Dr.Soetomo Terbitkan
Panjebar Semangat
Oleh:Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH
UNTUK mengelabui pemerintah kolonial Belanda, tokoh perjuangan yang juga tokoh pers di Surabaya, dr.Soetomo menerbitkan suratkabar berbahasa Jawa, bernama “Panjebar Semangat”. Suratkabar yang terbit dalam bentuk lembaran sebanyak empat halaman itu, nomor perdananya diluncurkan 2 September 1933.
“Panjebar Semangat” memiliki misi utama untuk masyarakat pedalaman yang belum memahami bahasa Indonesia maupun Belanda. Sekaligus untuk mengelabui pihak Belanda yang kurang memahami bahasa Jawa. Dengan terbitnya koran ini, pesan-pesan perjuangan dapat langsung dicerna oleh masyarakat bawah. Itulah sebabnya bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa ‘ngoko’ (bahasa Jawa untuk kalangan masyarakat menenga), sehingga dapat menghilangkan feodalisme, ungkap penulis buku Perkembangan Pers Jawa Timur, mengutip dalih yang disampaikan dr.Soetomo waktu itu.
Suratkabar mingguan ini merupakan bacaan wajib anggota perkumpulan Boedi Oetomo (BO) dan Persatoean Bangsa Asia (PBA). Kedua perkumpulan yang dipimpin dr.Soetomo itu sama-sama beralamat di komplek GNI (Gedung Nasional Indonesia) Jalan Bubutan 87 Surabaya. Motto yang digunakan koran Penjebar Semangat adalah: “Suro Diro Djajadiningrat Lebur Dening Pangastuti”. Artinya: Segala kekuatan negatif yang ada di dalam masyarakat bisa ditaklukkan dengan lemah lembut dan penuh sopan santun, merendah dan bijaksana. Semboyan ini diambil dari kitab “Serat Witoradya” karangan Ronggowarsito.
Sebelum Panjebar Semangat terbit, tahun 1925 di Surabaya sudah ada belasan suratkabar dan majalah yang terbit. Mediamassa cetak itu ada yang menggunakan bahasa Arab, Melayu dan Belanda, bahkan Tionghoa. Koran dan majalah itu antara lain: Al Ahkam Jurnal Arabia (diterbitkan oleh Al Irsyad), Djangkar (terbitan Serikat Pekerja Pelabuhan), Proletar, Soeara Postel (diterbitkan SP Postel) dan Soeloeh Indonesia. Kemudian ada koran yang diterbitkan Tionghoa Kong Sin In Boen menerbitkan koran Soeara Poeblik yang tahun 1928 ganti nama menjadi Swara Poeblik dan bertahan terbit hingga tahun 1931.
Menjelang Sumpah pemuda tahun 1928, tulisan yang disajikan koran-koran yang diterbitkan kaum perjuangan semakin tajam menyoroti kolonial Belanda. Tahun 1927, ada sembilan penerbitan yang cukup lancar penerbitannya. Di antara koran itu, bernama: Perasa’an Kita yang diterbitkan oleh Persatuan Rakyat Sejati dan Sinar Indonesia dengan motto “menuntun kebenaran, keadilan dan persamaan bagi rakyat Indonesia.
Yang cukup unik dan menarik, ada penerbitan mingguan bernama ”Sendjata Indonesia” yang mottonya: mengajar ke arah kemerdekaan Indonesia pada keadilan, kebenaran dan persamaan. Dan ada pula koran mingguan bernama “Sepakat Indonesia”.
Kendati ada penerbitan yang merangsang semangat pemuda untuk bangkit, ada juga penerbitan yang menyerang para perintis kemerdekaan itu, yakni mingguan yang terbit di Surabaya, bernama: Djenggala. Koran yang dipimpin Ajat Djajadiningrat, cucu bupati Ngawi yang lulusan Osvia itu selalu menyerang dr.Soetomo yang dikenal dengan sebutan Grup Bubutan. Ajat dibantu oleh Isbandi, guru sekolah Taman Siswa dan Soedijono Djojopranoto yang terkenal saat itu dengan tulisannya menganai “Kube Affair”.
Ajat juga melakukan penyerangan melalui tulisan-tiulisan yang dimuat Djenggala terhadap tokoh Parindra (Partai Rakyat Indonesia), seperti: Soekardjo Wirjopranoto, Husni Thamrin, Mr.Iskak dan lain-lain.Wartawan-wartawan yang tergabung dalam grup Bubutan, seperti Imam Soepardi, Soedarjo Tjokrosisworo dan Roeslan Wongsokoesoemo juga menjadi bulan-bulanan majalah Djenggala ini.
Dengan gaya tulisannya yang bombastis itu, Djenggala mampu meraih banyak pembaca. Bahkan kemudian di tahun 1939, majalah ini berubah menjadi suratkabar harian dengan nama Express dan tidak lama kemudian mengubah ejaannya menjadi Ekspres. Pola penyajian tulisannya tetap menyerang lawan politiknya, sehingga beberapa redaktur yang tidak sepaham dengan Ajat mengundurkan diri.
Kebangkitan pers di Surabaya yang menunjang kebangkitan pers nasional terjadi tahun 1931, saat terbitnya suratkabar harian Soeara Oemoem (baca: Suara Umum). Koran ini diterbitkan oleh Soeloeh Ra’jat (baca: Suluh Rakyat) Indonesia, pimpinan Taher Tjindarboemi. Tulisan-tulisan dalam koran yang terbit rata-rata 3.000 eksemplar per-hari itu sangat tajam menyoroti pemerintahan penjajah.
Karena Tjindarboemi membuat tajuk yang berhubungan dengan pemberontakan di atas kapal Zeven Provincien, dia anggap melanggar undang-undang pemberedelan pers atau Persbreidel Ordonatie yang diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda, 7 September 1931. Suratkabar ini juga dituduh melanggar Haatzai Artikelen, yaitu tulisan yang dianggap mengganggu ketertiban umum serta menyebarkan perasaan bermusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah Belanda.
Selain tajuk itu, beberapa tulisan yang disajikan wartawan koran Soeara Oemoem ini juga dinilai menghasut. Akibatnya, Taher Tjindarboemi ditahan tanpa diadili selama 18 bulan di penjara Kalisosok Surabaya, kemudian dipindah ke penjara Sukamiskin di Bandung. Bersamaan dengan Taher Tjindarboemi juga ditangkap pemimpin redaksi majalah “Masyarakat”, A.Barnawi Latif. Ia juga menulis artikel pemberontakan kapal Zeven Provincien. Namun nasib A.Barnawi Latif yang berkantor di kampung Rangkah, Surabaya, itu berbeda dengan Tjindarboemi. Tanpa melalui pengadilan ia langsung dibuang ke Digul di Irian Jaya.
Perjuangan para wartawan melalui mediamassa itu, kemudian mendapat penghargaan dari Pemerintah RI melalui Departemen Sosial. Taher Tjindarboemi ditetapkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dan Dewan Pers memberikan gelar Perintis Pers Indonesia. Gelar yang sama juga dianugerahkan kepada: Abdul Rivai, Djamaluddin Adinegoro, Bakri Surjaatmadja, RM Djoko Mono Tirto Hadisoerjo, Dr.Douwes Dekker alias Setia Budhi, R.Mashoeri Darmosoegito, Dr.GSSJ Ratulangie, RM Bintarti, RM Soedarjo Tjokrosisworo dan Sutopo Wonobojo.
Bila diikuti sejarah dan perkembangan pers Indonesia di Surabaya khususnya, cukup menarik untuk dijadikan pelajaran. Timbul tenggelam penerbitan pers di zaman penjajahan itu menggambarkan semangat kejuangan para tokoh pers waktu itu. Kelihatannya, akibat misi utamanya perjuangan, mereka kurang memikirkan segi bisnisnya. Inilah yang mengakibatkan penerbitan masa perjuangan itu tidak banyak yang berumur panjang.
Menjelang perang Pasifik, di tahun 1940-an kegiatan penerbitan semakin “dapat angin”, karena pemerintah Belanda mulai kendur, karena mulai menghadapi serangan dari Jepang. Namun, situasi ekonomi kala itu tidak begitu menguntungkan, sehingga tidak banyak penerbitan baru yang muncul. Bahkan, saat Jepang mendarat di Surabaya, tahun 1942, semua penerbitan dan percetakan langsung dikuasai dan diawasi Balatentara Jepang.
Harian Soeara Oemoem diperbolehkan terbit, karena pemimpin redaksinya Abdul Wahab mempunyai hubungan baik dengan pihak Jepang. Namun, ia harus rela nama korannya diganti menjadi “Soeara Asia”. ***
*) Yousri Nur Raja Agam MH – mantan Wk.Ketua PWI Jatim
Filed under: PENDIDIKAN, PERS & MENIAMASSA, POLITIK, SEJARAH, UMUM | Leave a comment »