ujar pelantun lagu “Tidak Semua Laki-laki” itu.

Beberapa anggota DPRD Kota Surabaya, yang mayoritas menyetujui jalan tol tengah kota, menyatakan pembangunan jalan tol tengah kota Surabaya sebagai alternatif terbaik menjelang tahun 2025 mendatang. Sementara itu, jalan lingkar timur dan lingkar barat juga tetap dibangun. Surabaya masa depan, harus memperhitungkan jumlah kendaraan dengan ruas jalan yang ada. Artinya, walikota sebagai pengambil kebijakan tidak hanya berpikir jangka pendek. ***.

Sudah dimuat pada http://www.wikimu.com  Senin, 20 Desember 2010

Tag/Label

jalan tol tengah kota, Tri Rismaharini, walikota surabayasurabaya, kemacetan lalulintas, DPRD Kota Surabaya, Djamhadi, PT.Margaraya Jawa Tol

19 Tanggapan

  1. Maaf Pak, Saya juga heran dengan birokrat di kota saya ini. Terlalu cepat berubah berpendirian. Yang saya tahu di madia cetak, anggota DPR sebelumnya juga menolak tapi setelah sehari mendapat “loby” dari PT.Margaraya Jawa Tol dengan entengnya menyetujuinya. Ada apa ini?, seperti yang sudah2, dpr wakil rakyat kita masih kurang dipercaya oleh masayarakat surabaya, walaupun tidak semuanya.

    Beberapa hari ini saya baca di koran dampak2 yang di timbulkan dari waktu pembangunan tol tengah kota ini, dari penggusuran ribuan rumah, 9.000 siswa terganggu belajarnya (jawa pos, 23/12/10), dampak ekonomi yang di rasakan warga surabaya dan masih banyak hal lain yang saya rasa kurang dipikirkan oleh kontraktor.

    Saya rasa ini sangat ambisius dan terkesan dipaksakan, maklum uangnya besar, Rp 9,2 triliun jadi pada tergiur semuanya. maaf.

    Surabaya sudah membangun berbagai jalan alternatif di samping kota. Dn itu gratis, kalau tol tengah kota jadi, yang menikmati pasti orang kaya berduit (khan bayar kalau lewat), yang nggak punya duit? ya tetep muter2 cari yang gratis. Apa nggak kasihan tuh?

    Jika saya boleh berpendapat, pikirkan cara mengurangi kepadatan di tengah kota dengan memecah konsentrasi kemacetan dengan menggunakan jalan alternatif di timur dan barat. Atau dengan pembangunan monorel yang tidak banyak menghabiskan lahan.

    Harapan saya: Jadikan Surabaya sebagai kota untuk warganya, jangan jadikan kita asing di kota kelahiran kita sendiri.

    Maaf bagi yang punya blog, ini hanya komentar pribadi. Ayo kita berpikir JUJUR dan realistis!! Tuhan akan menolong kita jika kita JUJUR.
    ——————–

    Mas Heru yth,
    Terimakasih komentar anda. Memang kalau anda membaca berita-berita di mediamassa, memang ada yang membuat “opini” mendukung ada yang menolak. Namun, para pengambil keputusan memang “wajib” berpolapikir jernih dan cerdas. Artinya, bukan menyetujui karena ada latar belakang “kepentingan pribadi dan golongan”. Seyogyanya berpolapikir demi masa depan rakyat dan kota Surabaya. Seorang Walikota, memang “harus berani” menyetujui atau menolak, asalkan “masuk akal”, bukan karena kepentingan pihak-pihak tertentu. Soalnya, penolakan Walikota Surabaya itu “masih mengandung tandatanya besar”. (yousri)

  2. wah Anda ini wartawan yang ada di lokasi kejadian ya pak ketika akademisi itu demo?

    bercerita seolah tahu kejadian sebenarnya..

    apa didasari atas emosi semata sehingga nulisnya sangat subjektif, sangat jauh dari kualitas diri Anda yang dipersepsikan orang awam selama ini.

    ——————
    Terimakasih Dik Budiono, saya senang sekali anda kritis mengomentari tulisan saya ini.
    Dik Budiono, saya dalam hal ini tidak emosi, mungkin juga tidak sependapat dengan anda yang menyatakan saya subyektif.
    Terimakasih, sekali lagi atas komentarnya.
    Yang saya “sayangkan” dalam hal ini, sikap Walikota “baru” Surabaya Ibu kita Ir.Tri Rismaharini,MT yang kelihatannya “maaf” kurang koordinasi dengan Wakil Walikota Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd. Seharusnya, walaupun Bambang DH sekarang kedudukannya “wakil”, harus diingat, sebelumnya beliau adalah “walikota”. Coba anda runtut membaca tulisan saya dengan kepala dingin, di sini terlihat masalah penolakan “Tol Tengah Kota Surabaya” oleh Walikota “baru” Surabaya, bukan semata-mata menyangkut kepentingan rakyat, tetapi ada “Udang di balik Kerupuk”. Ha ha ha, dik Budiono.
    Maaf lagi, karena berdasarkan filing saya, anda juga tahu permasalahan “penolakan” tol ini, sengaja ditunggangi dengan “opini” yang mengerahkan awak media berpengaruh di Surabaya. Memang, kalau mau dicari-cari dan dicari-cari hambatan, pasti ada. Kalau mau dicari dan ditelusuri dampaknya, pasti ada. Tetapi, harus diingat, Kota ini penduduknya akan bertambah, bangunan akan bertambah, fasilitas dan itulitas juga harus ditambah. Untuk itu semua, diperlukan pemimpin yang cerdas dan mampu “duduk bersama”, tanpa rasa ego yang “terlalu”. Harus ingat, masalah pembangunan, tidak semata-mata masalah sosial kemasyarakatan, tetapi sangat rawan oleh kendali para politikus. Dan ingat, ibu Tri Rismaharini bisa duduk sebagai pemimpin Kota Surabaya ini “diusung oleh kekuatan politik”.
    Jadi, sangatlah keliru, “melawan” politikus dengan mengerahkan “akademisi”. Kasihan, masa Guru besar dan dosen “maaf” dikerahkan berjalan kaki demonstrasi. “Sungguh memalukan dan mengecilkan arti ilmu dan intelektualitas mereka”.
    Seharusnya, para intelektual itu bisa menyampaikan opini, saran, pendapat dan petunjuknya melalui “tempat terhormat”, berupa: simposium, seminar, studium general, diskusi, talk show atau menulis artikel dan menyampaikan pendapat melalui mediamassa.
    Sekali lagi, jangan diulangi mengerahkan “gurubesar” berunjukrasa “ala buruh dan masyarakat yang sulit menyalurkan aspirasinya melalui mediamassa”.
    Begitu Dik Budiono. Bila anda “belum puas”, saya masih bersedia untuk berdiskusi dengan anda dan kawan-kawan “deteksi” lainnya.
    Salam hormat untuk anda, dan saya yakin apabila anda sudah kenal dengan saya, anda akan tahu duduk persoalan yang sebenarnya. (Yousri)

  3. saya mempertanyakan bagaimana anda bisa menceritakan kejadian yang anda sendiri tidak tahu persis kejadian itu terjadi..

    seperti anda menyebut:

    “Alumnus ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) Surabaya ini “mengajak” akademisi dari kampusnya berdemonstrasi menolak persetujuan sidang paripurna DPRD Kota Surabaya tentang persetujuan pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya”

    maaf pak, tolong diperjelas status kalimatnya, apakah ini OPINI Anda pribadi, atau TUDUHAN kepada walikota dan akademisi?

    lalu:

    “Namun, belasan akademisi yang mengatasnamakan diri “Masyarakat Surabaya Menggugat” itu kalah dalam argumentasi di kantor DPRD Kota Surabaya. Bahkan, yang cukup memalukan, ucapan dua anggota delegasi, Sulistyanto Santoso dan Isa Anshori dinilai melecehkan dan mencemarkan lembaga DPRD Surabaya. Serta merta, dua orang intelektual ini diusir dari ruang sidang”

    maaf sekali lagi, sepertinya Anda mendapatkan informasi yang bias mengenai kejadian di ruang badan kehormatan DPRD Surabaya waktu itu. Anda sendiri, saya yakin, tidak ada di lokasi, sehingga menuliskan ‘berita’ yang tidak sesuai dengan FAKTA

    dalam hal ini saya tidak mempermasalahkan ‘kebencian’ Anda terhadap adanya penolakan tol tengah, karena di sinipun Anda tidak membahas alasan penolakan para penolak, pun alasan mengapa harus diterima

    saya hanya ingin Anda memberikan penjelasan atas kalimat-kalimat Anda itu. terimakasih.

    BUDIONO
    (setelah membaca profil Anda saya jadi faham mengapa Anda begitu sinis kepada para penolak tol tengah)

    ————————

    Alhamdulillah, Dik Budiono, anda telah membaca profil saya. InsyaAllah, kita bisa semakin akrab dan bersahabat dalam menanggapi permasalahan Kota Surabaya ini dengan kepala dingin sebagai intelektual.
    Nah, sebaiknya kita berpolapikir ke depan. Bukan sekedar membela diri tanpa jelas siapa yang anda bela. Kebanggan korps dan kampus? Anda tahu, bahwa sesungguhnya pembangunan apa saja di Kota Surabaya ini, termasuk “tol tengah kota” yang menurut anda dan sebagian orang yang terpengaruh opini yang dikembangkan oleh “teman-teman saya” melalui — maaf di antaranya satu SKH (Surat Kabar Harian) dan satu Radio — media yang cukup berpengaruh di Surabaya yang sejak pencalonan Bu Tri Rismaharini menjadi walikota Surabaya adalah “pendukung fanatik”.
    Nah, dalam pandangan “netral” saya, sekali lagi dalam pandangan saya “yang independen”, karena saya tidak kenal dengan yang pro maupun yang kontra pembangunan Tol Tengah Kota Surabaya itu, cakrawala pandang saya untuk Surabaya ke depan, selaku Ketua Yayasan “Peduli Surabaya”, pijakannya adalah dasar hukum yang ada.
    Anda perlu banyak membaca mediamassa yang terbit di Surabaya, sekurang-kurangnya delapan SKH, 12 SKM (Surat Kabar Mingguan), majalah, media online, radio dan televisi. Jadi, jangan hanya terpedaya oleh opini satu atau dua media saja.
    Silakan ikuti perkembangan pemberitaan mediamassa selanjutnya. Nanti anda Dik Budiono akan menyatakan “wah” apa yang ditulis Mas Yousri di Blog-nya, dan juga di beberapa suratkabar, majalah dan media online itu “ternyata benar”.
    Dik Budiono, itu nanti lho, bukan sekarang. Sekarang polemik masih berjalan dan biarkanlah berlanjut.
    Kembali ke tol Tengah Kota, saya hanya menggarisbawahi, bahwa mungkin sekitar 75% yang saat ini yang berada di balik keramaian pro-kontra itu adalah “Orang ITS sendiri”. Kalau tak percaya, lihat nama-nama dalam susunan komisaris, direksi dan para manajer di lingkungan PT.Margaraya Jawa Tol yang akan membangun jalan tol itu. Saya baca di koran, justru Ir.Djoko Eko Suprastowo mengatakan dia juga alumnus ITS. Ya khan dik Budiono?
    Jadi, sebenarnya gelanggang terbaik utk memecahkan masalah ini adalah “panggung ilmiah”, di samping yang sudah ada sekarang ini.
    Sekian, salam hormat dan terimakasih untuk Dik Budiono yang rajin singgah di Blog saya. (Yousri)

  4. Betul sekali jika kita diminta berkomentar tanpa melihat kepentingan ya Pak.

    Saya tidak mau tahu siapa sampean dan yg berkomentar.

    Tetapi menurut pandangan saya, jika mau membangun kota Surabaya untuk jangka panjang, tolong dampak perhatikan sosial dan ekologinya Pak. Jangan cuma ekonomisnya saja.

    Apa tidak lebih baik jika melakukan perbaikan moda transportasi yg ada. Cobalah itu dibenahi apa yg sudah ada, kurangi jumlah kendaraan, baik motor maupun mobil. Saya yakin bisa itu kalo mmg pemerintah tegas. Dan maaf, bapak-bapak juga biasakan gunakan bis. Gak usah gengsilah naik angkutan umum (bis, angkot, atau KA). Biar udara ini jadi tambah bersih, suara juga tidak bising karena seliweran kendaraan.
    Kalopun ada tol tengah atau tol-tol yg lain, apa di jamin di masa mendatang tidak akan macet sementara org2 masih “doyan” beli mobil dan suka pamerin mobil di jalan. Menurut saya akan jauh lebih baik jika mengajak masyarakat untuk mencintai penggunaan transportasi umum. Ini artinya yg dibenahi berarti ya moda transportasinya, dinyamankan sehingga masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
    Mungkin itu Pak
    ———————–

    Mbak Septin Puji Astuti yang saya hormati,
    Terimakasih mbak, anda benar. Memang demikian kenyataan kota Surabaya. Apalagi, kalau kita yang suka bepergian ke kota-kota besar lain, kita akan merasakan kekurangan dalam hal fasilitas transportasi di Surabaya.
    Dan benar mbak, kalau naik angkutan umum dalam kota, baik yang kecil, maupun bus kota, sungguh tidak nyaman. Penumpang, benar-benar dianggap “menumpang” bukan naik dengan membayar. Berdesakan, lama menunggu, antre dan panas, serta lain-lain.
    Oleh sebab itu, apabila Pemerintah punya Uang, dan berencana membuat kota ini mempunyai jalan yang lancar, transportasi yang nyaman dan aman, pasti kita setuju ya mbak? Nah, kalau ada yang kena dampak harus pindah dari tempatnya sekarang, tentuharus mendapat tempat yang lebih baik dan permanen dengan memperoleh “ganti untung”.Jadi bukan “ganti rugi” ya mbak?.
    Saya juga setuju, pemerintah mengutamakan dan memperhatikan angkutan umum massal dengan tarif murah. Bagi yang sibuk dan punya uang banyak, juga silakan menggunakan mobil mewah, tapi bayar pajak. Dan hasil pejak benar-benar dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Kah begitu yang mbak? Terimakasih untuk mbak Septin Puji Astuti. (Yousri)

  5. menurut saya, bu risma bukan org bodoh, justru latar belakangnya yg arsitek, membuat beliau mampu berpikir dg akurat. tol itu 9,2 trilyun.
    saat ini, panjang seluruh ruas jalan surabaya +/- 2.500 km. sedang jumlah seluruh kendaraan yg ada, adl 3.895.061 unit.
    Jika semua kendaraan itu dijajar di jalan raya,
    panjangnya bisa mencapai 10.923.543 m atau 10.923,5 km. jadi 4x panjang ruas jalan yg ada.
    data itu dari http://www.surya.co.id/2010/11/27/jalanan-surabaya-tak-sanggup-tampung-jumlah-kendaraan.html;
    pertambahan kendaraan,s esuai penelitian akademik dari ITS (rasanya bu Risma mempelajari ini) adl skitar 5% setahun; data :
    http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-7982-3104206002-bab1.pdf.

    jika panjang TOTEKA 23 km – katakan 6 jalur = 6x 23 = 138km, kalo dihitung ramp & interchange katakanlah 2x nya, = 276km, ato cm nambah 10-11% saja !!!!!!
    artinya, dalam 2 tahun, kondisi kemacetan akan sama kembali !!!!
    jika pembangunan memerlukan setahun, berarti, kelonggaran dari kemacetan lalin, hanya bisa dirasakan dlm 1 tahun, setelah itu percuma saja – & khusus jalan tol, biasanya akan macet sekali di pintu-2 keluar & masuk, spt kasus jakarta.

    sedangkan penduduk & pengguna jalan, masih harus membayar 19 tahun lagi – PERCUMA – untuk benda mahal-mewah yg sudah nggak berfungsi !!!!!

    krn itulah, ibu walikota didukunf rakyat Surabaya.

  6. Bpk Agam,

    saya bukan akademisi, saya pun bkn orang partai, saya bukan aktivis lingkungan, saya bukan pengusaha, saya cuma pendatang di Sby dan seorang karyawan swasta. mari sama2 tanggalkan ‘baju’ kita sejenak kalau memang mengajak berpikir jauh lebih jernih.

    saya berangkat dr sebuah logika dan fakta, dimana kota jakarta yg pernah saya tinggali selama 17thn, tak ubahnya seperti ‘magnet’ besar yg tak terbendung, diserbu oleh pendatang dan pertambahan penduduk itu sendiri (berdasarkan pengalaman hidup, saya tdk punya data dan tdk tahu dimana ada data yg akurat ttg pertumbuhan penduduk jakarta) hal tersebut berpengaruh langsung pada volume traffic keseharian di tengah kota. ketika sudah tak tertampung maka pilihannya adalah menambah ‘wadah’ (jalan raya, flyover, tol, dsb) mengurangi isinya, atau mengekstrak/efisiensi pergerakannya, atau ada gagasan lain. di jakarta nampaknya pilihan menambah wadah yg dipakai dan kita sama2 tau apa yg terjadi kemudian. memang sudah ada penanggulangan2 seperti busway misalnya, namun ternyata itu belum cukup, dan gagasan2 penanggulangan tsb apabila diterapkan di tempat lain tdk boleh melupakan konteks dan karakteristik wilayah tsb.

    jadi yg ingin saya sampaikan sekaligus tanyakan, dengan logika penduduk semakin bertambah, lalu memperbesar wadahnya (yg sebenarnya secara harafiah menjadi sempit) apakah itu solusi jangka panjang namanya?

    saya juga blm dapat solusi jitunya sebenarnya, yg baru bs saya lakukan sebagai pendatang untuk ikut menjaga kota ini adalah memutuskan untuk tdk membeli mobil dan memanfaatkan option sepeda motor, lyn dan taksi/angguna bila lebih dr 2 org atau bawa barang (bus kota saya masih ga tahan nunggunya he he). Dan juga segala masalah tol tengah kota di sby ini menurut saya terlalu besar apabila dipandang dr ranah politik seperti pada tulisan anda diatas, namun terima kasih atas atensi anda.

    Salam

    ———————

    Bung Ken Ridho, terimakasih anda membaca tulisan saya dan memberi komentar.
    Justru sebagai pendatang di kota ini, anda akan berpikir jernih. Diibaratkan dengan diri kita, walaupun kita tahu kekurangan pada diri kita, pasti kita tidak akan banyak mengomentari. Tetapi, kalau kita melihat seseorang, kita bisa berkomentar tentang orang itu cantik atau ganteng. Kita bisa mengomentari kekurangan dan kelebihannya dan seterusnya.
    Nah, kalau seseorang itu berguna untuk kepentingan orang banyak, tenntu komentar yang kita berikan kepada orang itu adalah demi kebaikan kita bersama. Begitu juga bagi kita di Surabaya, tentu demi Surabaya.
    Pertama, kita perlu mendudukkan topik lebih dahulu, bahwa Surabaya adalah “kota besar” yang sedang menuju “kota metropolitan” dengan pertumbuhan penduduk yang tidak bisa dibendung. Luas lahan yang ada “belum” bertambah, karena perluasan kota Surabaya tetap seperti sekarang. Untuk jangka panjang, harus menggunakan gedung bertingkat dan jalan layang.
    Konsekuensi sebuah kota adalah demikian. Mari kita lihat kota-kota besar di tempat lain, semua pasti ingin berbenah dan terus membenahi fasilitas dan utilitas kotanya. (maaf saya sudah berkunjung ke beberapa negara lain)
    Salah satu dampak yang kita rasakaan saat ini alah “kemacetan” di jalan, banyaknya kendaran pribadi dan sepedamotor. Ini akibat, kurangnya perhatian pemerintah terhadap penyediaan fasilitas angkutan umum massal yang nyaman dan aman. Seandainya dalam kota ini ada angkutan massal yang aman, nyaman dan tertib, tepat waktu dan mudah dijangkau, niscaya penggunaan mobil pribadi dan sepedamotor akan berkurang, atau bisa dibatasi penggunaannya, sehingga semua akan lancaaaaar, serta pencemaran udara bisa diminimalisasi.
    Bagaimana Ken?
    Salam juga untuk anda. (yousri)

  7. Mohon maaf sebelumnya, jika anda mengikuti perkembangan kota2 besar di dunia ini menjadikan kota lebih manusiawi untuk manusia, pasti anda menolak TOL tengah kota ini. Contoh paling nyata adalah kota Seoul. Mereka bahkan membongkar tol tengah kota dijadikan taman dan pedestrian, karena sejatinya kota adalah untuk manusia, bukan untuk industri otomotif, atau kpentingan lain. Maka dasar dari semua kebijakan kota adalah dari hakikat manusia. Sekarang saudara berpihak kepada siapa? industri atau manusia? Kesampingkan dulu urusan politik karena tidak akan ada habisnya. Berpikir secara obyektif, ambil kasus yg sudah ada Bandung dan Jakarta, apa tol menjadi solusi? Surabaya memang harus memiliki citra kota tersendiri tidak menjadi pengikut kota lain, untuk itu kebijakan yg berpihak kepada manusialah yg harus dijalankan. Solusi Outer Ring road dan frontage road merupakan solusi yg baik, yg perlu di dukung transportasi massal yg menunjang dalam kota. Sebaiknya cermati isu ini bukan dari segi politis, tapi lihat secara obyektif. Kebijakan bukanlah sesuatu hal yg mutlak jika memiliki kekurangan atau dampak negatif. Tidak peduli siapapun walikotanya, siapapun politikusnya, kota tetap untuk warganya.
    Dan yang terpenting, drpd membangun tol d jawa, bangunlah infrastruktur di luar jawa, sangat prihatin melihat ketimpangannya. Dana sbegitu besar selayaknya lebih merata disalurkan tidak hanya untuk di pulau jawa, banyak pulau2 lain yg membutuhkan akses tol untuk pemerataan pembangunan.

    Terimakasih.

    ———————–
    Mas Satya, anda benar!
    Memang mas, bila merujuk ke kota-kota di luar negeri, memang demikian. Tetapi ingat mas, Kota Surabaya ternyata tidak mampu membangun dirinya sendiri, karena memang negara kita bukan negara federal, tetapi negara kesatuan yang antara daerah yang satu dengan daerah lainnya tidak mempunyai penghaslan dan pendapatan yang sama. Ada subsidi silang antar daerah.
    Nah, kenyataan yang kita lihat 75 persen pembangunan di Kota Surabaya ini dibiayai oleh swasta dan perorangan. APBD Kota yang ada hanya untuk membayar pegawai dan merawat beberapa fasilitas dan utilitas kota jangka pendek.
    Pembangunan yang menggunakan investasi besar, selalu menggantungkan kepada investor atau “pemilik uang”. Jadi bagaimanapun, selera si pemilik uang itulah yang membuat para pejabat kita “takluk”, sehingga membuat persetujuan. Kalau menolak, harus berpikir panjang dulu, sebab ada yang pro maupun kontra.
    Kalau kita memang setuju Surabaya menjadi Kota Metropolitan dan bukan Big Village atau kampung besar, dampak dan resikonya adalah pembangunan berkelanjutan yang menyesuaikan dengan “selesa zaman” dan “selera investor”.
    Kecuali, kalau kota ini PAD (Pendapatan Asli Daerah) nya mampu membiayai kotanya sendiri, silakan menolak investor. Apakah mungkin?
    Wallahualam bissawab!
    Sebaiknya, kita setujui saja apa yang lebih baik, asal tidak membuat rakyat sengsara. Kalau ada yang mau membangun, kemudian berdampak pada penggusuran, mereka harus memperoleh “ganti untung” bukan ganti rugi yang dipaksakan sesuai NJOP, harus lebih tinggi. Terserah, mana yang lebih diprioritaskan, apakan Jalan Lingkar Timur, Lingkar Barat, Lingkar Utara atau Lingkar Selatan, atau jalur tengah kota? Semuanya tentu diperlukan.
    Begitu sekedar tanggapan saya Mas Satya.
    Terimakasih, salam hormat dari saya. (Yousri)

  8. Karena situasinya sudah berubah, maka sebaiknya dilakukan kajian secara mendalam (sekali lagi) perihal pilihan2 yang ada untuk mengurai kemacetan, yaitu:
    1.Tol Tengah Kota.
    2.BRT.
    3.Monorail.
    4.ERP.
    5.Ring Road Timur dan Barat.

    Kemacetan terjadi karena ketidak seimbangan kapasitas jalan dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang melintas. Adapun kendaraan yang melintas merupakan aliran perpindahan orang menuju pusat kota.

    Penambahan kapasitas jalan jelas tidak bisa dilakukan. Ditengah kota justru sedang getol dibangun Taman dan Pedestrian.

    Yang paling effektif adalah membatasi aliran perpindahan orang tersebut, yaitu dengan menerapkan ERP dan disertai dengan pembatasan areal parkir di tengah kota. Pendek kata, untuk menuju pusat kota yang sudah amat padat itu harus dikenakan biaya yang amat mahal, sehingga membuat masyarakat enggan ke pusat kota dengan kendaraan pribadi.

    Tentu saja selain ERP, perlu didukung dengan cara lain yang cukup effektif dan murah, yaitu Ring Road Timur dan Barat. Master Plan kota juga perlu dirubah agar tidak terjadi pemusatan kegiatan di tengah kota.

    Tol Tengah Kota hanya akan bermanfaat bagi sebagian kecil masyarakat (terutama yang bermobil dan mau serta mampu membayar).

    Padahal banyak sekali masyarakat yang naik motor dan bermobil (tapi emoh membayar).

    Jadi, Tol Tengah Kota tidak akan banyak bermanfaat untuk menguraikan kemacetan.

    BRT tidak sesuai dengan lebar jalan yang masih tergolong sempit dan akan membuat pusat kota makin padat.

    Monorail amat mahal biaya pembuatannya. Dan seperti BRT, hanya akan menarik sebagian (sangat) kecil dari masyarakat pengguna jalan.

    BRT dan Monorail tidak akan mampu bersaing dengan motor yang amat effisien dan murah.

    Mari duduk bersama dan memikirkan solusi yang paling praktis, murah dan berpihak kepada masyarakat. Kita juga perlu mengupayakan agar aliran kendaraan menuju ke Pelabuhan (Laut) menjadi lebih lancar dan tidak makin berjubel di tengah kota.

    —————————————–

    Mas Suwito yth,

    Apa yang anda ungkap adalah benar. Sebaiknya memang demikian. Duduk bersama, berdialog dan berdiskusi membuat perencanaan yang matang.
    Namun Mas Suwito, kadang-kadang apa yang sudah dirancang dan diprogram oleh Pemerintah atau pengelola kota ini, sering tidak terwujud. Dalihnya: tidak ada dana.
    Nah, kalau sudah terbentur dana, maka jalan pintas adalah pinjam dan minta bantuan, baik ke pemperintah pusat maupun pihak asing.
    Seandainya ini yang dilakukan, pihak pusat dan pihak asing yang “meminjamkan” uang ternyata tidak sertamerta menerima rencana dan program pembangunan itu. Mereka berfikir lain, bagaimana agar uang yang dipinjamkan cepat kembali. Akibatnya, merekapun membuat perencanaan lain, contohnya, “kasus jalan tol tengah kota Surabaya” ini.
    Angkutan umum massal adalah yang sangat ideal, baik dalam bentuk BRT dan monorail, maupun busway.
    Bagaimana dengan Surabaya? Syarat utama adalah jalan atau lintasan untuk dilewati yang belum mencukupi. Jadi, apapun bentuk fasilitas transportasi yang bakal dibangun di Surabaya ini, jalur dan lintasannya harus ada dan “pasti” melewati kawasan permukiman yang sudah berdiri. Alibatnya, ada warga yang terpaksa pindah. Mereka perlu mendapat perhatian scara manusiawi. Benarkan mas Suwito.

    Salam hormat dari saya (Yousri)

  9. Apa salahnya guru besar menyampaikan aspirasinya???
    Anda saja bisa mengutarakan pendapat Anda lewat tulisan
    Yang namanya DPRD harusnya mau mendengarkan aspirasi masyarakat
    Mungkin ke depan tulisan akan lebih baik bila didasarkan dengan data, bukan feeling
    TERIMA KASIH.
    ———————-

    Mas Fathoni Yth,
    Memang tidak pernah ada larangan Gurubesar, dosen, akademisi, mahasiswa dan siapa saja menyampaikan aspirasinya.
    Khusus dalam kasus penyampaian aspirasi tentang jalan tol tengah kota Surabaya, seyogyanya para intelektual itu menyalurkan aspirasinya menggunakan tatanan kaum cerdik pandai. Jadi janganlah para gurubesar itu diperlakukan seperti orang yang bukan “cerdik pandai”.
    Memang, menyalurkan aspirasi melalui tulisan adalah lebih baik daripada berteriak-teriak, apalagi sempat berbantahan dengan para wakil rakyat yang tidak satupun yang guru besar.
    Seharusnya guru besar dan para akademisi itu tidak terjebak dalam dunia politik praktis. Beliau-beliau itu bisa menulis, berseminar, bersimposium, mengundang dan memanggil wartawan agar aspirasinya bisa disampaikan di mediamassa. Nah, ini semua lebih “terhormat” dibandingkan dengan cara yang saya tulis dalam Blog saya di atas.
    Mas Fathoni, saya bukan menulis berdasarkan filing, tetapi melihat dan melihat, mengamati dan “geleng-geleng kepala” saat para kaum intelektual yang menjadi penyebar ilmu itu berdemonstrasi dengan berjalan kaki di Jalan Yos Sudarso, membawa poster menolak tol tengah kota, lalu masuk ke halaman kantor DPRD Kota Surabaya, kemudian mereka tidak langsung diterima oleh DPRD — (maaf Mas Fathoni, karena kedatangan beliau-beliau itu dengan cara demikian, saya merasa kasihan kepada mereka, bahkan saya menilai ada pelecehan, karena mereka tidak langsung diterima oleh tuan rumah di gedung rakyat itu). Apalagi, di antara bapak-bapak kita itu ada yang menyatakan penyesalannya. Mereka bahkan tidak tahu kalau diajak demonsttasi jalan kaki, padahal mereka sudah tua-tua.
    Demikian mas fathoni. Salam hormat untuk anda. (Yousri)

  10. Jika anda mempunyai kesempatan untuk mengelola uang sebesar 9,2T itu, mana yang anda pilih?

    A. Membangun jalan tol. dimana bisa sangat jelas ujungnya bahwa semakin lama kota akan semakin dipenuhi dengan kendaraan pribadi (wlpn tanpa jalan tol juga akan tetap penuh dengan kendaraan pribadi) dan banyak warga SURABAYA tergusur.

    B. Membangun transportasi umum seperti MRT atau monorel. Dimana walaupun dlm pembangunannya akan tetap membuat macet jalan(sementara) tapi nanti pada akhirnya masyarakat akan lebih memilih transportasi umum karena lebih murah dan tepat waktu (seperti negara singapore yg sbagian besar warga memilih menggunakan MRT drpd kendaraan pribadi).

    Sekian dari saya. Terimakasih.
    ——————
    Mbak Apriliana yth,
    Terimakasih komentarnya mbak. Kalau pertanyaannya seperti itu, maka saya akan menjawab B.
    Artinya, saya setuju kalau Kota Surabaya menyediakan fasilitas transportasi berupa angkutan umum masal yang murah, mudah dan terjangkau, serta tepat waktu. Pasti dan pasti.
    Namun, dalam kasus yang terjadi sekarang, ada investor “yang punya uang”, menawarkan alternatif lain, yaitu pembangunan jalan tol di tengah kota. Seharusnya, jalan lingkar timur, barat, utara dan selatan juga sangat penting. Nah, karena “yang sudah siap” adalah yang menawarkan alternatif A, maka itu terserah kepada pengambil keputusan. Dalam hal ini, Pemerintah Kota bersama aparatnya, termasuk persetujuan wakil-wakil rakyat di DPRD.
    Ya kan mbak Apriliana? Kita sebenarnya sama, tetapi mungkin penyampaiannya yang beda. (Yousri)

  11. Khusus dalam kasus penyampaian aspirasi tentang jalan tol tengah kota Surabaya, seyogyanya para intelektual itu menyalurkan aspirasinya menggunakan tatanan kaum cerdik pandai. Jadi janganlah para gurubesar itu diperlakukan seperti orang yang bukan “cerdik pandai”.

    Mohon dijawab pertanyaan saya dari kutipan di atas dari tulisan bapak
    Siapa yang memperlakukan guru besar seperti itu???

    Setau saya, tiga guru besar tersebut ikut langsung turun ke jalan karena merasa harus turun
    Sudah tidak cukup lagi hanya sekedar tulisan
    Masyarakat butuh penjelasan sejelas-sejelasnya
    Semua yang dilakukan bukan atas paksaan tapi memang keinginan diri sendiri

    Kenapa guru besar sampai ikut langsung turun, harusnya tidak disikapi dengan berpikir bahwa guru besar tidak seharusnya berbuat seperti itu
    Kalau ada tiga guru besar ikut turun, itu artinya kepedulian mereka begitu besar dan masalah yang muncul memang sangat krusial karena menyangkut masa depan kota Surabaya

    Hari rabu kemaren tanggal 29 diadakan acara rembuk bareng, dengan harapan ada penjelasan baik dari pihak DPRD, Investor dan Akademisi dan dihadiri oleh masyarakat yang akan tergusur bila nantinya tol jadi dibangun dengan aharapn dapat mendengar aspirasi mereka.Namun sayang, kenapa itikad baik ini tidak diindahkan

    Matur Nuwun

    ———————–
    Terimakasih Mas Fathoni, saya setuju dengan pendapat anda. Kendati demikian, saya dan beberapa di antara umat awam di Kota Surabaya ini “menyayangkan”, kalau utk urusan penolakan jalan tol tengah kota itu, para intelektual harus menggunakan pola demonstrasi di jalan.
    Saya sangat setuju dengan sistem rembug yang diselenggarakan tanggal 29 Desember 2010. Nah, kalau model seperti di Balai Pemuda itu saya sangat setuju.
    Saya juga menyayangkan mengapa Ketua DPRD Surabaya atau anggota yang mewakili DPRD tidak hadir. Demikian pula dengan pihak investor Dirut atau direksi PT.Margaraya Jawa Tol.
    Kalau semua ini hadir, memang asyik. Apalagi kalau yang pro juga diundang, tidak hanya yang kontra saja. Nah, akhirnya: judul berita adalah “Satu Kata: Tolak”, ha ha ha . Ya khan mas?.
    Oh ya, apakah mas Fathoni menginginkan saya menjawab semua pertanyaan dalam komentar ini agar dibaca orang lain? Maaf, mas Fathoni, kalau saya jawab berdasarkan informasi dan data yang saya terima, akan menyinggung banyak pihak. Saya tidak mau berpolemik dengan membuka aib orang lain. Seharusnya, terimalah kalimat itu dengan lapang dada, karena itu kenyataan. Saya juga sudah bertanya langsung kepada “beliau-beliau” itu.
    Sepurane Mas Fathoni. Matur nuwung sangat (yousri)

  12. Kenyamanan kota Surabaya hari ini yang berhasil diciptakan dengan kerja keras, ternyata tidak menyadarkan beberapa gelintir manusia yang bakal kecipratan 9Trilyun. Mereka menutup hati nuraninya dengan berbekal “celotehan” dan “janji”, bukan bukti yang telah dihasilkan oleh siapapun yang telah bekerja keras membalik kota Surabaya mengalahkan kenyamanan kota-kota metropolitan di Indonesia.
    Monggo yang hati nuraninya tidak tertutup, dan tidak butuh celotehan dan janji tetapi butuh bukti…..silahkan kunjungi blog toltengahsurabaya@blogspot.com….buktikan bahwa anda menang melawan yang segelintir ini, yang ingin mengahncurkan Surabaya.
    ——————-
    Cak Airlangga yang bijaksana!
    Matur nuwun mas komentar penjenengan. Saya hanya tergelitik dengan kalimat penjenegan yang terakhir …….” buktikan bahwa anda menang melawan yang segelintir ini, yang ingin menghancurkan Surabaya”.
    Saya tidak mengarti maksud kalimat itu ditujukan kepada saya atau siapa? Apakah yang dimaksud anda itu saya?
    Maaf, saya bukan siapa-siapa, kenalpun tidak dengan mereka yang sedang pro dan kontra. Saya tidak kenal dengan mereka, saya hanya menulis yang saya lihat, saya dengar dan saya amati. Ngoten Car Airlangga. (yousri)

  13. Untuk Sdr. Yousri Nur Raja Agam.

    Membaca tulisan Anda, saya langsung bisa menyimpulkan Anda tidak berada di tempat kejadian saat terjadi pertemuan antara DPRD Surabaya dengan “Masyarakat Surabaya Menggugat” 17 Desember 2010 yang lalu. Mengapa saya langsung bisa mengambil kesimpulan itu? Karena tulisan Anda itu tidak sesuai dengan kenyataan.

    Pertama, Anda menyatakan Ir. Tri Rismaharini, MT. “mengajak” akademisi dari kampusnya melakukan demo tersebut.
    Komentar saya, tahukah anda yang demo itu banyak yang bukan alumni ITS?
    Saya sendiri tidak pernah sekolah di ITS!!! Saya tidak kenal secara pribadi dengan Ir. Tri Rismaharini, MT. Saya menolak tol tengah karena Surabaya tidak butuh tol tengah. Tol tengah justru akan menimbulkan kemacetan di berbagai tempat.

    Kedua, Anda menyatakan, belasan akademisi yang mengatasnamakan diri “Masyarakat Surabaya Menggugat” itu kalah dalam argumentasi di kantor DPRD Surabaya.
    Komentar saya, tahukah Anda, kata “belasan” dan “puluhan” itu artinya sangat berbeda?
    Kalah dalam argumentasi? Ah, pernyataan Anda beda sendiri. Saya juga sedih, karena Anda lebih fokus pada menang kalah, bukan benar dan salah.

    Ketiga, Anda menyatakan, ucapan dua anggota delegasi, Sulistyanto Santoso dan Isa Anshori dinilai melecehkan dan mencemarkan lembaga DPRD Surabaya. Serta merta dua orang intelektual ini diusir dari ruang sidang. Mereka di gelandang empat petugas keamanan.
    Komentar saya, – Nama saya Sulistyanto Soejoso bukan Sulistyanto Santoso.
    – Anda telah melakukan kebohongan publik! Saya berada di ruangan sampai pertemuan berakhir. Saya tidak pernah digelandang petugas keamanan. Nah, Anda bohong kan?

    Keempat, sekedar info buat anda, perhatikan pernyataan ketua DPRD Surabaya (Wishnu Wardhana) yang saling bertolak belakang di bawah ini.

    Jawa Pos, 12 September 2010
    – Pembangunan tol tengah kota tidak diperlukan lagi.
    alasan :
    – Frontage road Ahmad Yani telah dibangun. Dengan adanya proyek di sisi kanan dan kiri Ahmad Yani itu, kemacetan lalu lintas di jalan tersebut bakal teratasi.
    – Selain itu, pemkot menyiapkan jaringan jalan di koridor timur dan barat Surabaya, yakni Middle East Ring Road (MERR) di Surabaya Timur dan Middle West Ring Road (MWRR) di Surabaya Barat.

    – Jika dipaksakan, tol tengah hanya akan menambah keruwetan kota dan
    nambah sumpek saja.

    Jawa Pos, 17 Desember 2010
    – Proyek tol tengah bakal menggusur sekitar 4500 rumah.
    – Investor sudah mensurvei kesediaan warga dalam menerima proyek itu. Banyak yang setuju.
    – Proyek tersebut akan mengangkat derajat warga miskin.
    – Tol tengah akan dibangun di ruas jalan Ahmad Yani dibangun layang, letaknya berada di tengah jalan.
    – Tol tersebut akan memayungi para pengendara motor yang lewat di bawahnya. Pokoknya cantik sekali. Wis ta lah, cuantik puol.
    – Proyek tersebut tidak akan merusak estetika kota. Estetika mana yang rusak?

    Saya kira saudara sudah bisa menyimpulkan sendiri, ada apa di balik pernyataan yang bertolak belakang itu!

  14. Maaf saya bukan pakar transportasi, menurut pendapat saya kita jgn mengulang kesalahan yg sama seperti kota Jakarta (mumpung blm telat).Mulailah berpikir seperti kota2 di negara maju lainnya yg lebih mengutamakan dan mendidik warga kotanya dgn mass rapid transport dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.Seperti yg pernah diungkapkan mantan walikota Bogota “Enrique Penalosa” (pencipta Busway) bahwa tdk ada satupun kota di dunia ini yg berhasil mengatasi kemacetan dgn cara menambah ruas jalan.Karena itu saya nggak sependapat dengan gagasan Tol Tengah.
    ————————-
    Mas Vidi Yth.
    Anda benar, kendati mengatakan bukan ahli transportasi, utk kota besar sesungguhnya yang dibutuhkan adalah kelancaran lalulintas dalam mobilisasi warganya. Saya sangat setuju dengan sistem angkutan umum massal yang nyaman, aman, murah, terjangkau dan tepat waktu. Model Singapura memang “layak ditiru”, Keretaapi bawah tanah dan atas, serta bus kota. Begitu pula yang diterapkan di kota besar di Tiongkok, Jepang dan beberapa negara bagian di AS, di antaranya menggunaka busway.
    Bahkan, saya sangat tertarik dengan Kota Beijing, di sana tidak diperbolehkan sepedamotor dalam kota (kecuali sepedamotor yang menggunakan aki dan sepeda biasa). Tujuannya utk mengantisipasi polusi udara, serta menghindari kecelakaan lalulintas. Bahkan bus kota di sana beberapa rute menggunakan “bus listrik” yang juga bebas polusi udara. Di Kota Shanghai, untuk menuju bandara saja disediakan Kereta api supercepat (431 km/jam), begitu pula hubungan dengan kota lain. Jadi, angkutan umum lebih banyak dengan kereta api atau kendaraan bebas polusi. Di beberapa negara bagian di AS, penggunaan bus kota juga cukup dominan.
    Nah, bagaimana dengan Surabaya? Sadar atau tidak masyarakat kita yang dalam masa transisi berkepanjangan ini sudah terlanjur “melahap mentah-mentah” konsumsi motor dan mobil yang menyesakkan jalan raya. Sedangkan angkutan umum dalam kota (kendaraan kecil), sangat tidak tertib dan sulit diremajakan. Bus Kota belum bisa memenuhi tuntutan sebagai angkutan massal yang murah, nyaman dan aman, serta tepat waktu. Sementara jalan raya semakin sesak, kendaraan semakin membludak. Alternatif, memang harus penambahan jalur jalan raya, apakah itu jalan lingkar timur, barat, utara, selatan dan tengah, semunya dibutuhkan. Khusus yang diramaikan “tol tengah kota”, terserah, kalau memang itu yang terbaik atau tidak. Yang jelas, membangun jalan dalam kota Surabaya “pasti bermasalah”, sebab harus melakukan pembebasan lahan milik warga, termasuk juga jalan lingkar timur (East Ring Road) atau lingkar barat (west ring road). Demikian Mas Vidi, terimakasih. (yousri)

  15. Tol tengah kota belum tentu akan menjadi solusi yang efektif bagi permasalahan kemacetan di surabaya, apalagi sebagian besar pengguna kendaraan bermotor di surabaya adalah pengguna sepeda motor yg notabene tidak bisa melewati jalan tol ini. Apakah pembangunan tol tengah kota ini tidak akan mubazir? mengingat yang akan menggunakan tol ini adalah minoritas dari pengguna kendaraan bermotor, jika kita mengikuti logika anggota DPRD yg mendukung tol untuk menjustifikasi pembangunan tol ini dengan mengatakan bahwa jumlah kendaraan akan meningkat dan karenanya tol ini adalah “alternatif terbaik” menjelang 2025, tapi ingat, jika kita mengikuti logika ini, maka pada akhirnya cepat atau lambat setelah tahun 2025, tol tengah kota pun juga tidak akan mampu menampung pertambahan jumlah kendaraan tersebut, dengan kata lain pembangunan tol tengah kota hanyalah solusi yang bersifat sementara dan tambal sulam., Klo membangun BRT terkendala lahan dan membangun monorel biayanya mahal kenapa pemerintah tidak melakukan revitalisasi jalur kereta api (KA) yang melintang di sepanjang jalan A. Yani? Selama ini jalur KA tersebut tampak “disia-siakan” dan kurang dimanfaatkan. Padahal jika dioptimalkan jalur KA ini bisa menjadi solusi mengingat KA adalah alat transportasi masal yang memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh jalan tol, seperti lebih mengirit penggunaan bbm dan lebih minim polusi. lagipula di kota-kota di negara-negara maju banyak jalan tol tengah kota yang dibongkar, dan kota-kota tersebut lebih mengoptimalkan sarana angkutan masal seperti KA, subway, atau trem.
    Karena itu yang perlu dilakukan dalam mengatasi permasalahan transportasi di Surabya adalah bagaimana menyediakan moda transportasi masal yang efektif dan efisien serta layak dan nyaman sehingga dapat mendorong masyarakat kita untuk lebih mau menggunakan transportasi umum. Bukan solusi yang bersifat tambal sulam seperti ini.

  16. Salam kenal..
    jika bicara pembangunan jalan tol tengah koa sebenarnya, tidak sekedar berbicara tentang kemacetan. Karena ketika akan mendirikan sebuah bangunan harus ada analisa terkait dampak dari segi lingkungan, sosial ekonomi juga..
    belum lagi (maaf) jika bicara tentang adanya dana investor asing…
    saya berharap, bapak Dewan bisa mempertanggung jawabkan terkait dana yang 9,2 T ini tidak ada apa”nya….
    ——————
    HaMim yth, anda benar. Semoga mereka mendengarkan apa yang anda harapkan. (yousri)

  17. Salam kenal Pak Yousri … sejujurnya saya bukanlah orang yang awam dengan masalah transportasi maupun politik, namun sebagai manusia kita diberi kemampuan analisa berpikir, dimana dari referensi – referensi yang ada, kita bisa menentukan sikap atau berpendapat. Kami yang menolak tol tengah pun demikian, bukan hanya karena Bu Risma, tapi kami juga mengerti kenapa kami memutuskan untuk mengatakan bahwa tol tengah kota belum dibutuhkan saat ini. Yang kami sangat sayangkan, Bapak sudah mengatakan bahwa walikota kita berpikiran “pendek” … hal tersebut sudah jelas – jelas mendeskritkan seseorang, dan akhirnya menjadi bias. Ya kalau kita ingin berdiskusi yang baik, sebaiknya berbicara dengan landasan dan akhlak yang baik … mungkin hal tersebut pula yang menyebabkan banyak comment yang cenderung “negatif” untuk Anda. Komentar Anda mengenai kendaraan massal —- “Sadar atau tidak masyarakat kita yang dalam masa transisi berkepanjangan ini sudah terlanjur “melahap mentah-mentah” konsumsi motor dan mobil yang menyesakkan jalan raya. Sedangkan angkutan umum dalam kota (kendaraan kecil), sangat tidak tertib dan sulit diremajakan. Bus Kota belum bisa memenuhi tuntutan sebagai angkutan massal yang murah, nyaman dan aman, serta tepat waktu —- jelas hal tersebut adalah bentuk rasa pesimis dan “mungkin” lebih cocok disebut “berpikir pendek”. Selama kita punya mimpi dan berjuang untuk mimpi itu, juga didasari dengan niat yang tulus … semoga Surabaya akan menjadi lebih baik, amin.
    ————-
    Terimakasih Bung Johannes,

    Kita memang berbeda, tetapi mudah-mudahan sama-sama positif. (Yousri)

  18. Saya bukan penduduk surabaya, jadi mohon maaf, pengetahuan tentang surabaya sangat sedikit. namun membahas jalan tol rasanya berhubungan dengan minat saya.

    menurut saya sih, bu walikota sudah berpikir jangka panjang. pembangunan tol hanya akan menyebabkan kemacetan panjang di masa depan, jadi ini solusi mahal dan jangka pendek.

    solusi jangka panjang adalah pembangunan infratruktur jalan dan angkutan masal. sebelum terlambat seperti jakarta yang jadi sedemikian padat dan macet sehinga kesulitan mencari ruang untuk mengatasi macet.

    saya sih lebih melihat mereka yang setuju dengan tol karena tergiur uang. pemasukan dari tarif tol. saya memang tidak obyektif. saya tak percaya dengan DPR, DPRD saat ini.

    saya melihat, proyek yang dilakukan pemerintah, walaupun sudah melibatkan ahli-ahli, dan sudah lolos AMDAL dan Sosial, lebih berpihak kepada pemilik modal daripada kesejahteraan rakyat. jadi, kalau ada apa-apa dikemudian hari, dan rakyat jadi korban, ya sekedar dianggap “kesalahan teknis”, atau “bencana alam”, atau “ya sudah takdir”.

    ini sesuai juga dengan yang anda tulis, intinya: ada pemilik modal yang maunya begini, jadi sayang kalau ditolak. jadi rata-rata proyek jangka pendek untuk tujuan pendek: memenuhi keinginan pemilik modal dan orang kaya pemilik mobil.

    kota-kota di LN bisa menjadi kota yang manusiawi karena dirancang dari awal. kota yang manusiawi adalah kota yang tak memisahkan tempat dengan penghuninya, yang membuat penghuni nyaman tinggal di dalamnya. jadi, kalau baru awal saja sudah jalan tol yang dipilih, menurut saya ini pilihan yang salah.

    mohon maaf kalau berbeda pendapat.

  19. Tol tengah kota tidak ada gunanya di surabaya. Lihat di jakarta tuh tambah macet aja dengan adanya tol tengah kota. Belum lagi dampak ekonomi yg diderita ribuan warga yang bakal akan banyak sekali yg digusur akibat ini (menyusahkan rakyat juga).

    Saya sangat mendukung Bu Risma. Pemikiran dan rencana2 beliau bagus dan saya sebagai warga surabaya selama ini juga turut merasakan kinerja dari Bu Risma tsb.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: