9 November 1945

Diultimatum Sekutu,

Semangat Arek

Surabaya Terbakar


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA  MH

Yousri Nur RA MH

MERASA dilecehkan dengan oleh ultimatum Jenderal Masergh, Arek Surabaya (baca: Suroboyo) bangkit dan meradang. Semangat Arek-arek Surabaya terbakar dan “Surabaya mendidih”.

Darah yang menggelora di hati rakyat Surabaya dan Jawa Timur benar-benar sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Namun, Gubernur Jatim RMTA Soerjo, masih mampu mengendalikan emosinya.

Satu per-satu tuduhan yang disampaikan Manserg dalam pidato tertulisnya disangkal Gubernur Soerjo. Ia bicara dengan suara yang dalam, tetapi tegas. Semua tuduhan Mansergh itu dibedah dengan nada suara yang keras bak menyayat hati Komandan Tentara Sekutu di Jawa Timur itu. Indonesia punya bukti-bukti dengan dokumen yang jelas, sergah Gubernur Soerjo.

Mendapat jawaban yang menantang itu, Mansergh hanya diam. Ia menunduk tidak bicara apa-apa.

Suasana perundingan yang digelar biro-kontak itu menjadi tegang. Gubernur Soerjo menugaskan Residen Soedirman dan Moehamad ke Morokrembangan. Sedangkan Jenderal Mansergh pamit meninggalkan ruangan. Ia minta Kolonel Pugh mewakili Inggris meneruskan rapat. Namun, Gubernur Soerjo pun beranjak pergi dan menugaskan Doel Arnowo dan Soengkono meneruskan perundingan mewakili Indonesia.

Penugasan Residen Soedirman dan Moehamad ke Morokrembangan, ternyata menyaksikan kelicikan Inggris dan Sekutu. Sebab, diam-diam mereka sudah mendaratkan pasukan Divisi 5 sebanyak 24 ribu personal. Mereka berkoar, bergerak melakukan intimidasi terhadap Arek Suroboyo.

Ternyata, manuver Inggris itu benar-benar membangkitkan semangat perlawanan yang tinggi. “Biar jadi debu, lawan Inggris hingga titik darah terakhir!” Begitu seruan yang diteriakkan para pemimpin pasukan pejuang.

Perang Surat

Surat Mansergh datang lagi. Surat itu dikeluarkan hari Kamis, 8 November 1945 yang ditujukan kepada Gubernur Soerjo. Isinya itu penuh keangkuhan.

Ia minta Gubernur Soerjo datang menghadap ke kantornya di Jalan Jakarta (Batavia-weg), di kawasan Tanjung Perak, besok Jumat, 9 November 1945, pukul 11.00. Gubernur Soerjo membalas surat Mansergh itu. Bunyinya sebagai berikut:

Gubernur Jawa Timur

9 November 1945

No. 1-KBK

Jenderal Mayor E.C.Mansergh

Komandan Angkatan Darat Sekutu

Jawa Timur, Surabaya.

Tuan,

Saya telah menerima dua surat dari tuan, pertama tertanggal 7 November 1945, No.G-512-1, dialamatkan kepada Gubernur Jawa Timur dan kedua tertanggal 8 November 1945, No.G-512-5 dialamatkan kepada Tuan R.M.T.A.Soerio, yang kebetulan, dan ini perlu saya ceritakan kepada tuan, adalah Gubernur Jawa Timur; dan saya pikir dan meminta dengan hormat kepada tuan untuk mengalamatkan semua korespondensi resmi kepada saya dengan lebih tata hormat.

Saya mengharapkan demikian dari tuan sebagai wakil dari Panglima Tertinggi dari Tentara Sekutu untuk menjalankan semua pertemuan pribadi dalam suasana persahabatan dan tanpa prasangka. Saya akan lebih berterimakasih apabila tuan menyadari bahwa tuan berada di dunia Timur dengan suatu tugas kewajiban suci yang keramat; dan sampai saat tuan bersedia bertemu dengan saya dalam suasana yang lebih sungguh-sungguh dan persahabatan, semua komunikasi antara tuan dan saya mulai sekarang harus dilakukan dengan surat-menyurat; ini disebabkan karena sikap tuan sendiri.

Mengenai point 1 dari surat tuan, saya dengan hormat memberitahu bahwa kita sedang melanjutkan usaha kita untuk melaksanakan apa yang menjadi bagian kita sesuai dengan perjanjian

Tentang point 2 dari surat tuan yang terakhir, maka versi tuan tentang keadaan situasi kota Surabaya adalah tidak benar; 24 jam setelah perjanjian antara Jenderal Hawthorn dan Presiden Soekarno pada tanggal 30 Oktober sampai sekarang ini, maka keamanan dan ketertiban berjalan dengan baik, dan apabila tuan menunjukkan kepada sesuatu insiden yang tidak menyenangkan sejak saat itu maka dengan segala senang hati saya akan mengurusnya.

Tentang keterlambatan pengangkutan orang-orang asing dari daerah-daerah tersendiri ke Tanjung Perak, ingin saya kemukakan bahwa keterlambatan itu hanya disebabkan oleh keragu-raguan dan kurang persiapannya dari orang-orang asing tersebut.

Saya ingin meminta perhatian tuan bahwa Mayjen Hawthorn tak pernah menggunakan istilah “Hindia Belanda” dalam surat-suratnya, tetapi kata: Jawa, Madura, Bali dan Lombok.

Sepanjang pengetahuan saya maka kondisi-kondisi normal di bidang hukum, keamanan dan ketertiban berjalan baik di Surabaya saat ini.

Tentang point 6 dari surat tuan, saya ingin mengetahui keharusan Tentara Sekutu untuk memasuki kota Surabaya dan sekitarnya serta daerah-daerah lain di Jawa Timur, sedangkan di dalam persetujuan antara Jenderal Hawthorn dan Presiden Soekarno point 2, hanya 2 tempat yang jelas sebagai daerah yang akan dijaga oleh Tentara Sekutu, yaitu: daerah Darmo dan Tanjung Perak; dan lagi pula selekasnya kaum interniran dan RAPWI dipindah dari Darmo, maka Tentara Sekutu akan mundur juga ke Tanjung Perak. Tentara tuan hendaknya jangan mencoba masuk ke dalam kota, karena hal ini tidak akan mempunyai pengaruh baik bagi ketenteraman dan ketertiban, justru dalam waktu sekarang dan saya minta dengan sangat hendaknya tuan menyadari bahwa tugas kita adalah tidak semudah seperti tuan perkirakan; dan dengan mendesakkan hal-hal secara sebegitu sekonyong-konyong, tuan akan menghancurkan segala apa yang telah kita bangun bersama dengan Kolonel Pugh untuk suatu penyelesaian secara damai. Saya sama sekali tidak ragu-ragu bahwa suatu sikap yang simpatik dalam menghadapi tugas kita yang sulit ini digabungkan dengan kesabaran akan menghilangkan kesalahpahaman dari pihak kita berdua.

Saya mengharapkan dengan sungguh-sungguh hendaknya tuan bersedia kerjasama dengan kita dalam suasana berkemauan baik dan persahabatan sambil menyadari kesulitan-kesulitan kita, dan hendaknya tuan jangan ragu bahwa harmoni yang demikian akan mendorong penyelesaian dari kesulitan kita bersama.

Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih.

Hormat saya,

R.M.T.A.SOERIO

Gubernur Jawa Timur.

Begitulah bunyi surat Gubernur Soerjo yang ditujukan kepada Mayjen Mansergh. “Perang surat” ini sekaligus merupakan jawaban yang berisi tantangan dari Gubernur Soerjo kepada komandan Tentara Sekutu.

Mansergh Mengultimatum

Karena Gubernur Soerjo tidak datang memenuhi panggilan Mayjen Mansergh, pukul 11.00 siang pada hari Jumat, 9 November 1945 itu, Mansergh kembali mengirim surat kepada Gubernur Soerjo.

Surat itu kembali dibalas Gubernur Soerjo dengan halus dan sopan. Namun surat itu dijawab Mansergh dengan ultimatum yang menyakitkan.

Pukul 14.00, saat sebagian warga Surabaya selesai melaksanakan shalat Jumat, pesawat terbang Inggris menderu-deru di atas kota Surabaya dan menyebarkan pamflet dari udara. Pamflet itu berisi ultimatum yang mengharuskan seluruh rakyat Surabaya, semua pemimpin dan pemuda untuk menyerah kepada tentara Inggris. Para pemimpin, polisi dan petugas radio agar melapor ke Jalan Jakarta sebelum pukul 18.00 tanggal 9 November 1945. Mereka diharuskan berbaris satu per-satu dengan membawa senjata yang dimilikinya, kemudian meletakkannya dalam jarak 100 yard dari tempat yang ditentukan. Rakyat biasa yang memiliki senjata menyerahkan diri di Westerbuiten-weg (Jalan Indrapura) dekat Mesjid Kemayoran, serta di Darmo dengan membawa bendera putih.

Pada bagian akhir ultimatum itu, disebutkan, apabila instruksi itu tidak dijalankan, Inggris dengan seluruh kekuatan militernya akan menggempur habis kota Surabaya, Sabtu, pukul 06.00 pagi.

Pukul 17.00 pimpinan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Surabaya mengundang kepala polisi, komandan PI (Polisi Istimewa), pasukan-pasukan pemuda, laskar, PRI (Pemuda Republik Indonesia), BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) untuk membicarakan strategi dan taktik melawan Inggris.

Dalam pertemuan di markas TKR, Jalan Pregolan 4 Surabaya itu, Kolonel Soengkono diangkat sebagai Komandan Pertahanan Surabaya.

Bung Karno Menyerahkan

Rakyat Surabaya tidak gentar sedikitpun terhadap ultimatum yang disebarkan Inggris itu. Jumat malam, para pemimpin pejuang berkumpul dan menghubungi Pemerintah Pusat di Jakarta. Pukul 23.00, melalui sambungan telepon, Presiden Soekarno atas nama pemerintah pusat, menyerahkan kebijaksanaan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah Jawa Timur.

Setelah mendapat jawaban Bung Karno yang demikian, malam itu juga, Gubernur Jatim, Soerjo, berbicara melalui corong Radio Surabaya. Ia dengan tegas menolak ultimatum dan mengimbau kepada semua pihak (para pejuang dan rakyat Surabaya) untuk memelihara persatuan dan kesatuan, serta memohon kepada Allah yang Maha Kuasa untuk memberi kekuatan lahir-batin dalam perjuangan melawan tentara Sekutu-Inggris.

Isi selengkapnya Pidato Gubernur Soerjo adalah:

Saudara-saudara seluruh rakyat Jawa Timur!

Merdeka!

Kami ubernur Jawa Timur memperingatkan, bahwa hari ini kita penduduk Surabaya dapat surat selebaran yang merupakan perintah yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.c.Mansergh, Panglima Tertinggi Tentara Dasar Serikat Jawa Timur, yang meminta supaya kita sebelum jam 18.00 sore tadi, menyerahkan senjata zonder perjanjian, dan apabila perintah itu tidak dijalankan sampai jam 6.00 besok pagi, mereka akan bertindak dengan kekuatan Angkatan Laut, Darat dan Udara.

Karena kita tidak merasa berperang dan juga tidak menghendaki pertempuran, maka surat perintah itu kita anggap tidak pada tempatnya dan kita tetap tidak bertindak apa-apa.

Polisi dan TKR kita pun tidak akan mengadakan tindakan apa-apa dan hanya bersikap menjaga ketenteraman umum.

Maka dari itu diharapkan kepada seluruh rakyat di Jawa Timur, terutama penduduk dalam kota Surabaya supaya tetap tinggal tenang dan jangan sekali-kali mulai bertindak provokasi, sambil menunggu keterangan radio lebih lanjut, karena kita telah berhubungan dengan Pucuk Pimpinan kita di Jakarta guna merundingkan hal ini.

Demikian pidato singkat Gubernur Soerjo melalui corong radio Surabaya (NIROM, yang kemudian menjadi RRI) di Jalan Embong Malang – sekarang di lahan ini berdiri Hotel Westin yang kemudian ganti nama menjadi JW Marriott.

Barikade Rakyat

Dalam mobil Chrysler 7-sits saat perjalanan dari studio radio Surabaya di Jalan Embong Malang menuju kantor Gubernur di Jalan Pahlawan (dulu: Alun-alun Straat), Gubernur Soerjo melihat ternyata sudah dipasangi barikade-barikade oleh penduduk. Barikade berlapis itu dalam bentuk meja, lemari, kursi, bangku panjang (amben, dampar-dampar), balok kayu, batu-batu besar dan sebagainya. Semua itu dipasang melintang jalan. Akibatnya, mobil yang ditumpangi Gubernur berjalan sangat lambat.

Malam tanggal 9 November 1945 itu, pukul 22.10, ungkap Roeslan Abdulgani dalam bukunya “Seratus Hari di Surabaya”, Doel Arnowo dapat berkontak lagi dengan Jakarta. Hubungan telepon kepada Bung Karno dijawab oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Ahmad Soebardjo. Menlu yang dipercaya oleh Bung Karno untuk berunding dengan pihak Sekutu, ternyata menemukan jalan buntu. Pimpinan tentara Inggris tetap pada pendiriannya. Mereka tetap akan mempergunakan jalan kekerasan apabila kita tidak mau menyerah

Akhirnya Menlu Ahmad Soebardjo menyerahkan segala sesuatu kepada kita di Surabaya. Keterangan Menlu mengandung arti, bahwa apabila kita merasa cukup kuat untuk mengadakan perlawanan bersenjata, hal ini terserah! Pemerintah Pusat tidak akan menyalahkan Surabaya, ulas Cak Roeslan Abdulgani. Jadi, tidak seperti pertempuran akhir bulan Oktober 1945.

Gubernur Soerjo kembali menuju studia radio Surabaya. Di depan corong radio, tepat pukul 23.00, dengan tenang, tegas dan mantap Gubernur Soerjo berpidato sebagai berikut:

Saudara-saudara sekalian.

Pucuk Pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.

Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yakni berani menghadapi segala kemungkinan.

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.

Dalam menghadapi segala kemungknan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda kita.

Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta Rahmat dan Taufik dalam perjuangan.

Selamat berjuang!

Setelah mendengar seruan Gubernur Soerjo di radio, para pemuda pejuang menghimpun massa rakyat dari segala penjuru kota dan kampung. Semua mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi hari Sabtu, 10 November 1945 pagi. ****

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah bermukim di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: