Hasil Sigi Yayasan Peduli Surabaya

Profil Pedagang Kaki Lima

Surabaya Mirip Jakarta

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

SETELAH berbagai problema dan dilema PKL (Pedagang Kaki Lima) diungkap, ada baiknya kita lihat bagaimana sesungguhnya PKL di Kota Surabaya ini. Dulu, ada seorang pejabat karir tertinggi di Pemkot Surabaya meluncurkan sebuah buku yang berbicara tentang kegiatan sektor informal di bidang ekonomi.

Buku berjudul Urban Hidden Economy atau Peran Tersembunyi Sektor Informal Perkotaan ini ditulis Dr.Ir.H.Alisjahbana, MA. (waktu itu menjabat sebagai Sekkota Surabaya). Buku yang pengantarnya ditulis Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Dr.Ir.Muhammad Nuh, DEA ini, diluncurkan di Gedung “kuno” Pusura, Jalan Yos Sudarso 9 Surabaya. Dalam buku setebal 181 halaman itu, oleh penulis kelahiran Medan 12 Mei 1949 ini dibagi tiga bagian yang terdiri 11 bab. Bagian pertama ia mengungkap konsep sektor informal, bagian kedua peranan sektor informal dan pada bagian ketiga dibahas masalah PKL dan pembinaan sektor informal.

Kendati Alisjahbana seorang ahli di bidang pembangunan kota, ternyata ia sangat menggandrungi masalah-masalah sosial ekonomi. Mungkin ini akibat berbagai kegiatan pemerintahan dan seminar-seminar yang sering diikutinya. Bahkan, dari kiprahnya sejak menjadi karyawan di Pemkot Surabaya tahun 1975 hingga sekarang, berbagai jabatan di bidang pembangunan hingga kepriwisataan dan Asisten II bidang ekonomi pembangunan (ekbang). Bahkan ia pernah menjadi Kepala Badan Perencana Pembangunan Kota (Bappeko) Kota Batu, sebelum menduduki jabatan Sekkota Surabaya.

Sarjana teknik lulusan ITB (Institut Teknologi Bandung) jurusan Teknik Geodesi tahun 1974 dan Master of Arts (MA) bidang manajemen perkotaan (Urban Management) di Eramus University di Rotterdam, Negeri Belanda dan sebagai Doktor di Universitas Airlangga Surabaya. Yang menarik, di Unair ini ia mengambil bidang ilmu sosial.

Mandiri

Nah, bagaimana sesungguhnya bentuk kegiatan informal di bidang ekonomi yang diamati oleh seorang birokrat. Dalam bab sembilan ia menuliskan tentang Peran tersembunyi kehadiran PKL. Kegiatan ekonomi sektor informal perdagangan PKL di kota berkembang sangat pesat. Beberapa permasalahan lingkungan yang timbul akibat PKL, antara lain: masalah kebersihan, keindahan, ketertiban, dan kemacetan lalulintas.

Kedaan ini pada satu sisi dianggap sebagai hal yang sangat mengganggu, tetapi di sisi lain, kegiatan PKL memberi kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah. Selain itu, kegiatan sektor informal ini merupakan ciri ekonomi kerakyatan yang bersifat mandiri dan menyangkut hayat hidup orang banyak.

Hal itu juga sejalan dengan pemikiran Kadir dan Biantoro, dua PKL di Surabaya yang menyampaikan makalahnya dalam seminar PKL yang diselenggarakan Yayasan Peduli Surabaya (penulis salah satu ketua Yayasan Peduli Surabaya). Ia menyebut bahwa sektor informal kini diperhitungkan sebagai salah satu alternatif bagi upaya pemecahan masalah ketenagakerjaan. Hal ini dimungkinkan, karena dalam proses perjalanan dan pertumbuhannya hingga saat ini, sekotr informal pada mulanya lebih dipandang sebagai pengganggu, ternyata mampu menunjukkan paling tidak dua manfaat.

Pertama, dalam berbagai keterbatasannya serta dalam situasi persaingan ekonomi kapitalistik yang ketat, sektor informal telah menunjukkan kemampyuan untuk tettap bertahan, meskipun dalam tahap yang kurang atau belum layak. Kedua, sektor informal telah menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan bekerja pada sektor formal.

Keberadaan PKL di kota-kota besar di Indonesia, memang dilematis. Pada satu sisi harus dilindungi, karena sebagai salah satu pelaku ekonomi, sedang di sisi lain menjadi obyek penggusuran karena dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota.

Surabaya Mirip Jakarta

Di salah satu sub judul tulisan Alisjahbana yang menjadi staf khusus walikota Surabaya, yakni di halaman 125, ditulis tentang Profil Pedagang Kaki Lima di Surabaya dan permasalahannya. Diawali krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997, ternyata berdampak semakin menjamurnya PKL di Surabaya. Ada sekitar 15 ribu PKL di Surabaya, sekitar 5.000 PKL muncul ketika krisis ekonomi malanda negara kita.

Hasil survey (sigi) yang dilakukan Yayasan Peduli Surabaya (YPS) tahun 2001-2003, PKL di Surabaya memberi gambaran dan karakteristik yang berbeda dengan PKL di Jogjakarta, tetapi lebih mirip dengan di Jakarta. Di mana, sekitar 60 persen bukan penduduk asli Surabaya. Mereka datang dari Lamongan, Madura, Mojokerto, Bojonegoro, Padang, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Tengah dan daerah lain di Indonesia Timur.

Dari segi manajemen, PKL yang ada di Surabaya sudah lebih maju daripada PKL yang ada di Makassar. Misalnya di Surabaya, PKL itu mempunyai kelompok dan paguyuban sebagai wadah. Sehingga dengan demikian pembinaan mudah dilakukan, di samping juga membuat komunikasi dengan berbagai pihak dapat terlaksana dengan baik.

Paguyuban PKL itu di antaranya terdapat di enam tempat utama, yakni di Embong Blimbing, Rukun Mulyo, Kepanjen, Setail, Karah dan Indrapura. Kemudian muncul lagi kelompok PKL di Rungkut, THR (pindahan dari Taman Surya) dan di Prapat Kurung. Dalam kesehariannya, PKL ini mengikat diri dengan mengadakan arisan, mengumpulkan dana sosisal, iuran wajib, dana kebersihan, dana keamanan dan sewa stan tempat berjualan.

Dari 163 kelurahan di Surabaya, mayoritas terdapat PKL dalam jumlah yang besar, hanya beberapa kelurahan yang memiliki sedikit PKL, bahkan belum ada sama sekali. Kelurahan itu adalah Kelurahan Jeruk, Gunung Anyar, Tambakdono, Tambakwedi, Klakahrejo dan Medokan Semampir. Konsentrasi PKL yang cukup banyak jumlahnya ada di Kelurahan Sawahan, Dukuhpakis, Dukuhkupang, Sawunggaling, Rungkut Kidul, Perak Utara, Sukomanunggal, Simomulyo dan Tanjungsari.

Akibat PHK

Diperkirakan jumlah PKL akibat krisis ekonomi ini meningkat 31,5 persen. PKL baru itu umumnya baru menjalani profesi antara satu hingga tiga tahun. Alasan mereka memilih menjadi PKL, karena sulit mencari kerja (46,5 %) dan akibat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau berhenti kerja di perusahaan (8,5 %).

Pelaku PKL ini umumnya adalah urban dan pekerjaan sebelumnya buruh tani dan petani (39,5 %). Dari jumlah itu sebanyak 69,5 % memilih sebagai PKL yang menjual makanan dan minuman, sisanya pedagang buah-buahan (6 %), pakaian jadi (5 %), sepatu dan sandal (1 %), serta lain-lain (barang loak, onderdil, bensin, rokok, arloji, dan sebagainya) sebanyak 18,5%.

Dilihat dari tingkat pendidikan PKL di Surabaya ini juga cukup beragam, karena tidak saja dilakukan oleh yang tidak berpendidikan. Mereka adalah lulusan SD (49,5 %), SMP (23 %), SMA (14,5 %), Perguruan Tinggi (3,5%) dan hanya 9,5 % yang tidak mencantumkan pendidikannya dalam sigi lapangan yang penulis lakukan bersama YPS.

Memang, para PKL di Surabaya itu umumnya menempati lokasi tanpa izin, bahkan banyak yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surabaya. Mereka di Surabaya menempati rumah kos dan kontralk, juga tidak jarang menjadikan warung tempat berjualan berfungsi sebagai tempat tidur.

Dari berbagai jenis PKL itu yang paliung menimbulkan kekumuhan adalah PKL yang menghasilkan sampah basah dari jenis PKL yang berjualan sayur-mayur dan makanan. Akibat langsung yang dapat dilihat adalah sempt dan kusamnya wajah trotoar, disertai onggokan sampah yang tidak segera diangkut ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara).

Perkembangan PKL di Surabaya sejak 1997 itu, juga berkembang pada wartel (warung telekomunikasi), fotokopi dan penjualan buku. Khusus untuk buku bekas sebenarnya sudah ada sejak lama, terletak di sepanjang Jalan Semarang, di depan stasiun kereta api Pasar Turi. Walaupun penjulan buku ini tertata rapi, namun dianggap belum layak, karena menempati lahan milik orang lain. Artinya, tidak merupakan tempat khusus penjualan buku bekas yang dijamin bebas gusur.

Ada yang menarik, PKL ini di samping banyak terdapat di pusat-pusat perbelanjaan dan perkantoran, juga menjamur di sekitar kampus perguruan tinggi dan sekolah.

Dari kegiatan PKL itu apakah mereka bisa hidup layak? Ini dapat dilihat dari rata-rata pendapatan PKL per-bulan. Yang berpenhasilan kurang dari Rp 300 ribu per-bulan mencapai 42 %. Yang berpenghasilan Rp 300 ribu hingga Rp 800 ribu per-bulan 40,5 % dan yang berpenghasilan lebih Rp 800 ribu per-bulan hanya 11,5 %.

Dengan penghasilan yang sedemikian itu, apakah anak-anak mereka bisa bersekolah? Ternyata ada yang mampu membiayai kuliah anaknya di perguruan tinggi (6,5 %), SMU (25 %), SMP (22,5 %), SD (32,5 %), TK (7,5%).

Begitulah sepintas profil PKL di Surabaya yang ditulis Alisjahbana yang kini bergabung sebagai dosen di bawah Kopertis (Kordinator Perguruan Tinggi Swasta) setelah “kalah” dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Kota Surabaya 2005 yang dimenangkan pasangan Drs.Bambang DH dengan Drs.Arif Afandi.

Jadi, kesimpulan Alisjahbana, PKL sebenarnya mampu menanggulangi permasalahan ekonomi warga kota dalam ukuran bawah. Sekurang-kurangnya peran PKL itu dapat mengatasi problema kota dalam sisi pemenuhan kebutuhan hidup sebagian warga kota. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: