SETELAH cukup lama penulis memperjuangkan agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Surabaya, akhirnya di masa kepemimpinan Walikota H.Sunarto Sumoprawiro memperoleh sambutan yang sangat positif. Luar biasa, ternyata Cak Narto – panggilan akrab mantan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro – secara spontan langsung memberikan pernyataan setuju.
Oleh HM Yousri Nur Raja Agam
Usul secara lisan itu penulis sampaikan saat berada di rumah dinas walikota Surabaya di Jalan Walikota Mustajab 61 Surabaya. Pernyataan setuju Cak Narto itu disaksikan oleh Ketua Umum Yayasan Peduli Surabaya, M.Arifin Perdana dan H.Edi Sasmita yang bersama penulis sebagai tim penerbit buku “Cak Narto Peduli Wong Cilik” dan “Cak Narto Komandan para Walikota”.
Kepada Cak Narto, penulis mengungkapkan, pernah mengusulkan kepada Walikota sebelumnya, dr.H.Pornomo Kasidi, untuk mengganti Jalan Tanjung Perak Timur dan Jalan Tanjung Perak Barat sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Di samping itu, penulis juga pernah menulis di Suratkabar Harian Sore “Surabaya Post”, 9 November 1987 tentang usulan itu. Tetapi, dengan alasan situasinya waktu itu belum memungkinkan, maka usul itupun tenggelam.
Setelah di Jakarta Bandara Internasional diberi nama Sukarno-Hatta, di Makassar pelabuhan lautnya diberi nama Sukarno-Hatta, dan di Bandung jalan lingkar selatan juga diberi nama Jalan Sukarno-Hatta, bahkan di beberapa kota juga banyak yang mengabadikan nama jalan dengan nama Sukarno-Hatta, maka penulis kembali menhadap walikota dr.H.Poernomo Kasidi dengan usul yang sama. Waktu itu, pak Pur – begitu walikota yang berprofesi dokter ini biasa disapa – menjanjikan akan memberi nama jalan lingkar timur Surabaya sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Namun, hingga berakhir masa jabatan pak Pur, jalan lingkar timur bagian tengah yang disebut MERR (Midle East Ring Road) pun belum selesai. Bahkan, hingga akhir tahun 2006, MERR masih megalami hambatan pembebasan lahan di beberapa tempat.
Jalan Raya Darmo
Saking semangat dan antusiasnya untuk mengabadikan nama besar Sukarno-Hatta, Cak Narto waktu itu sertamerta menyebut, jalan yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya adalah mengganti nama Jalan Raya Darmo sampai ke Jalan Embong Malang. Jadi, nama Jalan Raya Darmo, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Basuki Rachmat sampai Jalan Embong Malang diganti menjadi Jalan Sukarno-Hatta, katanya terbata-bata.
Tentang persetujuannya untuk segera mengabadikan nama Sukarno-Hatta sebagai nama jalan utama di Surabaya, perlu ditindaklanjuti. Besoknya Cak Narto sudah sesumbar dan membuat pernyataan di depan wartawan untuk mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Keinginan Cak Narto, waktu itu tahun 2001, mendapat dukungan Cak Roeslan Abdulgani, sesepuh Kota Surabaya.
Terjadi pro-kontra yang tajam sewaktu dilontarkan agar nama Sukarno-Hatta diabadikan sebagai pengganti nama Jalan Raya Darmo. Pro-kontra berkepanjangan menjadikan gagasan Cak Narto itu polemik di mediamassa. Sebagai “pembisik” dan yang menulis konsep siaran pers tentang rencana mengabadikan Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya itu, penulis merasa punya beban dan tanggungjawab.
Prapen-Jemursari
Waktu itu, penulis minta Cak Narto bisa mundur selangkah, yakni mengarahkan yang layak diabadikan sebagai Jalan Sukarno-Hatta adalah mengganti nama Jalan Tanjung Perak Timur-Barat. Alternatif kedua adalah jalan kembar Jalan Prapen sampai Jalan Jemursari.
Ada beberapa alasan, mengapa Jalan Tanjung Perak Timur-Barat dan Jalan Prapen-Jemursari layak diganti dengan nama Sukarno Hatta.
Jalan Tanjung Perak Timur dengan Jalan Tanjung Perak Barat selama ini sudah menyatu. Khusus bagian Timur bernomor genap dan bagian barat nomor ganjil. Jalan Tanjung Perak Timur-Barat ini, adalah jalan menuju pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pelabuhan samudra dan pelabuhan nusantara, sebagai gerbang laut Kota Surabaya dari seluruh penjuru dunia dan wilayah kepulauan nusantara.
Memang, inilah satu-satunya gerbang masuk Surabaya yang formal saat ini, yakni gerbang dari laut. Sebab, gerbang masuk kota Surabaya dari darat saat ini adalah Terminal Purabaya yang terletak di Bungurasih, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Begitu pula dengan gerbang masuk dari udara, bandaranya juga berada di wilayah Sidoarjo.
Ingat! Naskah proklamasi yang dibacakan 17 Agustus 1945 dan ditandatangani proklamator Sukarno-Hatta adalah gerbang Indonesia menuju kemerdekaan. Nah, bila dikaitkan, sangat tepat jika seandainya jalan menuju gerbang laut Tanjung Perak itu dijadikan Jalan Sukarno-Hatta.
Sedangkan alternatif kedua, adalah Jalan Jemursari sampai Jalan Prapen. Jalan kembar ini, di Surabaya saat ini termasuk jalan yang bagus. Namun, ada kerancuan dalam sistem penomoran jalan ini. Seharusnya sistem penomoran jalan adalah dari arah kota menuju ke luar kota. Untuk Jalan Raya Prapen, sudah benar penomorannya diawali dari perempatan Jalan Panjang Jiwo, Jalan Jagir Wonokromo dan Jalan Nginden (jembatan). Tetapi, untuk Jalan Jemursari, penomorannya dimulai dari arah pertigaan Jalan Jenderal Ahmad Yani di bundaran Dolog dengan nomor besar bertemu dengan nomor besar Jalan Prapen.
Sekarang, karena sudah menjadi satunya Jalan Raya Prapen dengan Jalan Raya Jemursari, timbul kerancuan. Masyarakat pencari alamat bisa bingung, karena tidak ada batas yang jelas antara Jalan Prapen dengan Jalan Jemursari.
Artinya, perlu ada penertiban dan kajiulang untuk sistem penomoran jalan di Jalan Jemursari dan Jalan Raya Prapen, bahkan juga di berbagai jalan lain di Kota Surabaya ini.
Bagaimanapun juga, Jalan Jemursari-Prapen merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk diubah menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Karena, jalan ini di samping panjang dan lebar, juga merupakan jalan penghubung dari pintu kota ke tengah kota. Model jalan ini mungkin sama dengan Jalan Sukarno-Hatta di Kota Malang, yakni jalan yang melintas dari Blimbing ke arah Dinoyo.
Cak Narto, masih bersikukuh bahwa yang layak itu adalah Jalan Raya Darmo. Namun, hingga ajal memanggil hayatnya, nama Sukarno-Hatta tetap belum diabadikan di Kota pahlawan Surabaya.
Jalan Roeslan Abdulgani
Prof.Dr.Roeslan Abdulgani, yang sudah wafat 28 Juni 2005, adalah tokoh Surabaya, tokoh pergerakan peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya. Ia adalah “pahlawan” yang sertamerta dan tanpa harus menunggu persetujuan “siapa-siapa” seharusnya nama besar Cak Roeslan – demikian sapaan akrab Roeslan Abdulgani secara nasional – segera diabadikan di Kota Surabaya. Semua orang tahu, bahwa Cak Roeslan adalah tokoh nasional yang dapat bekerjasama dengan semua rezim pemerintahan sepanjang zaman. Mulai dari pemerintahan perjuangan kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, tidak dapat dipungkiri Cak Roeslan adalah “pahlawan yang punya nama besar”.
Cak Roeslan adalah kader politik Bung Karno. Di masa pemerintahan Orde Lama, Cak Roeslan duduk dalam berbagai kabinet yang berkuasa, bahkan menjadi duta besar RI dan penasehat presiden. Hampir dalam setiap kegiatan kenegaraan, Bung Karno tidak pernah meninggalkan Cal Roeslan.
Ketika Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun di masa Orde Baru, Cak Roeslan adalah “suhu” atau gurubesar Pancasila yang menjadi simbul kekuasaan Presiden Soeharto. Cak Roeslan diberi kedudukan sebagai Kepala BP7, suatu badan yang mengelola penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang sangat popular di zaman Orde Baru.
Saat Presiden BJ Habibie berkuasa melanjutkan pemerintahan yang ditinggal Presiden Soeharto, Cak Roeslan menjadi penasehat presiden. Begitu pula di masa pemerintahan Gus Dur – KH Abdurrahman Wahid – di awal Reformasi. Bahkan, ketika Presiden Magawati Soekarnoputri menjadi kepala negara, Cak Roeslan dijadikan Mega sebagai “pengganti Bung Karno”. Kepada Cak Roeslan lah Mega bertanya untuk setiap langkah politik yang akan diayunkannya.
Setelah Susilo bambang Yudhoyono menduduki jabatan presiden bersama pasangannya Jusuf Kalla, peran Cak Roeslan tetap sebagai penasehat politik pemerintahan. Cak Roeslan menjadi “kamus politiknya” SBY-Kalla, khususnya menyangkut Pancasila. Sehingga, di masa SBY-Kalla ini, kegiatan yang bernafaskan pancasila kembali digiatkan.
Cak Roeslan kini telah tiada, dan tidak salah kalau Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan pangkat “Jenderal Kehormatan” dan menempatkan jasatnya di TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata, Jakarta kepada Cak Roeslan.
Nah, seharusnya nyali para petinggi dan wakil rakyat di Surabaya ini bergetar tatkala Cak Roeslan dipanggil sang Khalik. Getar hati itu sepantasnya dibuktikan dengan segera mengabadikan nama besar Jenderal (Hor) Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani itu di kota kelahiran dan kota perjuangannya, Surabaya. Tetapi, sayang dan sangat sayang, kepergian cak Roeslan berlalu begitu saja, tanpa ada doa “resmi” dari kita.
Penulis telah melakukan berbagai pengamatan di jalan-jalan Surabaya. Maka, Surabaya tidak akan rugi untuk mengganti salah satu nama jalan yang ada di Surabaya ini dengan nama Cak Roeslan. Jalan raya yang cukup panjang, yang layak untuk mengabadikan nama Jenderal Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani adalah: Jalan kembar Undaan Kulon-Wetan. Di sekitar sini sudah ada beberapa nama pahlawan dan tokoh 10 November yang diabadikan, yakni mengganti nama-nama Jalan Taman Baskoro, Taman Akoso dan sebagainya. Kalau itu tidak mungkin, alternatifnya adalah: Jalan Embong Malang atau Jalan Tidar.
Miskin Nama Pahlawan
Sebenarnya, kita malu dan malu, kalau Kota Pahlawan ini “miskin” mengabadikan nama-nama Pahlawan, tokoh masyarakat dan “orang yang berjasa”. Sudah waktunya, petinggi Kota Surabaya bersama anggota DPRD-nya mengabadikan seluruh nama Pahlawan Nasional dan “orang yang berjasa” kepada bangsa dan Kota Surabaya.
Kita haru berani berbuat, walaupun terlambat. Nama-nama jalan di Surabaya perlu dikoreksi dan diubah, tidak hanya berdasar “selera pengusaha real estate”, tetapi berdasarkan keberanian Pemkot Surabaya untuk menetapkannya. Kita harus mulai sekarang, tidak perlu ditunda lagi.
Kalau sebagian masyarakat Surabaya keberatan mengubah nama-nama jalan di pusat kota di sekitar Jalan Tunjungan menjadi nama-nama pahlawan, karena keterkaitannya dengan sejarah Surabaya, maka alternatif harus dicari. Sekali lagi, nama-nama Pahlawan Nasional dan “orang yang berjasa” harus segera diabadikan di Kota Pahlawan Surabaya ini.
Mungkin, kawasan Dharmahusada Indah, Manyar Kertoarjo dan Kertajaya Indah dapat dijadikan sebagai “proyek percontohan”. Jalan Manyar Kertoarjo bersama jalan-jalan samping diganti menjadi jalan para pahlawan “perjuangan” nasional yang belum diabadikan di Surabaya. Sedangkan kawasan Dharmahusada Indah untuk pahlawan “pergerakan” nasional dan kawasan Kertajaya Indah dengan nama para pahlawan nasional “pembela” kemardekaan.
Kendati kawasan elite di Surabaya Timur itu teratur, namun sistem penomorannya masih belum seragam. Ada yang sudah berpatokan kepada jalan raya yang di kiri bernomor ganjil dan kanan bernomor genap, tetapi secara umum sistem blok masih dipertahankan. Nantinya, kalau nama jalan itu berdasarkan nama pahlwan, tentu sistem blok akan dengan sendirinya terlupakan.
Beranikah Pemkot Surabaya berhadapan dengan pengembang yang membangun kawasan itu, juga warganya. Sebab, bagaimanapun juga untuk mengubah nama jalan perlu pengorbanan dan ada yang menjadi korban. Pengertian korban di sini adalah, perubahan berbagai administrasi, mulai KTP, KK, surat-surat penting lainnya, termasuk berbagai surat yang berkaitan dengan hukum.
Perubahan nama jalan memang bukan yang tidak biasa dilakukan. Jadi, kalau ada kemauan dan kebersamaan dengan semua pihak, niscaya perubahan nama jalan dapat dilaksanakan tanpa hambatan. Memang, untuk itu perlu ada sosialisasi yang tidak akan menimbulkan gejolak, apalagi di era reformasi ini.
Apabila “proyek percontohan” ini dapat dilaksanakan, maka banyak nama jalan lain di Surabaya yang perlu diubah menjadi nama pahlawan dan “orang yang berjasa”. Misalnya kawasan sekitar Balaikota, nama jalannya diubah menjadi nama-nama mantan walikota, seperti nama Jalan Walikota Mustajab yang sebelumnya bernama Ondomohen. Jalan Sedap Malam, Jalan Jimerto, Jalan Pacar, Jalan Kecilung, Jalan Ngemplak dan Jalan Ambengan, bisa diganti.
Nama-nama mantan gubernur Jatim, selain Gubernur Suryo, juga banyak yang layak diabadikan. Misalnya Gubernur Samadikun. Kota Malang dan Sidoarjo, bahkan sudah mengabadikan nama Gubernur Sunandar Prijosoedarmo sebagai nama jalan. Nah, di Surabaya, nama-nama mantan gubernur Jatim dapat diabadikan mengganti nama jalan yang berawal embong, seperti Embong Trengguli, Embong Wungu, Embong Sawo, Embong Tanjung dan lain-lain.
Di sekitar Masjid Al Akbar, bisa diabadikan dengan nama-nama tokoh agama Islam dan juga Kristen. Sebab, di dekat Masjid Al Akbar itu juga berdiri gereja katholik. Kita punya nama besar, yang merupakan tokoh agama Islam, seperti: KH Hasjim Asjari, KH Wahid Hasjim, Prof.Dr.HAMKA, KH Muhammad Natsir, KH Fachruddin, dan masih banyak lagi tokoh agama tingkat nasional maupun regional.
Misalnya, jalan tembus dari Jalan A.Yani ke Masjid Al Akbar dari samping pusat perbelanjaan Alfa, yakni Jalan Menanggal diubah namanya menjadi KH.Hasjim Asjari. Pertimbangannya, jalan ini melewati gedung museum NU (Nahdlatul Ulama) dan gedung Asra Nawa. Sedangkan Jalan Gayung Kebonsari (Injoko) diubah menjadi Jalan Prof.Dr.HAMKA. Pertimbangannya, di jalan itu ada gedung Rumah Gadang, Minangkabau, tempat asal Buya Hamka. Seterusnya jalan-jalan di sekitar masjid Al Akbar, yakni Jalan Gayung Sari Barat hingga Jalan Letjen Haji Sudirman, diubah menjadi nama-nama para pahlawan dan tokoh agama lainnya.
Insya Allah, tidak ada yang keberatan. Dengan demikian perwujudan arti Kota Pahlawan, benar-benar dapat dibuktikan dan diwariskan kepada generasi yang akan datang. ***
Filed under: SEJARAH | Tagged: Cak Narto, Roeslan, SEJARAH, sukarno-hatta |
Tinggalkan Balasan