Hasil Sigi Yayasan Peduli Surabaya

Profil Pedagang Kaki Lima

Surabaya Mirip Jakarta

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

SETELAH berbagai problema dan dilema PKL (Pedagang Kaki Lima) diungkap, ada baiknya kita lihat bagaimana sesungguhnya PKL di Kota Surabaya ini. Dulu, ada seorang pejabat karir tertinggi di Pemkot Surabaya meluncurkan sebuah buku yang berbicara tentang kegiatan sektor informal di bidang ekonomi.

Buku berjudul Urban Hidden Economy atau Peran Tersembunyi Sektor Informal Perkotaan ini ditulis Dr.Ir.H.Alisjahbana, MA. (waktu itu menjabat sebagai Sekkota Surabaya). Buku yang pengantarnya ditulis Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Dr.Ir.Muhammad Nuh, DEA ini, diluncurkan di Gedung “kuno” Pusura, Jalan Yos Sudarso 9 Surabaya. Dalam buku setebal 181 halaman itu, oleh penulis kelahiran Medan 12 Mei 1949 ini dibagi tiga bagian yang terdiri 11 bab. Bagian pertama ia mengungkap konsep sektor informal, bagian kedua peranan sektor informal dan pada bagian ketiga dibahas masalah PKL dan pembinaan sektor informal.

Kendati Alisjahbana seorang ahli di bidang pembangunan kota, ternyata ia sangat menggandrungi masalah-masalah sosial ekonomi. Mungkin ini akibat berbagai kegiatan pemerintahan dan seminar-seminar yang sering diikutinya. Bahkan, dari kiprahnya sejak menjadi karyawan di Pemkot Surabaya tahun 1975 hingga sekarang, berbagai jabatan di bidang pembangunan hingga kepriwisataan dan Asisten II bidang ekonomi pembangunan (ekbang). Bahkan ia pernah menjadi Kepala Badan Perencana Pembangunan Kota (Bappeko) Kota Batu, sebelum menduduki jabatan Sekkota Surabaya.

Sarjana teknik lulusan ITB (Institut Teknologi Bandung) jurusan Teknik Geodesi tahun 1974 dan Master of Arts (MA) bidang manajemen perkotaan (Urban Management) di Eramus University di Rotterdam, Negeri Belanda dan sebagai Doktor di Universitas Airlangga Surabaya. Yang menarik, di Unair ini ia mengambil bidang ilmu sosial.

Mandiri

Nah, bagaimana sesungguhnya bentuk kegiatan informal di bidang ekonomi yang diamati oleh seorang birokrat. Dalam bab sembilan ia menuliskan tentang Peran tersembunyi kehadiran PKL. Kegiatan ekonomi sektor informal perdagangan PKL di kota berkembang sangat pesat. Beberapa permasalahan lingkungan yang timbul akibat PKL, antara lain: masalah kebersihan, keindahan, ketertiban, dan kemacetan lalulintas.

Kedaan ini pada satu sisi dianggap sebagai hal yang sangat mengganggu, tetapi di sisi lain, kegiatan PKL memberi kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah. Selain itu, kegiatan sektor informal ini merupakan ciri ekonomi kerakyatan yang bersifat mandiri dan menyangkut hayat hidup orang banyak.

Hal itu juga sejalan dengan pemikiran Kadir dan Biantoro, dua PKL di Surabaya yang menyampaikan makalahnya dalam seminar PKL yang diselenggarakan Yayasan Peduli Surabaya (penulis salah satu ketua Yayasan Peduli Surabaya). Ia menyebut bahwa sektor informal kini diperhitungkan sebagai salah satu alternatif bagi upaya pemecahan masalah ketenagakerjaan. Hal ini dimungkinkan, karena dalam proses perjalanan dan pertumbuhannya hingga saat ini, sekotr informal pada mulanya lebih dipandang sebagai pengganggu, ternyata mampu menunjukkan paling tidak dua manfaat.

Pertama, dalam berbagai keterbatasannya serta dalam situasi persaingan ekonomi kapitalistik yang ketat, sektor informal telah menunjukkan kemampyuan untuk tettap bertahan, meskipun dalam tahap yang kurang atau belum layak. Kedua, sektor informal telah menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan bekerja pada sektor formal.

Keberadaan PKL di kota-kota besar di Indonesia, memang dilematis. Pada satu sisi harus dilindungi, karena sebagai salah satu pelaku ekonomi, sedang di sisi lain menjadi obyek penggusuran karena dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota.

Surabaya Mirip Jakarta

Di salah satu sub judul tulisan Alisjahbana yang menjadi staf khusus walikota Surabaya, yakni di halaman 125, ditulis tentang Profil Pedagang Kaki Lima di Surabaya dan permasalahannya. Diawali krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997, ternyata berdampak semakin menjamurnya PKL di Surabaya. Ada sekitar 15 ribu PKL di Surabaya, sekitar 5.000 PKL muncul ketika krisis ekonomi malanda negara kita.

Hasil survey (sigi) yang dilakukan Yayasan Peduli Surabaya (YPS) tahun 2001-2003, PKL di Surabaya memberi gambaran dan karakteristik yang berbeda dengan PKL di Jogjakarta, tetapi lebih mirip dengan di Jakarta. Di mana, sekitar 60 persen bukan penduduk asli Surabaya. Mereka datang dari Lamongan, Madura, Mojokerto, Bojonegoro, Padang, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Tengah dan daerah lain di Indonesia Timur.

Dari segi manajemen, PKL yang ada di Surabaya sudah lebih maju daripada PKL yang ada di Makassar. Misalnya di Surabaya, PKL itu mempunyai kelompok dan paguyuban sebagai wadah. Sehingga dengan demikian pembinaan mudah dilakukan, di samping juga membuat komunikasi dengan berbagai pihak dapat terlaksana dengan baik.

Paguyuban PKL itu di antaranya terdapat di enam tempat utama, yakni di Embong Blimbing, Rukun Mulyo, Kepanjen, Setail, Karah dan Indrapura. Kemudian muncul lagi kelompok PKL di Rungkut, THR (pindahan dari Taman Surya) dan di Prapat Kurung. Dalam kesehariannya, PKL ini mengikat diri dengan mengadakan arisan, mengumpulkan dana sosisal, iuran wajib, dana kebersihan, dana keamanan dan sewa stan tempat berjualan.

Dari 163 kelurahan di Surabaya, mayoritas terdapat PKL dalam jumlah yang besar, hanya beberapa kelurahan yang memiliki sedikit PKL, bahkan belum ada sama sekali. Kelurahan itu adalah Kelurahan Jeruk, Gunung Anyar, Tambakdono, Tambakwedi, Klakahrejo dan Medokan Semampir. Konsentrasi PKL yang cukup banyak jumlahnya ada di Kelurahan Sawahan, Dukuhpakis, Dukuhkupang, Sawunggaling, Rungkut Kidul, Perak Utara, Sukomanunggal, Simomulyo dan Tanjungsari.

Akibat PHK

Diperkirakan jumlah PKL akibat krisis ekonomi ini meningkat 31,5 persen. PKL baru itu umumnya baru menjalani profesi antara satu hingga tiga tahun. Alasan mereka memilih menjadi PKL, karena sulit mencari kerja (46,5 %) dan akibat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau berhenti kerja di perusahaan (8,5 %).

Pelaku PKL ini umumnya adalah urban dan pekerjaan sebelumnya buruh tani dan petani (39,5 %). Dari jumlah itu sebanyak 69,5 % memilih sebagai PKL yang menjual makanan dan minuman, sisanya pedagang buah-buahan (6 %), pakaian jadi (5 %), sepatu dan sandal (1 %), serta lain-lain (barang loak, onderdil, bensin, rokok, arloji, dan sebagainya) sebanyak 18,5%.

Dilihat dari tingkat pendidikan PKL di Surabaya ini juga cukup beragam, karena tidak saja dilakukan oleh yang tidak berpendidikan. Mereka adalah lulusan SD (49,5 %), SMP (23 %), SMA (14,5 %), Perguruan Tinggi (3,5%) dan hanya 9,5 % yang tidak mencantumkan pendidikannya dalam sigi lapangan yang penulis lakukan bersama YPS.

Memang, para PKL di Surabaya itu umumnya menempati lokasi tanpa izin, bahkan banyak yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surabaya. Mereka di Surabaya menempati rumah kos dan kontralk, juga tidak jarang menjadikan warung tempat berjualan berfungsi sebagai tempat tidur.

Dari berbagai jenis PKL itu yang paliung menimbulkan kekumuhan adalah PKL yang menghasilkan sampah basah dari jenis PKL yang berjualan sayur-mayur dan makanan. Akibat langsung yang dapat dilihat adalah sempt dan kusamnya wajah trotoar, disertai onggokan sampah yang tidak segera diangkut ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara).

Perkembangan PKL di Surabaya sejak 1997 itu, juga berkembang pada wartel (warung telekomunikasi), fotokopi dan penjualan buku. Khusus untuk buku bekas sebenarnya sudah ada sejak lama, terletak di sepanjang Jalan Semarang, di depan stasiun kereta api Pasar Turi. Walaupun penjulan buku ini tertata rapi, namun dianggap belum layak, karena menempati lahan milik orang lain. Artinya, tidak merupakan tempat khusus penjualan buku bekas yang dijamin bebas gusur.

Ada yang menarik, PKL ini di samping banyak terdapat di pusat-pusat perbelanjaan dan perkantoran, juga menjamur di sekitar kampus perguruan tinggi dan sekolah.

Dari kegiatan PKL itu apakah mereka bisa hidup layak? Ini dapat dilihat dari rata-rata pendapatan PKL per-bulan. Yang berpenhasilan kurang dari Rp 300 ribu per-bulan mencapai 42 %. Yang berpenghasilan Rp 300 ribu hingga Rp 800 ribu per-bulan 40,5 % dan yang berpenghasilan lebih Rp 800 ribu per-bulan hanya 11,5 %.

Dengan penghasilan yang sedemikian itu, apakah anak-anak mereka bisa bersekolah? Ternyata ada yang mampu membiayai kuliah anaknya di perguruan tinggi (6,5 %), SMU (25 %), SMP (22,5 %), SD (32,5 %), TK (7,5%).

Begitulah sepintas profil PKL di Surabaya yang ditulis Alisjahbana yang kini bergabung sebagai dosen di bawah Kopertis (Kordinator Perguruan Tinggi Swasta) setelah “kalah” dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Kota Surabaya 2005 yang dimenangkan pasangan Drs.Bambang DH dengan Drs.Arif Afandi.

Jadi, kesimpulan Alisjahbana, PKL sebenarnya mampu menanggulangi permasalahan ekonomi warga kota dalam ukuran bawah. Sekurang-kurangnya peran PKL itu dapat mengatasi problema kota dalam sisi pemenuhan kebutuhan hidup sebagian warga kota. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Balada Pedagang Kaki Lima

Bukan Menggusur

Tetapi Menertibkan

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

SILIH berganti walikota Surabaya dari zaman ke zaman, selalu menyatakan tidak akan menggusur PKL (Pedagang Kaki Lima). Mereka itu akan dibina, bukan dibinasakan. Untuk itulah, maka kebijakan yang dilakukan para walikota Surabaya adalah memberdayakan PKL. Sehingga, akhirnya komitmen Pemkot Surabaya itu diwujudkan dengan disahkannya Perda (Peraturan Daerah) Pembardayaan Pedagang Kaki Lima sejak Jumat 19 September 2003.

Kendati pernyataan para petinggi di Pemkot Surabaya tidak akan menggusur PKL, pada kenyataannya hampir tiap hari ada berita tentang “obrakan” PKL di jalan-jalan dan tempat-tempat tertentu di Kota Surabaya. Itu memang benar, pengertian obrakan bukanlah penggusuruan, tetapi penertiban, begitu istilah yang lazim kita dengar. Penertiban yang dilakukan aparat Pemkot Surabaya, seperti petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang kadang-kadang dibantu aparat kepolisian, memang bukan menggusur PKL, tetapi menertibkan.

Arti menertibkan di sini, karena banyak PKL yang mengabaikan kepentingan umum atau orang lain di jalan raya atau di sekitar lingkungan permukiman. Tidak jarang, lalulintas terhambat dan bahkan macet total, akibat terhalang oleh PKL yang tumpah ke badan jalan. Padahal, menurut aturan, berdagang di trotoar saja sudah melanggar hukum, apalagi di badan jalan. Kecuali itu, sering pula para PKL itu berdagang di depan rumah atau bangunan toko milik orang yang menghalagi ke luar masuk pemilik rumah atau bangunan. Karena PKL ini mengabaikan pintu masuk dan keluar si pemilik bangunan.

Penertiban yang cukup menonjol berlangsung di Jalan Tunjungan untuk PKL yang menjual kaset VCD dan pakaian jadi, di depan Stasiun Wonokromo dan di sekitar Pasar Keputran terhadap pedagang sayur-mayur. Demikian pula di sepanjang jalan protokol, di Taman Surya dan Sedapmalam untuk berbagai jenis dagangan, di samping secara rutin di berbagai tempat lainnya.

Penertiban yang dilakukan Pemkot Surabaya, selalu dikatakan dilaksanakan sesuai prosedur dan profesional. Jadi, tidak asal gusur atau dengan seenaknya melakukan obrakan terhadap para pelanggar. Sebelumnya sudah berulangkali disosialisasikan dan diperingatkan agar PKL berjualan di tempat yang tidak melanggar ketentuan hukum. Namun, di sinilah permasalahannya. Sebab, PKL mempunyai prinsip yang berbeda dengan teori penertiban.

Berulangkali aparat Pemkot Surabaya melakukan penertiban PKL, mulai di jalan-jalan protokol atau di sebut tujuh jalur utama di Kota Surabaya, ditambah lagi di jalan-jalan arteri yang seharusnya bebas dari hambatan dan lancar digunakan sebagai sarana lalulintas. Sebagai contoh, Jalan Kapasari, mulai dari perempatan Jalan Kalianyar, Kusuma Bangsa dan Ngaglik sampai ke pertigaan Jalan Gembong. Sisi kiri kanan jalan ini biasa digunakan para PKL barang bekas atau loak. Padahal ini adalah salah satu jalan arteri yang selalu ramai menghubungkan kegiatan kendaraan besar jenis truk yang menuju ke Pelabuhan Tanjungperak.

Banyak contoh lain, seperti juga di Jalan Pahlawan di depan perkantoran PT.Pelni, Suratkabar dan majalah, bioskop Surabaya dan bank. Suasana di dekat Tugu Pahlawan ini tiap hari ramai, apalagi di hari Sabtu dan Minggu. Badan jalan sudah dimonopoli oleh PKL, sehingga kendaraan umum yang “paling berhak” menggunakan jalan raya itu “terpaksa” mengalah dan mengalihkan perjalanannya melalui jalan samping.

Tujuh jalur utama di Kota Surabaya, yakni: Jalan Tunjungan, Gubernur Suryo, Yos Sudarso, Panglima Sudirman, Basuki Rachmat, Embong Malang dan Blauran adalah jalan tengah kota yang selalu dinyatakan “bebas PKL”. Akibatnya berulangkali di tempat ini di adakan penertiban PKL. Tetapi, PKL tidak pernah mengalah. Mereka selalu saja kucing-kucingan dengan petugas penertiban dari Satpol PP. Jadi, apabila kemudian pengertian pembinaan berubah menjadi pembinasaan PKL, itu bukan salah yang menertibkan atau membinasakan, namun akibat PKL yang tidak mau tahu dengan aturan yang berlaku.

Membabibuta

Dari kacamata PKL, tindakan aparat Pemkot sering “membabibuta”, mereka mengabaikan jiwa dan rasa kemanusiawian. Di sinilah, timbul dilema dan problema sosial kemasyarakatan hidup “susah” di tengah kota Surabaya.

Sebenarnya pekerjaan Pemkot Surabaya tidak terlalu berat melakukan penertiban PKL ini, andaikata di kedua belah pihak terdapat saling pengertian. Sebab, bagaimanapun juga, adanya PKL merupakan salah satu pemecahan masalah di dalam kota secara universal. Keberadaan PKL mampu mengurangi krisis ekonomi yang berkepanjangan di era reformasi ini. Untuk itulah, seharusnya penataan dan pemberdayaan PKL itu melibatkan berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat, termasuk masyarakat PKL itu sendiri.

Seharusnya stake holder yang berkepentingan dengan PKL dapat mencurahkan pikiran yang positif. Dengan demikian penataan PKL prospektif bagi warga kota secara umum, begitu pula bagi PKL itu sendiri. Di sinilah perlunya aparat Pemkot melibatkan secara langsung unsur PKL dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli PKL dalam mencari pemecahan masalah. Sebab, selama ini kenyataannya para PKL itu “dibekingi” oleh LSM yang peduli terhadap PKL.

Penertiban PKL memang mempunyai berbagai masalah, di sini diperlukan pendekatan yang spesifik. Di era keterbukaan ini, dalam menertibkan PKL, aparat Pemkot harus “jujur”, bahwa penertiban PKL itu benar-benar demi kepentingan masyarakat, jadi bukan berdasarkan “order” dari orang atau kelompok tertentu. Kecurigaan inilah yang sering menjadi penghambat kelancaran penertiban PKL.

Di samping masalah penertiban PKL, sebenarnya yang perlu dijadikan landasan oleh Pemkot Surabaya adalah penyediaan lokasi untuk PKL. Sebab, pemberdayaan PKL itu tidak semata-mata melakukan penertiban, namun dicarikan jalan keluar yang tepat. Misalnya, penggusuran PKL dari Taman Surya dan Jalan Sedapmalam ke bagian belakang Mal Surabaya, atau tepatnya di THR (Taman Hiburan Rakyat), menuai protes dari para PKL. Walaupun karena “terpaksa” mereka pindah ke sana. Namun, hati mereka menjerit, hingga kemudian menjadi kenyataan. PKL yang berada di THR itu sepi pembeli. Padahal, PKL itu berjualan bukan mencari kaya dan menumpuk modal, namun sekedar memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.

Studibanding

Sudah berulangkali ke berbagai tempat di kota-kota lain di Indonesia ini, bahkan sampai ke berbagai negara di luar negeri, aparat Pemkot Surabaya dan anggota DPRD Kota Surabaya melakukan studibanding tentang PKL. Sudah banyak masukan dan perbandingan yang sebenarnya dapat diserap untuk diterapkan di Kota Surabaya. Ditambah lagi, sumbangan pemikiran dari kunjungan wartawan, mahasiswa dan peneliti kampus ke berbagai tempat yang disampaikan kepada Pemkot dan DPRD Kota Surabaya. Tentu masukan itu semua dapat dijadikan landasan berpijak untuk memecahkan segala bentuk problema dan permasalahan.

Beberapa kota di Indonesia, dianggap mampu memecahkan masalah PKL. Sehingga aparat Pemkot dan DPRD, serta wartawan dan peneliti mengunjungi “kota besar” yang berhasil itu. Tetapi, setelah hasil studibanding itu disampaikan, ternyata pemecahan yang dilakukan di Kota Surabaya ini kelihatannya “mengabaikan” temuan dalam studibanding itu. Tidak banyak hasil studibanding yang disampaikan kepada aparat pelaksana di Pemkot Surabaya dilaksanakan. Rasanya hasil-hasil studibanding itu merupakan hal yang sia-sia atau mubazir.

Contoh, pola yang dilakukan Pemkot Makassar, Sulawesi Selatan yang menyediakan tempat khusus untuk PKL makana di pinggir pantai. Selain menikmati makanan, juga mengajak warga kota berekreasi menikmati alam. Penyediaan PKL khusus di berbagai tempat di Jakarta. Pernah pula melakukan studibanding ke Bandung, Semarang, Jogjakarta dan Medan. Bahkan ke Singapura, Malaysia, Thailand, Cina dan negara-negara di Eropa. Namun, tidak banyak perubahan yang terjadi dalam penanganan PKL di Surabaya ini sebagai hasil serapan studibanding yang dibiayai dengan sangat “mahal” itu.

Agar masalah PKL ini tidak selalu menjadi “lingkaran setan”, seyogyanya Pemkot Surabaya merancang dan merekayasa sedemikian rupa lokasi PKL yang strategis di setiap distrik atau wilayah. Pemanfaatan jalan-jalan yang sepi di malam hari sebagai lokasi PKL yang khusus berjualan di malam hari, perlu ditingkatkan. Tidak hanya memusatkan di Jalan kembang Jepun dengan Kya-kya yang sudah ada sejak 2003 lalu, tetapi juga perlu ada tempat lain. Karena, ada kesan, bahwa Kya-Kya mengandung unsur spesifik untuk etnis tertentu. Kya-Kya dalam bahasa Cina artinya: “jalan-jalan”. Walaupun kenyataannya, Kya-Kya melayani kepentingan semua suku dan etnis lain, selain Tionghoa.

Ternyata Kya-Kya yang ada di Kembang Jepun ini sama dan “menjiplak” model yang ada di Kota Medan. Di sana sejak tahun 2002, sudah dilakukan pemusatan pedagang penjual makanan, minuman dan mainan anak-anak di pusat kota. Di Jalan Kesawan yang disebut “Kesawan Squere” atau “pojok Kesawan”. Sejak zaman dulu, Jalan Kesawan itu terkenal sebagai pusat pertokoan elite, seperti Jalan Tunjungan di Surabaya, Jalan Malioboro di Jogjakarta atau Jalan Braga di Bandung. Artinya, Jalan Kesawan ini adalah jalan paling ramai di siang hari, tetapi ditutup total pada malam hari dan berubah menjadi pusat penjualan makanan, minuman dan mainan anak-anak.

Walaupun model Kya-Kya menjiplak dari Kesawan Squere, di Medan ini ada pemisahan yang tegas antara kelompok pedagang makanan Cina dengan kelompok pedagang Indonesia yang disebut Nusantara. Di ujung timur terdapat panggung hiburan lagu-lagu Mandarin dan di bagian barat panggung mobil yang menyajikan lagu-lagu Indonesia. Sedangkan di Kya-kya suasana membaur, tidak ada perbedaan penempatan makanan Cina dengan Nusantara. Ada masakan Jawa, Madura, Sunda, Makassar dan Padang. Ini kelihatan lebih positif, sehingga pemesanan makanan tidak terlalu sulit, karena mudah dijangkau.

Bagi Surabaya, di samping PKL permanen, tidak jarang muncul PKL kagetan, yaitu PKL yang bersifat musiman. PKL kagetan biasanya muncul di hari-hari besar dalam bentuk bazar, sedangkan yang lain muncul di tempat tertentu. Misalnya di sekitar Tugu Pahlawan, di sekitar masjid pada Hari Jumat dan di pagi Minggu di sekitar Masjid Al Akbar, serta di sekitar pabrik di hari Sabtu, biasanya saat buruh atau karyawan menerima bayaran upah. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH, Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Masalah Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima


Dilema Kota

Tanpa Akhir


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur Raja Agam bersama Walikota Padang Fauzi Bahar saat berkunjung ke Kota Surabaya

Yousri Nur Raja Agam bersama Walikota Padang Fauzi Bahar saat berkunjung ke Kota Surabaya

BERMULA dari pedagang keliling yang memasarkan dagangannya ke berbagai tempat yang ramai, di sanalah awal sebutan “Pedagang Kaki Lima” atau PKL. Biasanya, para pedagang yang berpindah-pindah itu, membawa kain besar segi empat ke mana ia pergi. Setelah menemukan tempat yang dianggap layak untuk menjual barang dagangannya, kain besar itu dikembangkan. Ke empat sudutnya diikat dan dihubungkan dengan tongkat sebagai tiang dan di bagian tengahnya ditopang dengan galah bambu. Jadilah empat sudut dan satu tiang penyangga menjadi lima. Sehingga, pedagang dan pembeli berlindung di bawah tenda berkaki lima. Lama-lama, popularlah sebutan kepada pedagang tidak tetap yang berada di tanah lapang atau pinggir jalan itu sebagai pedagang kaki lima.

Di ibukota Jakarta, pernah ada cap, bahwa PKL itu idendik dengan “orang Padang atau perantau asal Minang”. Sebab di mana-mana pada tahun 1950-an hingga 1970-an PKL itu didominasi oleh para PKL asal Sumatera Barat itu. Menyusul kemudian dari perantau asal Tapanuli atau Batak. Tetapi, lama kelamaan PKL di Jakarta itu berdatangan dari seluruh daerah di Indonesia. Khusus di Jawa, daerah asal PKL terbanyak dari Sumedang, Tegal, Wonogiri, Lamongan dan Madura. Inipun terjadi di kota-kota besar lainnya, termasuk Kota Surabaya. Di Surabaya, PKL terbanyak berasal dari Madura dan Lamongan.

Biasanya, pedagang berpindah yang sering berada di bawah tenda kaki lima adalah penjual obat, makanan dan minuman kecil, jajan tradisional, mainan anak-anak, kebutuhan sehari-hari dan sebagainya. Juga, pada umumnya yang dijual harganya “miring”, lebih murah dibanding yang dijual di toko. Tidak jarang barang yang dijual di pinggir jalan dan emperan itu berkualitas rendah. Barang-barang bekas, rombeng atau loak. Bahkan di masa kini, adalah barang ilegal dan bajakan.

Ada juga yang menerjemahkan PKL itu sebagai pedagang keliling yang menggunakan gerobak dorong (rombong). Rombong ini biasanya mempunyai roda tiga, satu di depan, dua di samping kiri dan kanan, lalu dua kaki pengganjal di bagian belakang bila berhenti. Dua kaki di bagian belakang, ada juga yang mengartikan kaki pedagang yang mendorongnya apabila sedang berjalan. Sehingga pedagang yang menggunakan gerobak dorong ini disebut PKL. Pokoknya, itulah. Terserah kalau ada terjemahan atau makna lain.

Kehadiran para PKL ini, umumnya dilakukan oleh pedagang bermodal kecil. Mereka berjualan bukan untuk mencari kaya, tetapi sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari guna mengganjal perut. Sekedar untuk menghidupi keluarganya agar terbebas dari kemiskinan. Hanya itu. Sebab, mereka tidak punya modal besar untuk membeli stan dan kios di pasar atau membeli toko yang permanen.

Keberadaan PKL di desa-desa biasanya pada hari-hari pasar. Namun di kota-kota umumnya rutin setiap hari. Ada PKL permanen dan ada pula yang tidak. PKL permanen menempati lahan tetap di tanah lapang, tanah kosong atau pinggir jalan yang tidak mengganggu kelancaran lalulintas. Sedangkan yang tidak permanen, hanya pada waktiu-waktu tertentu. Tidak jarang, bahkan menutup jalan raya sama sekali di sore hingga malam hari.

Kalau di desa-desa atau kota kecil peranan PKL tidak pernah menjadi masalah. Namun di kota-kota besar selalu menjadi problema. Tidak saja PKL itu dianggap sebagai pengganggu kelancaran lalulintas kalau PKL itu berada di pinggir jalan raya, tetapi juga dianggap sebagai tempat bersarangnya “multi permasalahan”. Artinya, PKL itu membuat keresahan apabila mereka dengan seenaknya menempati halaman dan trotoar di depan rumah atau toko. Kebiasaan “jelek” yang sering terjadi di kota-kota besar, seperti Surabaya ini, kalau semula lahan dengan bangunan itu hanya khusus untuk berjualan, lama kelamaan berubah menjadi tempat tinggal.

Tradisional

Memang, tidak ada satupun kota di dunia ini yang tidak mempunyai PKL. Bukan hanya di negara miskin, seperti di Asia dan Afrika, tetapi juga kota-kota di negara maju di Amerika dan Eropa. PKL bahkan di kota tertentu dijadikan kebanggaan dan menjadi obyek wisata. Para turis yang berkunjung ke suatu kota, masih belum lengkap pelancongannya apabila ia tidak singgah dan menikmati suguhan PKL. Biasanya, barang-barang di PKL itu menarik, unik, sederhana dan murah. Sehingga, banyak yang dijadikan sebagai cinderamata atau souvenir. Demikian pula, kalau jenis jualan itu makanan, biasanya banyak juga masakan khas dan tradisional.

PKL tiap hari "memakan" separuh badan jalan di Jalan Pahlawan Surabaya

PKL tiap hari "memakan" separuh badan jalan di Jalan Pahlawan Surabaya

Bagi Kota Surabaya, keberadaan PKL ada di mana-mana. Hampir di seluruh jalur jalan dan tempat-tempat terbuka. Hampir tak ada lahan kosong di seantero kota ini yang tidak ditempati PKL. Di kota ini, PKL dibagi adalah dua jenis: legal dan ilegal atau sah dan liar. PKL yang dianggap sah, adalah PKL yang menempati lahan yang mendapat persetujuan dari “yang berwenang”. Pengertian yang berwenang ini macam-macam, mulai dari perorangan sebagai pemilik lahan, sampai tingkat pengurus RT, RW, aparat kelurahan, kecamatan sampai tingkat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

Para PKL yang dianggap sah atau legal itu, disebut sebagai PKL “binaan”, sedangkan yang tidak termasuk katagori ini adalah PKL ilegal atau liar.

Era reformasi yang diawali dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan, mengakibatkan banyaknya pengangguran. Di samping mereka yang sulit mencari pekerjaan, sampai kepada buruh atau karyawan yang terpaksa berhenti kerja karena mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari perusahaan tempat mereka bekerja. Perusahaan-perusahan banyak yang mengurangi tenaga kerjanya, karena produksi berkurang dan aktivitas perusahaan menurun.

Tidak ada cara lain bagi mereka yang bermodal kecil, selain menciptakan lapangan kerja serba cepat dan instan. PKL adalah cara yang dianggap paling tepat. Dengan modal seadanya dan mendapatkan barang dagangan yang dinilai cepat laku, dijual juga dengan untung sekedarnya. Pokoknya dari untung yang tidak banyak itu, istilahnya dapat untuk sekedar menyambung hidup. Ada selogan dan prinsip yang selalu menjadi landasan berpijak PKL, yakni: daripada berbuat kejahatan dan dosa, tentu lebih baik melakukan pekerjaan yang hina tetapi halal.

Tentu tidak semua orang menilai berprofesi sebagai PKL adalah melakukan pekerjaan hina. Tidak. Sebab, PKL adalah awal dari kesuksesan seorang yang ingin menjadi konglomerat. Kegiatan PKL merupakan awal menciptakan diri mandiri di bidang ekonomi. PKL sekaligus dijadikan sebagai tempat magang. Walaupun semua itu adalah cita-cita dan impian, adakalanya memang menjadi kenyataan. Walaupun jumlahnya satu dalam sejuta.

Lontong Balap

Bagi Kota Surabaya, keberadaan PKL juga bukan sekarang ini saja. Sudah ada sejak zaman baheula. Bahkan, sebelum Surabaya ini disebut kota. “Hampir di setiap lorong kampung maupun pinggir jalan besar di Surabaya setiap pagi pasti ada orang berjualan nasi pecel atau nasi campur. Para penjual itu mbukak dhasar sekitar jam enam pagi, dan sekitar jam sembilan pagi mereka sudah kukut, lantaran semua dagangannya habis terjual”. Kalimat itu, secuplik tulisan pembuka yang diungkap Dukut Imam Widodo pada bukunya “Soerabaia Tempo Doeloe”.

Dalam buku yang mengisahkan keadaan Surabaya tempo dulu, di antaranya kegiatan warga kota yang berdagang makanan tradisonal. Dia bercerita tentang berbagai jenis makanan tradisonal yang dijajakan berkeliling dan menempati emperan pinggir jalan. Sama seperti PKL sekarang. Makan tradisional yang biasanya dijual PKL, macam-macam, seperti lontong balap, semanggi Suroboyo, rujak cingur dan lain-lain.

Sekarang, PKL di Surabaya boleh dikatakan tidak lagi dagangan tradisional, sebab barang-barang produk mutakhirpun dipajang di PKL. Lihat saja, kini PKL tidak sekedar menjual barang rongsokan dan sederhana, tetapi juga barang elektronika dan komputer. Tidak hanya pakaian bekas, tetapi juga barang impor yang masih baru. Juga bukan hanya barang mati, tetapi juga louhan, koi dan berbagai jenis ikan hias. Juga ada yang menjual anak anjing berbulu bagus, jangkrik, cacing sampai kroto. Ada lagi, tanaman hias, bibit, anggrek dan bonsai. Pokoknya, yang dijual PKL serba lengkap. Apa yang ada di plaza dan pusat pertokoan mewah, di PKL juga ada.

Dilematis

Melihat dari kenyataan, kegiatan PKL ini memang merupakan kegiatan ekonomi yang seharusnya dibina, bukan dibinasakan. Tetapi inilah dilematis yang selalu menjadi permasalahan kota. Di satu sisi, kegiatan PKL dapat mengurangi permasalahan ekonomi warga kota. Tetapi di sisi lain mereka dianggap sebagai “perusak” keindahan dan ketertiban kota.

Bila kita telusuri kota Surabaya ini dari segala penjuru, PKL pasti ada. Coba lihat mulai dari PKL di daerah Tanjung Perak, di samping sepanjang jalan raya, juga ada yang berkelompok di sekitar pelabuhan. Baik di sekitar pelabuhan antarpulau, maupun di sekitar pelabuhan tradisional Kalimas dan penyeberangan kapal fery. Di samping itu, juga di sekitar tanah lapang Prapat Kurung.

Terus ke arah selatan, di sekitar Jembatan Merah sampai ke Jalan Ahmad Yani. Begoitu pula di tengah kota, ke wilayah timur dan ke barat kota. Bahkan hampir tak ada ruang kosong di jalan-jalan di sekitar plaza, rumahsakit, Gelora 10 November Tambaksari, setasiun KA Semut, Gubeng, Pasarturi dan Wonokromo. Juga di sekitar sub-terminal dan terminal angkutan umum dalam kota. Di sekitar pasar, tempat rekreasi dan bahkan di kawasan permukiman.

Selain berjualan makanan, pakaian dan kebutuhan sehari-hari, di Surabaya juga terjadi pengelompokan PKL sejenis. Misalnya, untuk barang loak ada di Jalan Kapasari, Gembong dan Kalianyar, bahkan sudah masuk ke Jalan Ngaglik. Juga ada di sekitar Jalan Demak dan Dupak. PKL di jalan Demak dan Dupak, juga ada yang mengkhususkan barang bekas untuk kendaraan bermotor. PKL yang menjual kaset dan VCD yang dulu berjualan di trotoar Jalan Tunjungan, sering menimbulkan masalah. Berulangkali terjadi penggusuran dan pengobrakan yang disebut penertiban.

PKL jenis makanan memang lebih banyak, terutama di sekitar tempat keramaian. Misalnya, di dekat pabrik, pertokoan, plaza, perkantoran, terminal, stasiun dan tempat rekreasi. Di Surabaya, hampir di sepanjang jalan raya, ada PKL penjual makanan. Mulai dari soto, sate, nasi campur, pecel, sari laut, masakan khas berbagai daerah dan suku (Lamongan, Madura, Madiun, Solo, Sunda, Makasar, Padang, Cina, Arab dan lain-lain). Ada pula yang terpusat, mengelompok, seperti di Jalan Kedungdoro, Jalan Kombes M.Duriat, Jalan Kertajaya Indah, Jalan Kapaskrampung, Jalan Karang Menjangan, Jalan Genteng Besar, Jalan Indrapura, Jalan Jemursari, Jalan Rungkut Industri dan masih banyak lagi.

Jadwal kegiatan PKL itu juga ada yang “musiman”, hanya pada hari Sabtu dan Minggu di sekitar Tugu Pahlawan dan di hari Minggu saja di sekitar Masjid Al Akbar. PKL insidental ini juga bermunculan di saat ada kegiatan hari besar, seperti HUT Proklamasi kemerdekaan, HUT Kota Surabaya dan hari raya Idulfitri, serta bazar.

Tidak ada angka pasti berapa sebenarnya jumlah PKL di Surabaya. Namun, upaya Pemkot Surabaya untuk membina PKL sudah terlihat. Bahkan, sejak hari Jumat, 19 September 2003, di Surabaya sudah disahkan berlakukan Peraturan Daerah (Perda) Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH, Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Kota Indamardi atau Budi Pamarinda

Surabaya Masih Tetap

Berjuluk Kota Industri


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

KOTA Surabaya pernah menggunakan julukan Kota Indamardi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan). Julukan ini mendampingi kekhasan Surabaya sebagai Kota Pahlawan.

Memang di masa pemerintahan Walikota Surabaya, Drs.H.Bambang Dwi Hartono, MPd sejak tahun 2002 lalu, istilah Indamardi semula diganti dengan Budi Pamarinda (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan). Tetapi pada tahun 2005 lalu, Bambang DH yang berpasangan dengan Drs.H.Arief Afandi sebagai wakil walikota, mempopularkan Surabaya sebagai Kota Jasa dan Perdagangan.


Nah, di sini mungkin fokus kegiatan Kota Surabaya, selain Perdagangan dalam Budi Pamarinda itu diklasifikasikan sebagai bidang “Jasa”.

Tidak hanya itu, Surabaya juga dipublikasikan sebagai kota yang berkilau, bersinar, cingklong atau mengkilap. Dalam Bahasa Inggrisnya “Sprakling”.

Kalau begitu bagaimana dengan julukan Kota Industri, sebagai bagian dari Indamardi atau Budi Pamarinda itu? “Wah, lupakan saja!” Mungkin begitu yang Cak bambang?

Masih Layak

Kendati kegiatan Industri sudah tidak menjadi fokus perhatian, karena lahan untuk industri baru sudah penuh, namun kita tidak boleh melupakan sejarah. Berdasarkan sejarah, majunya Surabaya yang dirasakan saat ini, salah satu yang mengangkatnya ke permukaan adaklah kegiatan industri’

Jadi, julukan sebagai Kota Industri itu, memang layak dan tepat untyuk digunakan. Bukan hanya dari zaman penjajahan Belanda di Surabaya ini ada kegiatan industri. Konon sejak masa kerajaan Majapahit di Surabaya sudah berkembang kegiatan industri. Mulai dari kegiatan pertenunan, pembuatan dokar, perahu, sampai kepada kegiatan pandai besi yang membuat berbagai alat-alat dari logam.

Dengan posisi Surabaya sebagai kota pelabuhan dengan berbagai kegiatan kemaritiman dan perdagangannya, maka kegiatan industri juga berkembang pesat. Nah, kegiatan industri dan perdagangan itulah salah satu penyebab Surabaya ini tumbuh kembang menjadi sebuah kota dengan tingkat hunian yang terus meningkat.

Daya tarik Surabaya semakin tinggi dengan banyaknya kesempatan kerja dan berusaha. Pendatang ke kota Surabaya inipun majemuk. Mulai dari kalangan pengusaha yang ingin menanamkan investasi raksasa, sampai kepada buruh-buruh yang ingin memeras keringat untuk mendapatkan sesuap nasi. Dua kepentingan antara cukong yang punya investasi dan usaha dengan masyarakat kecil yang hanya bermodal dengkul, menyatu menjadi sebuah kegiatan industri.

Di zaman dulu, dengan bukti peninggalan hingga sekarang, kegiatan industri sudah berkembang. Ada kampung bernama Pandean, di sana dulu adalah tempat kegiatan para pandai besi dan industri pengolahan logam. Di kawasan ini dibuat pisau, parang, alat-alat perabot rumahtangga, keperluan pertukangan, sampai kepada perbaikan dokar dan perahu. Pokoknya, macam-macam usaha yang berkaitan dengan tempa menempa besi, ada di kawasan ini.

Nama kampung

Ada lagi kampung yang bernama Pecindilan. Asal katanya bukan cindil, tetapi cinde. Artinya, kain batik motif kembang. Di daerah ini kegiatan masyarakat sampai ke rumahtangga adalah bertenun dan membuat kain batik. Sedangkan bahan baku tenun adalah kapas, gudang penimbunan kapas itu terletak di daerah Kapasan sekarang. Tidak jauh dari Kapasan dan Pecindilan ada daerah yang bernama Ngaglik. Asal katanya adalah agel, kemudian berubah menjadi aglik. Artinya alat pembersih kapas untuk kain yang akan ditenun. Konon adanya daerah Ngagel, juga sama asalnya dulu adalah agel.

Masih di sekitar wilayah ini, ada pula kampung bernama Ketabang yang asalnya adalah ketabagan, yang berarti tempat pengrajin gedeg atau anyaman bambu. Bertetangga dengan kampung ini ada kawasan Ondomohen (sekarang Jalan Walikota Mustajab). Kata ini berasal dari gemoh atau gemohen yang artinya kerajinan tangan atau tempat tinggal para pengrajin. Terus ke arah timur ada perkampungan bernama Gubeng. Berasal dari kata gubengan, yaitu kain penutup kepala yang dililitkan, semacam jubah atau serban yang biasa dipakai para kiyai dan santri. Dulu di daerah inilah terdapat kegiatan usaha pembuatan gubengan yang dipergunakan santri-santri murid Sunan Ampel.

Di sekitar kawasan Masjid Ampel, ada kampung pernama Petukangan. Disini dulu adalah tempat tinggal para tenaga kerja bidang pembangunan perumahan atau tukang. Mulai tukang batu, tukang kayu sampai kepada mandor dan pemborong. Masyarakat Surabaya yang ingin mencari pemborong pembangunan perumahan, biasanya datang ke daerah Petukangan itu. Sedangkan para pekerja atau buruhnya banyak terdapat di Pegirian. Pegirian berasal dari kata giri yang artinya pekerja atau buruh.

Itu sebagian kisah tentang Surabaya tempodulu berdasarkan Babad Surabaya. Adanya kisah masa lalu tentang Surabaya dan kegiatannnya itu, memang tidak tertulis, tetapi berkembang menjadi cerita tutur dari mulut ke mulut. Cerita atau dongeng ayah, ibu atau kakek dan nenek kepada anak-cucunya. Itulah yang berkembang sampai sekarang.

Terlepas dari ia atau tidak tentang cerita masa lalu itu, yang jelas Surabaya sejak zaman dulu sudah mempunyai berbagai kegiatan industri dan kerajinan. Kemudian di zaman penjajahan Belanda, kegiatan industri di Surabaya juga berkembang pesat. Pada awal abad ke 17 mulai dibangun berbagai bengkel untuk perbaikan kapal di sekitar Jembatan Merah dan Kalimas. Sebab, waktu itu, kapal dan perahu dagang yang datang ke Surabaya berlabuh di kawasan itu.

Pabrik dan Bengkel

Beberapa perusahaan besar yang di Negeri Belanda mulai membuka cabang usahanya di Surabaya. Tahun 1808 didirikan perusahaan konstrusi baja bernama Constructie Winkel di Kampementstraat yang sekarang menjadi Jalan KH Mas Mansur. Pabrik dan bengkel baja ini melayani kebutuhan pabrik-pabrik gula yang waktu itu sudah beroperasi di berbagai daerah di Jawa Timur.

Melihat perkembangan perusahaan konstruksi ini, beberapa pengusaha besar dari Belanda juga membuka cabang usahanya di Surabaya. Tahun 1823 berdiri bengkel reparasi kapal bernama NV.Nederland Indische Industrie yang sekarang menjadi PT.Boma Bisma Indra (BBI). Sedangkan BBI itu sendiri adalah gabungan dari perusahaan yang dulunya bernama NV.Boma Stork di Pasuruan, NV Bisma (di Jalan KH Masur) dan NV Indra (di Jalan Ngagel).

Menyusul berdiri pula perusahaan dok kapal di Kalimas tahun 1845. Setahun kemudian, tahun 1846, berdiri pula perusahaan De Volharding atau dikenal juga dengan De Phoenix. Tiga tahun berikutnya (1849) perusahaan ini dikembangkan ke daerah Ujung sebagai perusahaan dok dan pembuatan kapal. Nah, inilah cikal-bakal PT.PAL Indonesia yang pernah berjaya saat dipimpin oleh Prof.Dr.BJ.Habibie.

Perkembangan industri lainnya yang kecil-kecil dan menengah juga cukup pesat. Lokasinya paling banyak di sekitar aliran sungai Kalimas. Mulai dari kawasan Wonokromo, Ngagel, sampai daerah Jembatan Merah terus ke Tanjung Perak.

Tahun 1853 didirikan pabrik penggilingan tebu di wilayah Keputran. Daerah itu sekarang dikenal dengan nama Pandegiling. Tidak lama berdiri lagi cabang perusahaan Belanda bernama De Voeharding yang bergerak di bidang mesin pabrik. Lalu muncul pula industri pembuatan ketel uap di daerah Jembatan Merah. Secara bertahap di daerah kosong dan strategis didirikan berbagai kegiatan industri. Ada pabrik es, penggergajian kayu, pembuatan minuman, penyulingan arak dan sebagainya. Pembangunan pabrik-pabrik ini berkembang terus hingga awal abad ke-20.

Ada yang menarik, ternyata sejak zaman dulu warga Surabaya sudah menggemari minuman dingin. Bayangkan, di abad ke-19 itu di Surabaya sudah berdiri empat pabrik es. Ijsfabriek Petodjo atau Pabrik Es Petojo di Jalan Petojo yang dulu bernama Radersmastraad. Tetapi sekarang pabrik es ini sudah dibongkar dan lahannya dibangun gedung rumahsakit swasta. Ada lagi pabrik es NV.Ijsfabrieken Ngagel di Jalan Ngagel, pertigaan masuk kampung Bagong Ginayan. Pabrik es NV.Ijs en Handel Mij di Pasarturi dan NV.Vereenigde Ijsfabriek di Heerenstraat atau Jalan Rajawali sekarang.

Begitu pesatnya perkembangan kegiatan indsutri di Surabaya, pada tahun 1916, Gemeente Soerabaia (Pemerintah Kota Surabaya), mulai melakukan penataan. Kawasan industri dipusatkan di kawasan Ngagel. Beberapa perusahaan besar yang berdiri di sini antara lain NV.Braat yang sekarang menjadi PT.Barata Indonesia, NV.Philips (PT.Philips-Ralin) yang sudah pindah ke Rungkut, NV.BAT (British American Tobacco), perusahaan rokok yang sudah pindah dan sekarang di atas lahannya berdiri apartemen yang terbengkalai. Masih banyak pabrik lain, seperti pabrik sabun Lux dan Pepsodent yang dikelola oleh PT.Unilever. Pabrik gelas PT.Iglas, Pabrik Kamajaya Tex, Perusahan Makanan dan Minuman, serta Pabrik Bir Bintang yang sekarang juga sudah pindak ke Mojokerto.

Selain di kawasan Ngagel, juga berkembang kegiatan industri di daerah Kenjeran, Wonocolo dan Tandes. Terakhir beberapa perusahan dan pabrik besar itu pindah dan sudah menempati lokasi khusus kawasan industri Rungkut atau SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut) dan Margo Mulyo.

Sekarang, perkembangan industri di Surabaya makin maju dengan peralatan produksi yang serba mutakhir. Menggunakan perangkat canggih serta komputer. Jadi, bagaimanapun juga Surabaya masih tetap menyandang predikat Kota Industri.

Nah, bagaimana menurut anda? ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya

Bukan Masjid Agung

Masjid “Al Akbar

Di Surabaya


Oleh : HM Yousri Nur Raja Agam *)

MASJID Al Akbar yang sebelumnya bernama Masjid Agung Surabaya (MAS) merupakan proyek kebanggaan warga Surabaya dan Jawa Timur. Kendati mengalami hambatan teknis di lapangan saat awal pembangunannya, namun dapat juga terpecahkan. Bahkan, mendapat perhatian khusus dari Pemerintahan.

Masjid Al Akbar

Masjid Al Akbar

Di balik hambatan teknis itu, situasi ekonomi nasional bangsa Indonesia yang mulai dilanda krismon (krisis moneter) tahun 1996 itu, benar-benar membuat Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro alias Cak Narto dan Gubernur Jawa Timur HM Basofi Soedirman (kala itu) harus “putar otak”. Betapa tidak, karena untuk menggali dana di daerah Surabaya dan Jawa Timur sudah tersendat-sendat. Panitia gabungan Pemkot Surabaya dengan Pemprov Jatim tidak mudah mengetuk hati kaum muslimin dan para dermawan. Usaha berbagirasapun sudah dilakukan dengan konglomerat yang ada di Jawa Timur. Namun hasilnya tidak maksimal. Masih dibutuhkan banyak tambahan lagi.

Trio arek Suroboyo” di Jakarta: H.Try Sutrisno, H.Tarmizi Taher dan H.Mar’ie Muhammad yang sudah menyampaikan komitmennya untuk membantu pendanaan pembangunan MAS juga tidak tinggal diam. Mereka bertiga menghadap Presiden RI (waktu itu) H.Muhammad Soeharto dan melaporkan rencana pembangunan MAS di Surabaya.

Mendapat laporan dari tiga “pembantunya” itu, sambutan Pak Harto luar biasa. Pak Harto sertamerta menyatakan dukungannya. Bahkan, pada waktu itu juga, Pak Harto memberikan restu dan sekaligus mengizinkan pembangunan MAS sebagai “proyek nasional”.

Untuk mendukung pelaksanaan “proyek nasional” itu, tanggal 26 Juli 1996 ditetapkan susunan Panitia Pembangunan MAS oleh Menteri Agama, H.Tarmizi Taher. Dalam kepanitiaan itu, Presiden Soeharto duduk sebagai Pelindung Utama dan Wakil Presiden Try Sutrisno sebagai Pelindung. Lima menteri kabinet ditetapkan sebagai Pembina, masing-masing: Dr.H.Tarmizi Taher (Menteri Agama), Drs.H.Mar’ie Muhammad (Menteri Keuangan), Ir.H.Tungki Ariwibowo (Menteri Perindusterian dan Perdagangan), Ir.H.Djamaloeddin (Menteri Kehutanan) dan Ir.H.Radinal Mochtar (Menteri Pekerjaan Umum). Dalam jajaran Pelindung ini juga dicantumkan nama KH.Hasan Basri (sekarang sudah almarhum) yang waktu itu sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dari puncak menara bisa melihat Kota Surabaya

Dari puncak menara bisa melihat Kota Surabaya

Penasehat ditetapkan: Muspida Jatim waktu itu, masing-masing: H.Trimarjono,SH (ketua DPRD Jatim), Mayjen TNI H.Imam Utomo (Pangdam V Brawijaya), Mayjen Pol. Drs.H.Soemarsono,SH,MBA (Kapolda Jatim) dan A.Rachman,SH (Kajati Jatim). Kepanitiaan ini dilengkapi dengan Pengawas yang terdiri dari: Ketua MUI Jatim KH Misbach (almarhum), dua orang sesepuh Jatim: H.M.Noer (mantan gubernur Jatim) dan H.M.Said (almarhum/mantan Ketua DPD Golkar Jatim). Kemudian Gubernur Jatim HM Basofi Soedirman dan Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro.

Pelaksana Proyek dipercayakan kepada Ir.Suwono selaku pimpinan dan Ir.Pudjojoko sebagai wakil. Sedangkan Drs.Hoesein Soeropranoto dari Grup Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dan Drs.HM Zuhdi,MM (almarhum/mantan Wagub Jatim) selaku bendahara dan wakil bendahara. Tim pendukung dari instansi terkait, seperti Pemprov Jatim, Kanwil Depag Jatim, Kanwil PU Jatim (sekarang Dinas PU Binamarga Jatim) dan Pemkot Surabaya, serta Tim RNI dan ITS.

Dengan status “proyek nasional” itu, maka Presiden Soeharto menetapkan dua orang pengawas ahli: arsitek kawakan Ir.H.A.Noe’man dan I.H.Douglas Baadila. Noe’man dikenal sebagai arsitek pembangunan Masjid Salman di komplek ITB Bandung. Arsitek kaliber dunia ini juga arsitek pembangunan Islamic Center (Masjid Al Markaz) di Makasar dan arsitek Masjid “Haji Muhammad Soeharto” di Bosnia.

Sebagai persiapan administrasi dan koordinasi, dilaksanakan perkenalan panitia di gedung Grahadi, Jalan Gubernur Suryo 7 Surabaya. Pertemuan dilanjutkan dengan acara di rumah Wapres Try Sutrisno di Jakarta, 23 Agustus 1996. Pada acara di kediaman Cak Su ini, selain dihadiri tokoh-tokoh masyarakat asal Jawa Timur yang berada di Jakarta, juga dihadiri para konglomerat. Pada acara malam itu, sebanyak 30 konglomerat “berjanji” akan memberikan sumbangan untuk pembangunan MAS. Dan komitmen “janji” konglomerat itu mencapai Rp 20,52 miliar ditambah satu unit perangkat pengeras suara (sound system) untuk MAS.

Setelah proyek berjalan, dalam rapat koordinasi berikutnya dilakukan perubahan perencanaan pembangunan masjid. Menara yang semula dirancang enam buah, diubah menjadi satu menara saja. Pada rapat tanggal 6 September 1996 itu ditetapkan pembangunan MAS selesai akhir Desember 1997. Untuk mengejar waktu, disepakati pelaksanaan pembangunan menggunakan sistem fast track, yaitu perencanaan diselesaikan bersamaan dengan pelaksanaan di lapangan.

Memang akibat krisis moneter yang melanda negara kita ini, dana yang diharapkan masuk kurang lancar, ujar HM Zuhdi saat ditemui seusai rapat panitia pembangunan MAS. Dana yang sudah dianggarkan belum semuanya dapat dicairkan. Kendati sudah ada “janji” dari para konglomerat Rp 20,52 miliar, belum semuanya terkumpul.

Pada awalnya diperkirakan biaya Rp 30 miliar dengan suatu kondisi belum termasuk pekerjaan luar bangunan, fasilitas penunjang dan jasa konsultan. Waktu itu dihitung luas bangunan 18.000 meter per-segi yang biaya pembangunannya diperkirakan Rp 1,5 juta per-meter per-segi atau Rp 27 miliar. Menara yang semula dirancang enam, menjadi satu menara saja dengan biaya Rp 3 miliar. Sehinga, total biaya waktu Rp 30 miliar.

Kemudian dilakukan penyempurnaan dengan perhitungan rinci (detail), akhirnya ditemukan biaya yang benar Rp 49,97 miliar. Kondisinya berubah, luas bangunan dan lapangan menjadi 28.500 meter per-segi. Berdasarkan perhitungan ulang itu, para Pembina yang terdiri dari para menteri kabinet menyanggupi membantu kekurangan dana Rp 9,5 miliar dan Pemprov Jatim Rp 10 miliar.

Begitu sulitnya menggali dana di masa krismon itu, HM Zuhdi yang semula Dirut Bank Jatim, kemudian menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur, yang dipercaya sebagai bendahara itu, memang harus putar otak. Hampir tiap hari ia mengadakan rapat dan rapat yang tujuannya mengumpulkan dana untuk penyelesaian pembangunan MAS. Sampai-sampai waktu itu nama Zuhdi tidak dapat dipisahkan dengan MAS. Apabila ada kegiatan rapat atau acara yang dihadiri Zuhdi, orang sertamerta mengaitkannya dengan MAS.

Semula ketika MAS yang dinyatakan sebagai proyek nasional, direncanakan peresmiannya oleh Presiden Soeharto, Februari 1998 atau sebelum berlangsungnya Sidang Umum MPR bulan Maret 1998. Ternyata rencana tinggal rencana. Pelaksanaan pembangunan MAS tersenda-sendat, karena dana yang diharapkan belum tercapai akibat vdampak krisis moneter. Kecuali itu, situasi politik di Bumi Nusantara ini berubah total. Kepemimpinan negara ini beralih kepada Prof.Dr.H.B.J.Habibie. Ada rencana peresmian akan dilakukan oleh BJ Habibie, namun itupun batal. Kemudian baru pada saat Presiden KH Abdurrahman Wahid diresmikan, bersamaan dengan puncak acara Hari Pahlawan 10 November 2000.

Bukan Masjid Agung

Nama Masjid Agung Surabaya pada rapat yang berlangsung, Minggu 10 September 2000, disepakati diganti menjadi Masjid Al Akbar Surabaya. Singkatannya tetap MAS. Rapat yang dilaksanakan di gedung negara Grahadi itu dihadiri mantan Wapres Try Sutrisno.

Alasan penggantian nama itu, karena di Surabaya sudah ada sebutan untuk Masjid Agung Sunan Ampel. Karena MAS yang baru ini, ukurannya jauh lebih besar daripada Masjid Agung Sunan Ampel, maka disepakati nama MAS yang baru ini adalah Masjid Al Akbar Surabaya. Perubahan nama ini sudah mendapat persetujuan presiden waktu itu.

Memang, walaupun nama ini sudah diganti menjadi Masjid Al Akbar, masyarakat sudah terlanjur “fasih” menyebut nama masjid agung. Itu tidak masalah. Lama ke lamaan, apabila kita sudah terbiasa mengucapkan nama Masjid Al Akbar, tentunya akan berubah sendiri. Pada saat pembangunan awal, namanya Masjid Raya Surabaya (MRS), namun setelah diubah menjadi masjid agung, masyarakat melupakan sebutan masjid raya.

Sekarang, MAS sudah difungsikan sebagai tempat shalat berjamaah dan pengajian-pengajian. Melihat besarnya tanggungjawab perawatan dan upaya untuk “memakmurkan” masjid ini, memang harus ada penanganan yang serius. Perlu “takmir profesional” bertangan dingin dan kreatif.

Sebagai masjid terbesar ke dua di Indonesia setelah Masjid Istiqlal di Jakarta, MAS perlu segera dilengkapi dengan sara penunjang di dalam dan sekitarnya. Perlu ada madrasah dan asrama santri di daerah sekitar MAS sebagai penunjang untuk memakmurkan MAS secara rutin pada setiap waktu shalat. Agar pembangunan MAS ini tidak mubazir, maka fungsi masjid ini harus dimanfaatkan secara maksimal. Dan jangan diabaikan, perawatannya harus diatur sedemikian rupa. Perlu dirancang kegiatan perawatan harian, bulanan dan tahunan.

Ternyata sekarang, Alhamdulillah, Masjid Al Akbar sudah ramai dengan jamaah, terutama pada Shalat Jumat. Keculai itu, di hari libur, menara Masjid Akbar ramai didatangi masyarakat untuk melihat Kota Surabaya dari ketinggian.

Tidak hanya itu, kawasan lahan kosong di sekitar Masjid Al Akbar, juga ramai dengan pasar dadakan, Pedagang Kaki Lima yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari.

Oh ya, satu lagi yang perlu dicatat, Masjid Al Akbar juga “laris” untuk acara akad nikah. Silih berganti pasangan yang akan mendirikan rumahtangga berijab kabul di dalam Masjid Al Akbar Surabaya itu. ****

*) HM Yousri Nur Raja Agam – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.