Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam
KENDATI terlambat dan lama diabaikan, akhirnya “ada” dan terwujud juga di Kota Pahlawan Surabaya.
DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya, melalui sidang Paripurna, 18 April 2010, mengesahkan diabadikannya jalan baru di Surabaya Timur menjadi Jalan Sukarno-Hatta.
Jalan ini adalah jalan baru sepanjang 4,6 kilometer yang terbentang dari pertigaan Jalan Kenjeran menuju ke arah selatan sampai ke perempatan Jalan Arief Rachman Hakim. Jalan ini, terus ke arah selatan menuju ke Bandara Juanda, Sidoarjo.
Selama ini, jalan baru yang belum bernama itu dikenal sebagai proyek “Jalan Lingkar Timur bagian Tengah” yang disingkat MERR (Midle East Ring Road).
Saya, sebagai penulis artikel ini, sangat bangga atas diwujudkannya Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya. Maaf, karena saya juga sudah lama melakukan perjuangan untuk mengabadikan nama Dwitunggal Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia itu sebagai nama jalan di kota Surabaya.
Maka, tidak salah kiranya, kalau desakan yang pernah saya lakukan kepada tiga walikota Surabaya, yakni dr.H.Poernomo Kasidi, Dr.H.Sunarto Sumoprawiro dan terakhir Drs.H.Bambang Dwi Hartono. Baik secara lisan, tertulis, naupun melalui berbagai tulisan dan karangan di mediamassa.
Terlambat
Di bawah ini cuplikan tulisan penulis sebelumnya, secara tegas mengharap kepada npara petinggi Kota Surabaya untuk tidak usah malu. Lebih baik terlambat daripada tidak berbuat, apalagi melupakan sama sekali. Oleh sebab itu, tidak ada kata terlambat untuk mengabadikan nama Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan Surabaya.
Masyarakat Surabaya pada umumnya sangat sadar dan mempunyai keyakinan, bahwa nama besar Bung Karno mempunyai kaitan erat dengan Kota Surabaya ini. Selain sebagai tokoh dan pahlawan nasional, bagi Surabaya Sukarno adalah anak kandungnya.
Bung Karno, tidak hanya mengikuti pendidikan menengah di Surabaya. Justru yang lebih menarik, Surabaya juga kota kelahiran Bung Karno.
Selama ini, buku sejarah dan pelajaran di sekolah tidak pernah sama dalam mengungkap tempat kelahiran Bung Karno. Ada yang menyebut lahir di Blitar, namun ada juga yang menyatakan di Surabaya. Dalam penelusuran yang dilakukan, ternyata kecenderungan Bung Karno lahir di Surabaya semakin meyakinkan.
Sebagai seorang guru, ayah Bung Karno bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo akhir tahun 1800 mendapat tugas mengajar di Singaraja, Bali. Di Pulau Dewata itu, Soekemi menikah dengan gadis Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Awal tahun 1900, Soekemi dan isterinya yang sedang hamil pindah ke Surabaya.
Sukarno Lahir di Surabaya
Dari Singaraja Raden Sukemi bersama isterinya Ida Ayu Nyoman Rai Srimben berlayar ke Surabaya menumpang kapal. Setelah berlabuh di Tanjung Perak, dengan perahu mereka menyusuri Sungai Kalimas dan turun di dermaga Peneleh.
Memang waktu itu, angkutan laut lebih lancar dibandingkan dengan transportasi darat. Jalan raya Anyer-Panarukan, di awal abad ke 20 itu sedang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels.
Dermaga Peneleh, di zaman itu cukup popular bagi pendatang dari Pulau Bali. Raden Soekemi tinggal di rumah kontrakan di perkampungan Peneleh, tepatnya di Jalan Pandean Gang IV No.40 Surabaya. Konon di rumah inilah Koesno dilahirkan. Koesno kemudian berganti nama menjadi Soekarno atau popular dengan sapaan Bung Karno.
Kepastian Bung Karno lahir di kawasan ini sangat dimungkinkan. Sebab, hingga sekarang di wilayah sekitar Pandean dan Peneleh masih banyak bermukim warga asal Bali. Bahkan, kampung Peneleh sampai disebut sebagai “Kampung Bali” di Kota Surabaya. Di sini sejak dulu ada babarapa hotel di antaranya: Hotel Bali, Hotel Singaraja dan agen-agen bus (travel), serta angkutan penumpang jurusan Bali. Dan di Peneleh ini ada pasar buah khusus, jeruk dan salak dari Bali yang pedagangnya 100 prosen berasal dari Bali.
Arek Suroboyo
Karena panggilan tugas mengajar di Blitar, Raden Sukemi bersama isterinya kembali ke Blitar. Sukarno kecil bersama orangtuanya berada di Blitar hingga dia duduk di Sekolah Dasar.
Sukarno melanjutkan ke SMP di Mojokerjo, di sana ia dititipkan oleh Raden Sukemi kepada seorang kawannya. Lulus SMP di Mojokerto, Bung Karno masuk SMA atau HBS (Hoogere Burger School) di Surabaya. Jadi, dalam riwayat hidup Sukarno, Surabaya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Surabaya sudah menyatu dengan Sukarno dalam kaitan sejarah dan emosional.
Sejarah juga mencatat dengan rapi, bahwa saat di HBS Surabaya itu, Sukarno tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh Gang VII Nomor 29-31 Surabaya. Di rumah ini Sukarno juga mempunyai kesan yang amat luar biasa. Betapa tidak, Tjokroaminoto yang waktu itu menjadi pimpinan Partai Sarekat Islam adalah guru politik Bung Karno. Dalam kehidupan dan pribadi Bung Karno ada penjelmaan sikap teguh Pak Tjokroaminoto.
Bukan hanya itu ikatan Sukarno dengan keluarga Pak Tjokro di kampung Peneleh Surabaya. Ketika itu Sukarno, pacaran dengan Utari, anak Tjokroaminoto. Bahkan, saat Sukarno yang berusia 20 tahun lulus dari HBS dan akan melanjutkan sekolahnya di ITB (Institut Teknologi Bandung) yang waktu itu bernama Tehnische Hoge School (Sekolah Teknik Tinggi), Utari yang berusia 16 tahun dinikahinya. Utari adalah isteri pertama Bung Karno.
Cak Roeslan Abdulgani, yang lahir di kampung Plampitan Surabaya, tidak jauh dari rumah tempat kelahiran Sukarno, secara tegas menyebut Bung Karno adalah “Arek Suroboyo”. Sebab, kata sesepuh Arek Suroboyo yang kini telah tiada dan meninggal dunia 28 Juni 2005 di Jakarta itu, Bung Karno lahir dan besar di Surabaya.
Saat perjuangan kemerdekaan dan upaya mempertahankan kemerdekaan RI dari incaran sekutu untuk kembali menjajah, Sukarno tak pernah lupa dengan Surabaya. Dalam keadaan kemelut itu, Ir.Sukarno yang sudah menjadi Presiden sengaja datang bersama Wakil Presiden Dr.Moh Hatta ke Surabaya. Peran dwitunggal Sukarno-Hatta dalam menghadapi sekutu dan mengobarkan semangat Arek Suroboyo di tahun 1945 tidak akan pernah dilupakan.
Perhatian Bung Karno terhadap Surabaya, tidak pernah pupus, sampai-sampai Bung Karno sendiri yang merencanakan pembangunan Tugu Pahlawan, meletakkan batu pertama dengan selembar dokumen yang ditanam di bawahnya, lalu meresmikannya. Keheroikan perjuangan Arek Suroboyo yang menjadi puncak tanggal 10 November 1945 itu, ditetapkan oleh Bung Karno sebagai Hari Pahlawan dan Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Sungguh luar biasa perhatian Bung Karno untuk Kota Surabaya. Tetapi, mengapa petinggi kota ini abai terhadap sang Proklamator?
Memang, sejarah kemudian membuktikan, peran proklamator Sukarno-Hatta di awal kemerdekaan Indonesia menjadi pendorong semangat persatuan bangsa. Nama kedua proklamator itu bagaikan tak bisa dipisahkan. Di samping sebagai dwitunggal, di antara keduanya ada keterikatan dalam hubungan keluarga. Keakraban Sukarno dengan Hatta menjadi perlambang persatuan antarsuku bangsa di Bumi Nusantara ini.
Begitu dekat dan akrabnya dua pimpinan nasional ini, di mana-mana kemudian nama ini menjadi satu, yakni Sukarno-Hatta. Di mana-mana di berbagai tempat dan kota di Indonesia, nama Sukarno-Hatta diadikan menjadi nama bandar udara (bandara), nama pelabuhan, nama gedung, nama taman dan terbanyak menjadi nama jalan.
Di Kota Surabaya, tempat yang paling “berkepentingan” dengan nama besar Sukarno-Hatta itu, nama mereka sama sekali tarabaikan.
Ironis! Kota Pahlawan yang abai mengabadikan nama-nama besar para pahlawannya.
Abadikan Sekarang
Tidak ada waktu yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta, kalau tidak tahun ini juga. Mengapa? Karena tahun inilah kesempatan yang paling pas.
Kita semua tahu, Sukarno dan Hatta adalah dua nasionalis yang sangat kokoh dalam perjuangan. Semangat dan jiwa nasionalis yang ada pada diri dwitunggal proklamator ini juga dilandasi nilai-nilai luhur agama, yakni Islam.
Surabaya sekarang ini dikendalikan oleh para nasionalis yang agamis. Walikotanya, Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd yang juga mantan ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Surabaya. Di balik itu, anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya, juga para nasionalis yang didukung partai bernuansa agama.
Wakil Walikota Surabaya, Drs.H.Arif Afandi, “pasti” mendukung. Hati kecilnya akan mengatakan, wah tepat kalau tahun ini nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Pahlawan ini. Bagaimanapun Arif Afandi yang lahir di Blitar akan bangga dengan Bung Karno, tokoh asal Blitar yang ternyata belum sempat diabadikan namanya oleh para pendahulunya.
Oleh sebab itu, tahun ini adalah tahun yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya. Kemungkinan dan kecenderungan untuk lancarnya segala persyaratan yang ditentukan untuk penetapan Peraturan Daerah (Perda) tidak perlu diragukan lagi. Di samping walikotanya yang “pasti” mendukung, juga mayoritas anggota DPRD Kota Surabaya “pasti” akan bersuara secara aklamasi menyatakan setuju.
Nah, menunggu apa lagi? Abadikan nama Sukarno-Hatta sekarang juga, tahun ini juga di Surabaya. Ada tiga tanggal bersejarah yang tepat dijadikan waktu untuk meresmikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya. Pertama, bertepatan dengan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei atau pada HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus dan alternatif terakhir, pada peringatan Hari Pahlawan 10 November tahun ini.
Filed under: Budaya, PENDIDIKAN, POLITIK, SEJARAH, UMUM | Tagged: abadikan, Bung Karno. Kusno, HOS Cokroaminoto Peneleh VII/29-31 Surabaya, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, Peneleh, Peneleh Kampung Bali di Surabaya, Raden Soekemi, Rumah tempat Sukarno lahir Jalan Pandean IV/40 Peneleh Surabaya, SEJARAH, Soekarno, Sukarni bukan lahir di Blitar, Sukarno, Sukarno HBS atau SMA di Surabaya, Sukarno kuliah di ITB, Sukarno Lahir di Surabaya, Sukarno SMP di Mojokerto, Sukarno SR di Blitar, sukarno-hatta |