Menyambut HPN 2009 (7) Masa Jaya Surabaya Post Ke Era Gurita Jawa Pos

Masa Jaya Surabaya Post

Ke Era Gurita Jawa Pos


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

PENATAAN mediamassa di Surabaya pada awal tahun 1970-an, tidak lepas dari pengaruh politik Pemerintahan Presiden Soeharto. Saat ini pemerintah Orde Baru mulai memperlihatkan kekuasaannya. Penerbitan pers kembali jadi ajang “pembelengguan”.

Situasi politik menjelang dan sesudah peristiwa 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Malari (Malapetaka 15 Januari) di Jakarta cukup panas. Surabaya juga merasakan kehangatan suhu politik itu. Gejolak yang terjadi di ibukota berdampak langsung ke seluruh wilayah di Indonesia. Dunia pers dan jurnalistik yang selalu terlibat dalam berbagai kegiatan opini, tidak lepas dari pengaruh kekuasaan.

Salah satu arogansi kekuasaan yang diperlihatkan pemerintahan Orde Baru ini adalah melakukan pembredeilan atau memerintahkan pemberhentian penerbitan beberapa suratkabar di Jakarta. Di antaranya, tiga, yakni “Indonesia Raya” yang dipimpin H.Muchtar Lubis, “Pedoman” yang dipimpin H.Rosihan Anwar dan Harian KAMI yang dipimpin oleh H.Nono Anwar Makarim. Ke tiga SKH ini dilarang terbit, karena pemberitaannya menyudutkan pemerintahan.

Di Surabaya juga ada Harian Kami edisi Jatim yang dipimpin Sunansari Ecip (sekarang sebagai doktor komunikasi yang jadi staf pengajar di UI Jakarta dan Unhas Makasar) yang berafiliasi ke Harian Kami Jakarta. Dengan dibreidelnya Harian Kami di Jakarta, yang di Surabaya juga ikut dihentikan. Waktu itu, Harian Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata juga menerbitkan edisi Jatim. Kemudian Berita Yudha mengganti namanya mejadi Harian Bhirawayang dipimpin Kolonel (TNI-AD) H.Moh Said (alm) dan Angkatan Bersenjata menjadi Indonesia Bangun yang dipimpin oleh dr. Abdul Gafur (waktu itu Mayor TNI-AU dan terakhir dikenal sebagai mantan Menteri Pemuda dan Olahraga). Semuanya sudah terbit kecuali Harian Bhirawa.

Tahun 1970-an ini memang masa kritis berbagai suratkabar. Beberapa koran harian berhenti terbit akibat krisis pendanaan dan tekanan politik penguasa. Harian Perdamaian setelah 20 tahun berkiprah di Surabaya, tidak mampu mempertahankan manajemennya. Begitu pula dengan harian suluh Berita dan harian La Patria. Nasib yang sama juga dialami harian Sinar Kota, Bintang Baru, Suara Rakyat dan Pewarta Surabaya.

Koran-koran harian yang bertahan di awal tahun 1970-an hingga tahun 1980-an ini di samping Jawa Pos dan Surabaya Post, adalahBhirawa, Karya Darma dan Memorandum (sebelumnya bernama Mingguan Mahasiswa). Koran Mingguan, adalah: Pelita Kota yang kemudian menjadi Harian Radar Kota, Mingguan Surabaya Ekspres, Mingguan Tri Brata (ganti nama menjadi Ajibrata, kemudian berubah menjadi majalah Fakta hingga sekarang), Mingguan Asas dan Surabaya Minggu. Sedangkan majalahnya adalah: Jaya Baya, Penyebar Semangat, Liberty, Semesta dan Mentari (Putera Harapan).

Timbul-tenggelamnya penerbitan pers di Surabaya, memang tidak lepas dari pengaruh Undang-undang Pokok Pers atau UU No.11 tahun 1966 yang kemudian diubah menjadi UU No.4 tahun 1967, pemerintah menerapkan ketentuan-ketentuan tentang pers. Pengetatan terhadap dunia jurnalistik dilakukan pula dengan penerapan sistem wadah tunggal. Menteri Penerangan dengan SK No.47 tahun 1975, menetapkan bahwa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan SPS (Serikat Penerbitan Suratkabar) sebagai satu-satunya organisasi penerbitan pers di Indonesia. Dengan demikian, organisasi wartawan kampus yang bernama IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) dan beberapa organisasi wartawan lainnya tidak diakui pemerintah.

Akibat berbagai ekses yang terjadi, UU Pokok Pers mengalami perubahan menjadi UU No.21 tahun 1982. Dalam UU ini ditetapkan pula ketentuan tentang SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebagai pengganti SIT (Surat Izin Terbit). Peralihan izin terbit dari SIT menjadi SIUP ditetapkan dengan Peraturan Menteri Penerangan No.1 tahun 1984. Sejak saat itu, terjadi seleksi alam dalam dunia penerbitan. Hanya penerbitan yang mempunyai modal besar yang mampu terbit dengan baik, sedangkan yang pas-pasan banyak yang bangkrut dan hilang dari peredaran.

Bagi masyarakat pers, boleh dikatakan zaman pemerintahan Orde Baru di Kota Surabaya adalah era kejayaan suratkabar harian (SKH) Surabaya Post. Namun, setelah ditinggal pendirinya A.Azis dan Ny.Toety Azis, koran yang terbit sore hari ini, akhirnya gulung tikar.

Sekarang ada koran baru bernama “Surabaya Post”, sama sekali tidak punya hubungan manajemen dengan keluarga A.Azis. Namun para pendiri dan pengasuhnya berasal dari mantan wartawan dan karyawan Surabaya Post. Saat pertama terbit, mantan wartawan dan karyawan Surabaya Post mendirikan penerbitan bernama “Surabaya Pos” tanpa “t”. Tidak lama kemudian “Surabaya Pos” berganti nama menjadi “Surabaya News”. Koran yang berkantor di ruko di Jalan Raya Gubeng ini kemudian pindah ke ruko di Jalan Bukit Darmo Golf Regency Kav.31-32 Surabaya.

Pengelola baru Surabaya Post, mengajukan hak paten ke Departemen Hukum dan HAM di Jakarta. Ternyata berhasil, sehingga pengelola Surabaya Post yang sekarang memperoleh “hak cipta”. Surabaya Post sebagai merek yang dikelola keluarga A.Azis belum terdaftar sebagai sebuah badan hukum dan merek dagang. Konon yang terdaftar di Departemen Kehakiman adalah “PT.Surabaya Post Printing”.

Berbeda dengan “kerajaan” Jawa Pos yang sudah meninggalkan kawasan Kembang Jepun dan bersinggasana di Graha Pena Jalan A.Yani Surabaya, semakin menggurita. Semula Jawa Pos mulai mengambilalih pengelolaan beberapa suratkabar yang terbit di Surabaya dengan sistem kerjasama. Koran dan majalah yang terbitnya mengalami kesulitan dana mendapat subsidi dari Jawa Pos. Dimulai dari SKH Suara Indonesia, kemudian SKH Karya Dharma, SKM Surabaya Minggu dan Majalah Liberty. Setelah itu, di bawah komando Dahlan Iskan, pengambilalihan manajemen SKH meluas ke luar Jawa Timur.

Suratkabar yang pernah berjaya di suatu daerah di berbegai provinsi di Indonesia disuntik dana segar. Tenaga menejemen dan tenaga wartawan yang profesional oleh Jawa Pos yang berada di bawah payung Majalah Tempo dikirim untuk “melatih” tenaga setempat. Koran-koran di daerah yang semula terpuruk, kembali bangkit. Pada awalnya antara lain: Fajar di Makassar, Cahaya Siang di Manado, Semarak Bengkulu di Bengkulu, Suara Maluku di Ambon, Riau Pos di Pekanbaru, Suara Nusa di Mataram, Manungtung di Balikpapan dan Sumatera Ekspress di Palembang.

Sekarang koran-koran itu sudah banyak yang berganti nama dan jumlahnya sudah 100 penerbitan lebih di seluruh ibukota provinsi dan beberapa kota kabupaten di Indonesia. Di bawah manajemen Grup Jawa Pos ini penerbitannya memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir, yang dikenal dengan JPNN (Jawa Pos News Network). Dengan menggunakan sistem ini, Jawa Pos melakukan pula proses cetak jarak jauh. Selain menggunakan nama lama, kini salah satu di antara ciri suratkabar yang bernaung dalam grup Jawa Pos menggunakan nama “Radar”, misalnya: Radar Surabaya, Radar Bogor dan lain-lain disuaikan dengan nama kota aeau daerah koran itu diedarkan. Pengelola “Radar-Radar” ini dikordinasikan oleh sebuah perusahaan, di antaranya: PT.Radar Timur yang mengelola suplemen dalam Radar yang berada di dalam tiras Jawa Pos. Ada Radar Malang, Radar Bojonegoro, Radar Kediri, Radar Bromo, Radar Madiun dan sebagainya.

Melihat kekuatan Jawa Pos yang dulu mempopularkan motto “Koran nasional yang terbit dari Surabaya” semakin menggurita, maka penerbitan besar di Jakarta Grup Kompas Gramedia bersama Grup Pos Kota melakukan kerjasama meningkatkan manajemen Mingguan Surya menjadi Harian Surya. Dalam perjalanannya, Grup Pos Kota menarik diri, sehingga Harian Surya kini hanya dikelola oleh Grup Kompas.

Di akhir masa Orde Baru dan memasuki era Reformasi, Surabaya Post benar-benar kehilangan pamor dan bangkrut, sementara Grup Jawa Pos semakin berjaya dan Harian Surya, tetap eksis. Kendati sempat menjadi grup Jawa Pos, harian Bhirawa akhirnya mampu mandiri.

Majalah yang bertahan dengan manajemen sendiri adalah: Jayabaya, Penyebar Semangat dan Fakta. Sedangkan yang lain melakukan kerjasama manajemen dan diambilalih oleh Grup Jawa Pos, seperti: Suara Indonesia yang berganti nama jadi Radar Surabaya, Harian Memorandum, Harian Karya Darma, Surabaya Minggu, Mingguan Asas, Majalah Mentari dan Majalah Liberty. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Wartawan berdomisili di Surabaya.

Menyambut HPN 2009 (6): Pers di Surabaya Selalu Jadi Pelopor

 Pers di Surabaya

Selalu Jadi Pelopor


 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

WARGA Kota Surabaya dan Jawa Timur layak bangga di bidang pers. Sebab, di kota perjuangan ini pulalah para wartawan melakukan perjuangannya melalui mediamassa atau pers. Kecuali itu, berbagai gebrakan yang dilakukan para “kuli tinta” – begitu sebutan untuk wartawan – di Surabaya ini banyak memberi warna terhadap perkembangan pers di Indonesia.

 Di awal kemerdekaan RI, menjelang peristiwa bersejarah Hari Pahlawan 10 November, peran wartawan mengobarkan semangat juang tidak hanya melalui media cetak atau suratkabar, tetapi juga menggunakan siaran radio. Kendati Sutomo alias Bung Tomo berkedudukan sebagai redaktur di Kantor Berita (KB) Indonesia yang kemudian ganti nama menjadi LKBN Antara, ia juga “galak” di depan corong radio. Pidatonya yang berapi-api mampu membakar hati arek-arek Suroboyo melalui radio BPRI (Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia).

 Selain suratkabar Soeara Rakjat dan buletin Siaran Kilat, saat Belanda bersama Sekutu kembali menduduki Indonesia, beberapa suratkabar yang terbit bersama wartawannya dalam pengungsian. Ada Djojobojo (baca: Joyoboyo) terbit di Kediri, Api Rakyat di Madiun, Perdjoeangan, Repoeblik dan Bhakti di Mojokerto, Djiwa Repoeblik dan Berdjoeang di Malang, kemudian ada suratkabart Peladjar Berdjoeang di Blitar, serta beberapa penerbitan dengan tiras terbatas.

Setelah penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Indonesia, 27 Desember 1949 keadaan di dalam negeri mulai terkendali. Pemerintahan mulai menata diri, demikian pula dengan masyarakat persnya. Era tahun 1950 hingga 1959 disebut juga sebagai era “Demokrasi Liberal”. Suasananya, hampir sama dengan era Reformasi tahun 1999 hingga 2004 sekarang ini. Penerbitan pers dan siaran radio muncul bagaikan jamur di musim hujan. Begitu pula di Surabaya.

Siapa saja yang merasa punya modal dan berkeinginan melakukan penerbitan, menerbitkan majalah dan suratkabar. Namun, para penerbit dan wartawan profesional jugalah yang mampu bertahan, sedangkan yang amatiran satu per-satu bangkrut dan gulung tikar.

Suratkabar yang cukup lama bertahan di era ini adalah koran Berita, Trompet Masjarakat, Pewarta Soerabaia, Perdamaian dan Java Post. Harian Berita yang dipimpin A.Azis kemudian menghentikan penerbitannya dan bergabung ke Suara Rakyat yang terbit kembali setelah terhenti beberapa saat. Namun, pada tanggal 1 April 1953, A.Azis menerbitkan suratkabar berbentuk tabloid bernama Surabaya Post.

Koran Surabaya Post benar-benar mampu menjadi raksasa di Surabaya, tidak hanya di era Demokrasi Liberal (1950-1959) dan era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), tetapi lebih berjaya lagi di era Demokrasi Pancasila (1966-1999). Namun masa jaya Surabaya Post menjadi pudar, tatkala Ny.Toety Azis sebagai penerus manajemen yang menggantikan suaminya A.Azis, tidak berhasil menghadapi tantangan di era Reformasi ini.

Harian Java Post yang dipimpin Goh Tjing Hok dikenal sebagai koran berani. Selain Goh Tjing Hok sendiri yang penulisannya cukup tajam dan kritis. Ditambah lagi dengan keberanian penulisan opini oleh redakturnya RM Moestopo (wartawan yang aktif hingga usianya menjelang 80-an sekarang ini). Kemudian Goh Tjing Hok ke luar dari Java Post dan mendirikan majalah Liberal (kemudian ganti nama menjadi Liberty).

Java Post kemudian ditangani oleh The Chung Sen (Suseno Tedjo) sebagai pemimpin umum dan Thio Oen Sik (Setyono) sebagai pemimpin redaksi. Koran inipun mampu bertahan dalam persaingan antarsuratkabar waktu itu. Dan kemudian, suratkabar yang berkantor di Jalan Kembang Jepun ini ganti nama menjadi Jawa Pos. Sejak om Te – begitu almarhum Suseno Tedjo akrab disapa — menyerahkan pengelolaan Jawa Pos kepada Dahlan Iskan yang waktu itu sebagai kepala perwakilan Majalah Tempo di Surabaya tahun 1983, terjadi perubahan yang sangat pesat. Jawa Pos berhasil menjadi sebuah grup mediamassa yang menggurita di Nusantara.

Ada lagi Koran Pewarta Soerabaia yang kemudian berubah menjadi Pewarta Surabaya dan Harian Umum. Pada era Demokrasi Liberal sampai Demokrasi Terpimpin atau juga disebut masa Orde Lama, koran ini mempunyai pelanggan khusus di kota Surabaya. Selain berita-berita umum, koran ini lebih mengarahkan pemberitaannya ke dunia niaga. Sehingga, koran ini menjadi “koran wajib” para pejabat pemerintahan dan pengusaha yang waktu itu terpusat di sekitar Kembang Jepun.

Selain ada majalah Panyebar Semangat dan Joyoboyo yang berbahasa Jawa, juga ada majalah Duta yang juga berbahasa Jawa. Sedangkan majalah lainnya di samping Liberty, di Surabaya pada masa Orde Lama itu, di kota Surabaya terbit majalah Skets Masa yang berskala nasional, bertiras besar dan beredar di seluruh Indonesia. Dan satu majalah hiburan bernama Tjermin.

Setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959, terjadi berbagai pembatasan dalam penerbitan pers. Penerbitan tidak sebebas di masa Demokrasi Liberal. Di era Demokrasi Terpimpin itu, keluarlah ketentuan tentang SIT (Surat Izin Terbit). SIT dikeluarkan secara ketat dengan persyaratan yang yang cukup berat oleh Departemen Penerangan. Tidak hanya SIT, bahkan kemudian pemerintah mengeluarkan ketentuan SIC (Surat Izin Cetak).

Situasi perpolitikan nasional waktu itu semakin panas. Hal ini berimbas terhadap dunia pers, termasuk penerbitan pers di Surabaya. Suratkabar dianjurkan untuk bernaung di bawah payung atau underbuow partai politik dan organisasi kemasyarakatan (parpol dan ormas) yang diakui pemerintah. Akibatnya, wartawan terpengaruh oleh misi suratkabarnya, walaupun ada yang tetap berusaha untuk independen.

Gambaran yang diperlihatkan pada era Demokrasi Terpimpin itu, adalah pada pengaruh parpol dan ormas besar terhadap pers. Suratkabar Suluh Indonesia (di bawah PNI), Duta Masyarakat (milik NU), Harian Rakyat (PKI), Bintang Timur (Partindo), Api Pantjasila (IPKI), Nusa Putera (PSII), Kompas (Partai Katholik), Sinar Harapan (Parkindo), Mertju Suar (Muhammadiyah) dan Fadjar Baru (Perti).

Runtuhnya pemerintahan Orde Lama dan munculnya Orde baru, mengubah wajah penerbitan pers di Indonesia. Para wartawan di akhir zaman Orde Lama seolah-olah berada di bawah cengkeraman PKI (Partai Komunis Indonesia), bagaikan “merdeka”. Mereka seolah-olah lepas dari belenggu Demokrasi Terpimpin. Walaupun demikian, di masa Orde baru bukanlah surga bagi para jurnalis atau wartawan. Di masa ini, wartawan dikenakan ketentuan yang seirama dengan Demokrasi Pancasila.

Pemerintahan Orde baru melalui Deppen memberlakukan berbagai aturan hukum yang membatasi gerak pers. Selain penerbitan harus mempunyai SIT yang kemudian diubah menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), juga ada ketentuan yang cukup popular, yakni: “Kebebasan Pers yang bebas dan bertanggungjawab”. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Wartawan berdomisili di Surabaya