Riwayat Sunan Ampel – Wali Songo (3)
Sunan Ampel
Keturunan Nabi Muhammad
Oleh:
SUNAN Ampel benar-benar sudah diyakini oleh semua peneliti sejarah, “bukan orang Jawa”. Ia adalah pendatang dari Campa atau Cempa atau Jeumpa. Masih belum jelas, di mana tepatnya. Bahkan juga disebutkan bahwa Sunan Ampel, berdarah Arab dan keturunan Cina.
Selain itu semua, ada lagi kisah tentang nasab atau garis keturunan Sunan Ampel. Dalam Babad Tanah Jawi- Galuh Mataram, versi Soewito Santoso, menegaskan bahwa Sunan Ampel berasal dari Arab dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW (Shalallahu ‘Alaihi Wasallam).
Azzumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, 1994,halaman 30, bahwa ayah Sunan Ampel orang Arab bukan sekadar “tutur tinular”, melainkan ada beberapa sumber tertulis yang mendukung. Pendapat umum tersebut juga dikuatkan oleh keterangan GWJ Drewes di depan rektor dan para dosen IAIN Kalijaga Jogjakarta, 21 November 1971, sebagaimana diberitakan pada Bulletin Antara, terbitan LKBN Antara, edisi pagi, 22 November 1971, halaman 1.
Salah satu bangsa di dunia yang senang dan paling rajin mencatat nasab dan silsilah adalah Bangsa Arab, terutama kaum Alawiyyin. Ini karena ciri khas kaum ini yang bangga dan hormat terhadap orang tua dan leluhurnya. Kabilah Arab menyusun cacatan silsilah ini dengan rapi. Syekh Al-Fadil wa al-Tahrir al-Kamil Abi al-Faus al-Bagdadi yang biasa disebut al-Syuwaidiy dalam bukunya: “Sabaik al-Zahab fi Ma’rifati Qabail al-Arab, menulis tentang silsilah dan pecahan kabilah di Arab perantau sampai ke India.
Dalam kitab itu juga diuraikan tentang garis keturunan Nabi Muhammad SAW ke Siti Fatimah yang menjadi penyebar agama Islam sampai ke Timur Jauh, yakni: India, Kamboja, Siam, Annam, Malaysia dan Indonesia.
Dalam beberapa silsilah Nabi Muhammad yang kemudian sampai ke Sunan Ampel, terungkap pada Serat Babad Para Wali Tanah Jawa sebagai versi pertama, silsilah dari 1’Nabi Muhammad terus ke generasi 2.Sayyidah Siti Fatimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib, terus ke 3.Husein — 4.Ali Zainal Abidin — 5.Muhammad al-Baqir — 6.Ja’far Shadiq — 7.Ali — 8.Muhammad — 9.Isa — 10.Ahmad Muhajir — 11.Ubaidullah — 12.Alwi — 13.Muhammad — Alwi — Ali Khaliq — Muhammad — Alwi — Abdul Malik — Abdullah Khan — Ahmad Jamaluddin — Jamaluddin Akbar — Ibrahim dan terus ke Raden Rahmat.
Versi kedua, dari Nabi Muhammad terus ke Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib — S.Husain — Ali Zainal Abidin (wali di Mindanau, Filipina) — Zainal Alim — Zainal Kabir — Zainal Husain — Jumadil Kubra — Ibrahim Asmara dan Raden Rahmat.
Versi ketiga, urutan nasab Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin, yaitu: dari 1.Nabi Muhammad SAW terus ke 2.Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib — 3.Husain – 4.Ali Zainal Abidin — 5.Muhammad al Baqir — 6.Ja’far Shadiq — 7.Ali — 8.Muhammad — 9.Isa — 10.Ahmad Muhajir — Ubaidullah —Alwi — Abdurrahman — Ahmad — Abdullah — Ali — Muhammad — Abdullah — Muhammad — Ali — Nuhammad — Husen — Ali al Baqir — Ali Zainal Abidin — Muhammad Abdul Malik dan Raden Rahmat.
Versi keempat, berdasarkan silsilah Sunan Giri, sebagai berikut: dari Nabi Muhammad SAW ke Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib – Husain — Ali Zainal Abidin – Muhammad al Baqir — Ja’far Shadiq —Ali — Muhammad — Isa — Ahmad Muhajir — Ubaidullah —Alwi — Muhammad — Alwi — Ali Khaliq — Muhamad — Alwi — Ibrahim — Maulana Ishaq — Raden Rahmat.
Dari empat versi di atas, versi pertama, apabila diperhatikan dari nama, ada perbedaan sebutan nama-nama psds nomor urut keturunannya.
Silsilah lainnya ada empat versi lagi, semua tentang garis nasab Raden Rahmat atau Sunan Ampel dari Nabi Muhammad melalui Siti Fatimah.
Kendati dari berbagai versi itu ada perbedaan, namun pada akhirnya ada kesamaan, yakni keturunan terdekat Raden Rahmat adalah Ibrahim.
Gelar Raden
Biasanya, kalau penyebar agama Islam berasal dari Arab, ia sering dipanggil syekh. Sebagaimana panggilan untuk ulama besar di Sumatera, terutama di Minangkabau atau Sumatera Barat. Tetapi itu sama sekali tidak, pada Sunan Ampel dan beberapa sunan lainnya. Kecuali ada sebutan syekh untuk Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Syekh Maulana Yusuf.
Berbagai sumber dan babad, semuanya menyatakan Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Rahmat.
Dalam riwayat berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang dengan menyeberangi samudera dan lautan, Rahmat datang pusat kerajaan Majapahit bersama adiknya Raja Pandhita alias Santri dan anak pamannya bernama Beureurah atau Burerah. Paman Rahmat atau ayah Burerah adalah Raja Cempa. Di keraton Majapahit mereka bertiga diterima sebagai keluarga kerajaan. Sebab, Rahmat dan Raja Pandhita alias Santri adalah kemenakan dari permaisuri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Murtiningrum atau dalam Babad Tanah Jawi – Galuh Mataram disebut Ratu Darawati.
Nah, saat berada di Majapahit inilah, mereka bertiga memperolah gelar “raden”, sehingga Rahmat menjadi Raden Rahmat, Raja Pandhita alias Santri menjadi Raden Santri dan Beureurah menjadi Raden Burerah.
Kemudian, Raden Rahmat sebagai ulama dan oleh Prabu Brawijaya diberi kesempatan untuk menguasai suatu wilayah di Surabaya, tepatnya di Ampel. Tidak hanya itu, dalam buku Oud Soerabaia (1931), karangan G.H.von Faber, halaman 288, disebutkan bahwa Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga pengikutnya (drieduizend huisgezinnen).
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.
Jadi, pemberian gelar raden untuk Rahmat sehingga bernama Raden Rahmat, karena ia dianggap sebagai bangsawan dan perlu mendapat penghormatan. Bisa juga, karena dia sebelumnya bergelar asy-Syarif atau as-Syayyid yang merupakan ningrat Arab, tulis G.F.Pijper dalam “Beberapa Studi Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950” terjemahan Tudjimah dan Yessi Augusdin (1984).
Berdasarkan padanan itu, lalu disejajarkanlah Rahmat dengan keturunan raja-raja Jawa, ia diberi gelar raden. Dengan adanya gelar raden itu, ia tidak lagi menjadi orang asing di sini. Apalagi dalam riwayat berikutnya, Raden Rahmat kawin dengan pribumi dan beranak-pinak sebagai “Orang Jawa”.
Sunan dan Wali
Setelah masa lalunya akrab dengan nama Raden Rahmat, kiprahnya dalam menyebarkan agama Islam dari Surabaya, terus berkembang ke seluruh Tanah Jawa. Raden Rahmat tidak sendiri, ia dibantu murid-murid dan anak-anaknya.
Sebagai guru besar agama Islam ia kemudian mendapat julukan “Suhun”. Dalam buku Javaansch-Nedherlansch Handwooenboek (1901) karya J.F.C Gerieke dan T.Roorda, disebutkan bahwa Suhun merupakan kata dasar dari Sunan. Nah, kemudian berubahlah panggilan suhun menjadi sunan. Karena menetap di Ampel, maka Raden Rahmat kemudian popular dengan sapaan Sunan Ampel.
Kata “wali”, berasal dari kalimat waliyullah atau wali Allah. Dalam tradisi Jawa, terutama kalangan orang-orang Islam, tulis Drs.H.Syamsudduha dalam Jejak Kanjeng Sunan (1999), “wali” tidak hanya sekedar sebutan, tetapi ada “roh” atau “geest” di dalamnya.
Sebutan wali di situ tidak bisa dilepaskan dari Al Quran, seperti terdapat dalam Surat Yunus ayat 62-64. Ayat itu mengandung makna wali Allah, ialah orang yang karena iman dan taqwanya tidak merasa takut, tidak mengenal sedih, selalu gembira atau senantiasa optimistik dalam perjuangan, karena yakin dengan janji Allah yang akan memberi kemenangan dan keberhasilan.
Perkembangan zaman dan semakin tumbuhnya kehidupan manusia, maka penyebaran Islam di Tanah Jawa semakin nyata. Sunan Ampel tidak lagi sendiri, tetapi ada delapan lagi penyebar agama Islam yang juga memperoleh gelar yang sama. Dari delapan orang yang bergelar Sunan, satu di antaranya dipanggil Syekh.
Sunan Ampel dengan tujuh Sunan dan satu Syekh ini disebut sebagai Wali yang sembilan atau Wali Sanga atau Wali Songo. Mereka adalah Sunan Ampel di Surabaya, Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik, Sunan Drajat di Lamongan, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Muria di Gunung Muria, Sunan Kudus di Kudus dan Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Museum Wali Songo
Masyarakat Surabaya patut bangga terhadap keberadaan Sunan Ampel. Betapa tidak, sebab dengan adanya kiprah masa lalu Sunan Ampel itu, mengangkat derajat Surabaya sebagai “Kota Relegius”. Kota yang peduli terhadap agama, khususnya Islam. Berkat kiprah Sunan Ampel dengan segala peninggalan sejarah yang dibuatnya, kini Surabaya dapat menjadi pusat sejarah Islam di tanah Jawa.
Sunan Ampel sebagai sunan yang “dituakan” di antara delapan Wali Songo lainnya, menjadi Surabaya sebagai pangkal kegiatan ziarah “Wali Songo”. Dan sudah umum, sebelum melakukan ziarah ke makam-makam Wali Songo, Masjid Agung Ampel dan makam Sunan Ampel dijadikan tempat start. Dari sini baru kemudian menuju ke Gresik, Lamongan, Tuban, Gunung Muria, Kudus, Demak dan finish di Cirebon.
Biasanya, kalau kita akan melakukan perjalanan jauh, maka di awal perjalanan kita membuat perencanaan tentang tujuan selanjutnya. Saat berada di tempat pemberangkatan awal, kita wajib mengetahui peta yang akan dituju kemudian. Artinya, untuk ziarah Wali Songo, ketika masih berada di strat makam Sunan Ampel, maka rencana kunjungan ke delapan wali lainnya sudah dipersiapkan. Bahkan, gambaran tempat yang akan dituju sudah ada di angan-angan.
Angan-angan tentang Wali Songo itu harus berada di Surabaya, bentuk angan-angan itu adalah suatu tempat yang mampu memberi gambaran ke depan. Jadi, apa yang dikatakan mantan Kepala Dinas Pariwisata Kota Surabaya, Drs.H.Muhtadi,MM sangat tepat.
Pemerintah Kota Surabaya, harus dapat menciptakan gambaran keseluruhan tentang Wali Songo itu dalam bentuk “Museum Wali Songo”. Dengan adanya gambaran yang diperagakan dan diinformasikan dari Museum Wali Songo, maka para wisatawan atau peziarah memperoleh bekal yang sangat berguna.
Museum Wali Songo di Surabaya harus mampu memberi gambaran masing-masing aktivitas ke sembilan wali itu.
Selain kiprah Sunan Ampel yang sudah banyak diungkap, di museum itu perlu digambarkan secara jelas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik. Begitu pula dengan Sunan Drajat, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan kalijaga dan Sunan Gunung Jati.
Tentunya, apa yang digagas Muhtadi itu layak memperoleh dukungan dari petinggi Kota Surabaya, yakni Walikota Surabaya bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, perguruan tinggi serta masyarakat pencinta sejarah. Dengan kebersamaan semua pihak, insya Allah, gagasan tentang pendirian Museum Wali Songo di Surabaya dapat diwujudkan. ***
*) Yousri Nur Raja Agam M.H — Pemerhati sejarah bermukim di Surabaya.
Filed under: AGAMA, SEJARAH, UMUM | Tagged: Babad Para Wali, Babad Tanah Jawi, Galuh Mataram, Nabi Muhammad SAW, Sunan Ampel, Wali Songo |
Terima kasih bpk Yousri,
Atas segala informasi sejarah yang telah anda berikan.
saya rasa pengetahuan tentang sejarah awal islam ke pulau jawa perlu kita budayakan agar kita lebih faham dan mengerti cara berterima kasih kepada mereka atas jasa jasa yang telah beliau berikan kepada masyarakat pulau jawa.
informasi yang up date akan selalu saya tunggu sebagai masyarakat pulau jawa
salam
Wa’alaikum salam, Mas Fahmi
Insya Allah yang saya lakukan ini merupakan kewajiban. Sebab, semua itu saya peroleh dari membaca dan membaca. Hasilnya saya ramu menjadi sebuah karya tulis yang mungkin sama-sama berguna bagi kita semua.
Salam juga untuk para sahabat pencinta ajaran Islam dan pitutur Walisongo. (yousri)
SUWUN PAK infonya tetang para sunan ada satu masalah disini yaitu tengtang karya karya belio itu loo pak seperti halya karyanya sunan ampel buku tentang sejatineng diri itu sekarang masih adakah bila ada toloooooong saya diajarkan isinya
subhanalloh … betapa bangganya saya mngetahui sejarah tentang masuknya islam ke negara yang kita cintai ini
————-
Ya Mas Wahyu Subarkah, mungkin masih banyak kisah yang lain. Ayo mari kita kembangkan penulisan tentang penyebaran Islam di tanahair. (Yousri)
Saya bangga dengan apa yang dikaryakan Bapak. Mudah-mudahan Bapak senantiasa diberikan kesehatan dan panjang umur. Amin.
Bapak yang saya hormati, kalau boleh saya dikirimi tentang cerita wali di wilayah kota Blitar dan sekitarnya. Terima kasih dan mohon maaf.
———————-
Ha ha ha Mas Saiful! Saya ini mengungkap ,asalah Wali Sanga, sebagian besar mencari data dari buku dan buku.
Nah, kalau cerita Wali di wilayah Blitar, maaf saya belum mendapat data yang sahih. Muda-mudahan dalam kegiatan menghimpun data di perpustakaan, nanti ketemu.
Kalau Wali yang saya kenal di Blitare, kebanyak hanya “wali murid”, sebab banyak teman saya di Blitar punya anak-anak di SD,SMP dan ada juga yng di SMA-SMK
Terima Kasih Pak atas infonya
Saya tertarik dengan hubungan Islam Hindu dalam kisah Sunan Ampel ini. Ternyata bhinneka tunggal ika memang sudah ada sejak dulu.
——–
Oke dik, terimakasih anda tertarik dengan artikel tersebut. InsyaAllah bermanfaat. (yousri)
saya cukup terbantu dengan adanya sejarah2 yg ingin saya ketahui yg teringkas dengan jelas
terimah kasih.
—————–
Ya di Rennyta, semoga bermanfaat. Sebab ilmu yang bermanfaat membawa barokah, InsyaAllah. Amiiin! (yousri)
Assalamu`alaikum wr.wb
maaf sebelumnya bisa gk sy mnt alamat makam2 wali songo yg ada di sekitar surabaya? insya ALLOH tgl 27 agust 2011 ini sy mau melakukan ziarah pribadi bersama keluarga,ttp blm py alamat yg jlas.
Atas bantuannya saya sampaikn beribu trima kasih, pls secepatnya di balas ya!
——————
Wa’alaikumsalam Di Afifah Noor,
Untuk alamat yang berhubungan dengan Makam Walisongo di sekitar Surabaya, adalah:
1. Makam dan Masjid Agung Ampel di kawasan Ampel, Jalan KH Mas Mansyur, Surabaya.
2. Makam Sunan Bungkul — kerabat/besan Sunan Ampel, di Jalan Taman Bungkul, Darmo, Surabaya.
3. Makam Sunan Giri dan Syeh Maulana Malik Ibrahim di Gresik.
4. Makam Sunan Drajad di Lamongan.
5. Makan Sunan Bonang di Tuban.
Di samping itu, ada Masjid Rahmat, di Kembang Kuning, yaitu masjid yang dibangun oleh Raden Rahmat (sebelum disebut Sunan Ampel).
Selanjutnya, makam wali yang lain di luar Jawa Timur, yaitu: Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kali Jaga di Jawa Tengah, serta Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat,
Demikian dik Afifah. (Yousri Nur)
makasih udh menambah wawasan.
———————
Alhamdulillah, terimakasih. (Yousri)
terima kasih. Akhirnya saya bisa dapat pengetahuan baru yg sangat berguna
————————
Alhamdulillah di Asmi, semoga bermanfaat. Silakan lihat artekel lain yang InsyaAllah juga lebih bermanfaat. (Yousri)
silsilah tiap orang bisa dipastikan ada lebih dari satu versi, sebab silsilah yang dicatat adalah kejadian terdahulu, bukan kejadian dari masa kini ke masa depan. Jangankan kejadian (seperti halnya silsilah) di masa lalu, sebuah kejadian beberapa hari yang lalu saja beritanya bisa simpang siur.
—-
Ya memang demikian Cak Rokib. Terimakasih (Yousri)