Asal-Usul Kota Surabaya

Asal Usul dan

Cikal Bakal

Kota Surabaya


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

PENELITI dan beberapa ahli sejarah, mengungkapkan, dulu Surabaya ini adalah muara sungai dan terbentuk oleh gugusan kepulauan. Muara Sungai Kali Brantas dengan anaknya Kali Surabaya masih di Wonokromo. Sedangkan Surabaya sekarang merupakan pulau-pulau kecil yang terjadi akibat lumpur yang hanyut dari letusan Gunung Kelud. Namun, lama-kelamaan terus terjadi pendangkalan di muara sungai yang terletak di Selat Madura ini.

Akibat sedimen yang terus bertambah, endapan lumpur semakin meninggi, sehingga selat-selat yang terletak di antara gugus pulau-pulau kecil itu menyempit. Di antara pulau-pulau kecil itu banyak yang menyatu, sementara ada pula selat di antara pulau-pulau kecil itupun berubah menjadi anak sungai atau kali.

Kejadian yang unik itu ditopang pula dengan proses tektonik. Permukaan daratan Surabaya naik 5 sampai 8 centimeter per-abad. Sementara itu daratan atau garis pantai bertambah ke arah laut rata-rata 7,5 centimeter per-tahun.

Dalam catatan sejarah, Gunung Kelud rata-rata meletus setiap 15 tahun sekali. Memang, apabila Kelud meletus, dua wilayah yang menjadi sasaran utama, yaitu Blitar dan Kediri. Tetapi, karena Sungai kali Brantas mengalir dari arah Kediri sampai ke Surabaya, maka semburan gunung yang membawa lava, lahar dan lumpur itu hanyut sampai ke muara sungai. Selain membuat pendangkalan di badan sungai, endapan terbanyak justru di muaranya Selat Madura, yaitu Surabaya dan Sidoarjo.

Data yang berhasil dicatat dari Proyek Penanggulangan Bencana Alam Gunung Kelud, secara berturut-turut Gunung Kelud meletus tahun 1311, 1334, 1376, 1385, 1395, 1411, 1451, 1462, 1481, 1586, 1752, 1771, 1811, 1826, 1835, 1848, 1851, 1864, 1901, 1919, 1951, 1966, 1990 dan 2005.

Sebagai contoh, letusan tahun 1966 dan 1990, tidak kurang satu kali letusan memuntahkan lahar 28 juta meter kubik. Lahar yang dimuntahkan itu, selain menimbun kawasan di sekitar gunung, juga mengalir di lereng gunung terus ke sungai. Lahar yang berubah menjadi pasir dan lumpur itu mengalir melalui Sungai Kali Brantas hingga muara. Akibat yang terjadi, juga mendangkalkan permukaan sungai, mempersempit lebar sungai dan menambah endapan di muara sungai, laut di Selat Madura.

Begitulah asal-usul dan cikal-bakal kejadian daratan di muara Kali Surabaya, sehingga daerah yang semula bernama Junggaluh atau Ujunggaluh atau Hujunggaluh, kemudian bernama Surabaya. Tidaklah mengherankan, kalau sampai sekarang Surabaya berada di dataran rendah dan terletak pada ketinggian hanya 0 sampai 6 meter di atas permukaan laut. Jadi, kalau Surabaya banjir atau pasang naik mencapai bibir daratan, tidak perlu heran dan sebenarnya tidak perlu dirisaukan.

Dari gugus pulau-pulau kecil yang disebut pulo di muara sungai Kalimas yang berinduk ke sungai Kali Brantas itu, ada selat-selat yang dulu diberi nama kali. Jadi tidaklah mengherankan ada nama tempat di Surabaya ini yang disebut pulo dan kali. Di sini pola hidup dan kehidupan warga asli adalah memancing dan berburu. Rumah-rumah penduduk kampung asli Surabaya dulunya berada di atas tiang dan di atas permukaan air, sebagaimana umumnya permukiman pantai.

Seiring dengan perkembangan ruang dan waktu, pola kehidupan berubah. Kehidupan di dunia pantai yang berubah menjadi pelabuhan itulah yang mendorong terjadinya kegiatan kemaritiman. Dunia maritim ini saling tunjang dengan perdagangan dan industri. Inilah ciri khas Surabaya pada awalnya, yang kemudian berkembang ke arah pendidikan, budaya dan pariwisata seperti sekarang ini.

Sebagai wilayah berada di muara sungai yang berkembang menjadi pelabuhan, keberadaannya diakui oleh pemerintah penjajah Belanda di awal abad ke 16. Evolusi menjadi kota besar mulai terjadi setelah dilakukan pemetaan wilayah oleh Muller tahun 1746. Pemetaan wilayah Surabaya itu atas perintah Gubernur Jenderal Belanda wilayah Hindia Belanda yang mendarat 11 April 1746 di utara Surabaya.

Awalnya luas kota Surabaya yang secara otonom diserahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat pembentukan kota 1 April 1906 di bawah pemerintahan walikota (burgermeester), sekitar 5.170 hektar atau 51,70 kilometer per-segi.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tahun 1945, Pemerintahan Kota Surabaya dikukuhkan dengan Undang-undang No.22 tahun 1948 dengan luas wilayah 67,20 kilometer per-segi atau 6.720 hektar.

Kemudian terjadi perluasan kota dengan penambahan wilayah dari lima kecamatan dari Kabupaten Surabaya (sekarang bernama Kabupaten Gresik). Luas kota bertambah 15.461,124 hektar atau 15,46 kelometer persegi, sehingga luas kota Surabaya menjadi 22.181,12 hektar atau 221,18 kilometer per-segi.

Entah apa dasarnya, setelah tahun 1965 pada keterangan dan dalam buku agenda resmi Pemerintahan Kota Surabaya terjadi perubahan luas wilayah Kota Besar Surabaya menjadi 29.178 hektar

Sejak tahun 1992, berdasarkan pemotretan udara, ternyata luas Surabaya 32.636,68 hektar.

Memang, begitulah kenyataannya, konon hingga sekarang, luas daratan kota Surabaya terus bertambah. Dinas Tatakota Pemkot Surabaya, Senin, 12 Mei 2003, pernah mengungkap pertambahan luas daratan itu disebabkan lumpur yang hanyut ke muara sungai, terutama di hilir Kali Jagir sampai daerah Wonorejo. Akibatnya, selain muara sungai menyempit, juga semakin dangkalnya laut di muara sungai, bahkan menimbulkan tanah oloran baru.

Kalau kita amati dan kita cermat melakukan jalan keliling kota, pertambahan daratan Surabaya itu, juga akibat kegiatan reklamasi pantai dan pengurukann laut. Kegiatan yang dilakukan pihak swasta ini, pertama di daerah pertambakan, pembangunan perumahan di pinggir pantai serta perluasan daratan yang dilakukan pengelola Pantai Ria Kenjeran.

Kalau dalam buku agenda tahun 1980-an, luas Surabaya tertulis 29 ribu hektar. Kemudian pada tahun 1990-an dari hasil pemotretan udara, luas Kota Surabaya 32,63 ribu hektar. Namun, di tahun 2003, Kepala Dinas Tatakota Pemkot Surabaya Ir.Erlina Soemartomo (waktu itu) menyebut luas Kota Surabaya, 35 ribu hektar lebih. Kendati demikian, pada buku kerja (agenda) resmi terbitan Pemkot Surabaya tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006, luas wilayah kota Surabaya tetap dicetak 326,37 km2 atau 32,63 ribu hektar lebih.

 

Tutur Tinular

Kembali cerita tentang kapan Surabaya mulai disebut dan mulai ada, atau “lahir” , versinya macam-macam. Dalam cerita lama, seperti yang terdapat, dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Jawa Timur yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, ada dongeng tentang Surabaya.

Selain dongeng, juga ada cerita dari cerita yang disampaikan secara berkesinambungan dari nenek moyang kepada kakek, dari kakek atau nenek kepada ayah dan ibu, kemudian dari ibu kepada anak dan cucu, terus pula kepada cicit dan buyut, begitu seterusnya sampai sekarang ini. Kalau boleh dikatakan seperti tutur tinular, yakni penuturan yang kemudian ditularkan atau disebarluaskan kepada generasi berikutnya Tentu cerita dan cerita itu sudah tidak orisinal lagi, dipoles di sana-sini, bahkan ditaburi bumbu penyedap, sehingga rasanya menjadi asyik.

Surabaya yang dulunya hutan belantara di muara sungai Kali Brantas, kemudian melahirkan sungai yang berasal dari selat-selat yang terdapat dari tanah oloran yang kemudian menjadi pulau. Sungai-sungai itu tidak kurang dari 50 sungai yang disebut kali. Mulai dari kali yang cukup besar, yakni Kali Surabaya dari Mojokerto sampai Gunungsari. Kemudian, terpecah menjadi dua kali yang agak besar, Kali Mas yang mengalir dari Wonokromo ke arah Tanjung Perak.

Setelah Surabaya berkembang menjadi kota, sering terjadi banjir dalam kota. Untuk mengatasi banjir itu, tahun 1896, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuat “sungai” atau “kanal” lurus dari kali Surabaya menuju arah Rungkut. Dulu, daerah yang dikenal dengan  Pacekan terdapat bendungan yang sekaligus dimanfaatkan untuk proyek penjernihan air untuk PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Waktu itu, sumber air minum Surabaya berasal dari Umbulan di pasuruan. Untuk penghematan biaya, maka dibangunlah instalasi penjernihan air di Pacekan itu, dengan nama Instalasi Ngagel.

Ada lagi Kali Anak yang mengalir ke arah perbatasan Surabaya-Gresik. Dan, sisanya, kali-kali yang kecil, seperti: Kali Asin, Kali Sosok, Kali Pegirian, Kali Kundang, Kali Ondo, Kali Rungkut, Kali Waron, Kali Kepiting, Kali Judan, Kali Mir, Kali Dami, Kali Lom, Kali Deres, Kali Jagir, Kali Wonorejo dan masih puluhan kali lagi yang kecil-kecil.

Sebagai muara sungai besar, di muara itu mengendaplah lumpur, apalagi berulangkali lumpur letusan Gunung Kelud, hanyut ke muara dan membentuk pulau-pulau. Dari berbagai pulau yang merupakan kepulauan itu, lahirlah Surabaya. Pulau-pulau itu memang tidak begitu menonjol, kecuali Pulau Wonokromo dan Pulau Domas. Sedangkan yang lainnya berbentuk rawa dan danau-danau kecil yang disebut kedung, serta sebagian dijadikan tambak. Ada lagi yang masih berbentuk karang.

Maka, tidak heran kalau di seantero Kota Surabaya saat ini nama tempat diawali dengan nama kedung, tambak dan karang. Contoh, Tambaksari, Tambakasri, Tambakoso Wilangun, Tambakbayan, Tambakjati, Tambakrejo, Tambakmadu, Kedungdoro, Kedungsari, Kedungasem, Kedung Baruk, Kedung klinter, Kedungsroko, Kedungcowek, Kedungmangu, Karangmenjangan, Karangasem, Karangrejo, Karang Tembok, Karanggayam dan lain-lain.

Juga ada yang berbentuk tegal, seperti Tegalsari. Konon di Tegalsari atau daerah Surabayan inilah cikal-bakal penduduk daratan Surabaya yang kemudian berkembang sampai ke daerah Bubutan dan sekitar yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Adipati Surabaya.

Asal Nama Surabaya

Pada umumnya, masyarakat Kota Surabaya menyebut asal nama Surabaya adalah dari untaian kata Sura dan Baya atau lebih popular dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo. Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan”.

Namun berdasarkan filosofi kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah pantai menggambarkan dua perjuangan hidup antara darat dan laut. Di dua alam ini ada dua penguasa dengan habitat bertetangga yang berbeda, tetapi dapat bertemu di muara sungai. Dua makhluk itu adalah ikan Sura (Suro) dan Buaya (Boyo).

Perlambang kehidupan darat dan laut itu, sekaligus memberikan gambaran tentang warga Surabaya yang dapat menyatu, walaupun asalnya berbeda. Begitu pulalah warga Surabaya ini, mereka berasal dari berbagai suku, etnis dan ras, namun dapat hidup rukun dalam bermasyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama Surabaya awalnya adalah: Curabhaya. Tulisan ini di antaranya ditemukan pada prasasti Trowulan I dari tahun Caka 1280 atau 1358 M. Dalam prasasti itu tertulis Curabhaya termasuk kelompok desa di tepi sungai sebagai tempat penambangan yang dahulu sudah ada (nadira pradeca nguni kalanyang ajnahaji pracasti).

Nama Surabaya muncul dalam kakawin Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan: Yen ring Janggala lok sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun. Artinya: Jika di Jenggala ke laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun.

Cerita lain menyebutkan Surabaya semula berasal dari Junggaluh, Ujunggaluh atau Hujunggaluh. Ini, terungkap pada pemerintahan Adipati Jayengrono. Kerabat kerajaan Mojopahit ini diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memerintah di Ujunggaluh. Di bawah pemerintahan Jayengrono, perkembangan pesat Ujunggaluh sebagai pelabuhan pantai terus manarik perhatian bangsa lain untuk berniaga di sini.

Suatu keanehan, ternyata sejarah Surabaya ini terputus-putus. Kalau sebelumnya Surabaya dianggap sebagai penjelmaan dari Hujunggaluh atau Ujunggaluh, namun belum satupun ahli sejarah menemukan sejak kapan nama Hujunggaluh itu “hilang” dan kemudian sejak kapan pula nama Surabaya, benar-benar mulai dipakai sebagai pengganti Hujunggaluh. Perkiraan sementara, hilangnya nama Hujunggaluh itu pada abad ke-14.

Mitos Cura-bhaya

Ada lagi sumber lain yang mengungkap tentang asal-usul nama Surabaya. Buku kecil yang diterbitkan PN.Balai Pustaka tahun 1983, tulisan Soenarto Timoer, mengungkap cerita rakyat sebagai sumber penelitian sejarah. Bukunya berjudul: Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia “Mitos Cura-Bhaya”. Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto Timoer membuat kesimpulan, bahwa hari jadi Surabaya harus dicari antara tahun-tahun 1334, saat meletusnya Gunung Kelud dan tahun 1352 saat kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakrtagama, pupuh XVII:5).

Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama semula Hujunggaluh, karena perubahan nama menunjukkan adanya suatu motif. Motif dapat pula menunjukkan perkiraan kapan perubahan itu terjadi. Bahwa Hujunggaluh itu adalah Surabaya yang sekarang dapat diteliti dan ditelusuri berdasarkan makna namanya, lokasi dan arti kedudukannya dalam percaturan negara.

Ditilik dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito. Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak.

Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas). Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung galuh.

Dilihat dari lokasi Surabaya sekarang, berdasarkan prasasti Klagen, lokasi Hujunggaluh itu sebagai jalabuhan. Artinya, tempat bertemu para pedagang lokal dan antarpulau yang melakukan bongkarmuat barang dengan perahu. Diperkirakan, kampung Galuhan sekarang yang ada di Jalan Pawiyatan Surabaya, itulah Hujunggaluh, Di sini ada nama kampung Tembok. Konon tembok itulah yang membatasi laut dengan daratan.

Tinjauan berdasar arti kedudukannya, pada tahun 905, Hujunggaluh tempat kedudukan “parujar i sirikan” (prasati Raja Balitung, Randusari, Klaten). Parujar adalah wali daerah setingkat bupati. Bisa diartikan, bahwa Hujunggaluh pernah menjadi ibukota sebuah daerah setingkat kabupaten, satu eselon di bawah kedudukan “raka i sirikan”, pejabat agung kerajaan setelah raja.

Nah, sejak kapan Hujunggaluh berubah menjadi Surabaya? Mamang, perubahan nama tidak sama dengan penggantian tanggal lahir atau hari jadi. Namun, hingga sekarang belum ada satupun prasasti atau data otentik yang resmi menyebut perubahan nama Hujunggaluh menjadi Surabaya.

Mitos dan mistis sejak lama mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos Cura-bhaya yang dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang ini tentunya dapat dihubungkan pula dengan mitologi dalam mencari hari jadi Surabaya. Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya dapat direkonstruksi dari berbagai sudut pandang.

Bencana alam meletusnya gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya perubahan di muara kali Brantas dengan anaknya Kalimas. Garis pantai Hujunggaluh bergeser ke utara. Timbul anggapan pikiran mistis yang mengingatkan kembali kepada pertarungan penguasa lautan, yakni ikan hiu yang bernama cura, melawan penguasa darat, buaya (bhaya). Dalam dunia mistis kemudian menjadi mitos, bahwa untuk menghentikan pertikaian antara penguasa laut dengan darat itu, maka digabungkan namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau sekarang Surabaya.

Mitos ikan dengan buaya ini sudah ada pada abad XII-XIII, sebagai pengaruh ajaran Budha Mahayana melalui cerita Kuntjarakarna. Reliefnya terpahat di dinding gua Selamangleng, Gunung Klotok, Kediri.

Bagaimanapun juga, mitos ikan dan buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya, hanyalah merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi mitos cura-bhaya, hanya berlaku di Hujunggaluh. Cura-bhaya adalah nama baru pengganti Hujunggaluh sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai lautan dan daratan.

Asal-usul Penduduk

Penduduk Surabaya boleh dikatakan berasal dari pendatang. Para pendatang mulai menatap dan mendirikan perkampungan di sekitar pelabuhan dan berkembang sampai ke darat, terutama di pinggir Sungai Kalimas yang merupakan anak Sungai Kali Brantas. Lama kelamaan, nama Ujunggaluh mulai dilupakan, dan namanya berubah menjadi Surabaya di bawah pemerintahan Adipati Jayengrono. Pusat Pemerintahan Adipati Jeyangrono ini diperkirakan di sekitar Kramat Gantung, Bubutan dan Alun-alun Contong saat ini.

Ada temuan sejarah yang mencantumkan pada abad ke-15, bahwa waktu itu di Surabaya sudah terjadi kehidupan yang cukup ramai. Tidak kurang 1.000 (seribu) KK (Kepala Keluarga) bermukim di Surabaya. Orang Surabaya yang dicatat pada data itu umumnya keluarga kaya yang bertempat tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka melakukan kegiatan bisnis dan usaha jasa di pelabuhan.

Dari hari ke hari penduduk Surabaya terus bertambah, para pendatang yang menetap di Surabaya umumnya datang melalui laut. Ada yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Sumetera. Di samping ada yang berasal dari daratan Jawa datang terbanyak melalui sungai Kali Brantas dan jalan darat melewati hutan. Tidak hanya itu, para pelaut itu juga banyak yang berasal dari Cina, India dan Arab, serta Eropa.

Warga pendatang di Surabaya itu, hidup berkelompok. Misalnya, mereka yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi atau suku Melayu dari Sumatera, di samping bermukim di pantai, juga banyak yang membangun perumahan di daerah Pabean dan Pegirian. Sedangkan pendatang dari ras Arab banyak bermukim di sekitar Masjid Ampel.

Etnis Cina menempati kawasan Kembang Jepun, Bongkaran dan sekitarnya. Ini terkait dengan dermaga pelabuhan waktu itu berada di sungai Kalimas, di sekitar Jembatan Merah sekarang. Jumlah warga pendatang terus-menerus terjadi, akibat semakin pesatnya kegiatan dagang dan perkembangan budaya di Surabaya.

 

Pengikut Sunan Ampel

Khusus masyarakat di sekitar Ampel, sebagian besar adalah rombongan yang ikut bersama Sunan Ampel dari wilayah Mojopahit pada abad 14. Berdasarkan Babad Ngampeldenta, Sunan Ampel melakukan aktivitas di Surabaya sekitar tahun 1331 M hingga 1400 M. Jumlah rombongan Sunan Ampel itu berkisar antara 800 hingga 1.000 keluarga.

Dalam buku Oud Soerabaia (1931) karangan GH von Faber, halaman 288 dinyatakan Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga (drieduezend huisgezinnen}

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis saat kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel, ia disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.

Sejak berdirinya permukiman di Surabaya, pertumbuhan penduduk berkembang cukup pesat. Ada yang datang melalui laut maupun transportasi melalui sungai. Umumnya yang melewati sungai adalah warga yang datang dari arah Blitar, Madiun, Tulungagung, Kediri dan lain-lainnya. Mojokerto yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, menjadikan Surabaya sebagai pelabuhan lautnya. Mereka mendirikan permukiman di sepanjang Kalimas, anak Kali Brantas yang dijadikan poros lalulintas utama saat itu. Kemudian menyebar sampai ke Keputran, Kaliasin, Kedungdoro, Kampung Malang, Surabayan dan Tegalsari.

Setelah koloni dagang dari Eropa yang dimotori bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda datang dan menetap di Surabaya, di tahun 1500-an, mereka mendirikan gudang dan tempat tinggal di sekitar pusat pemerintahan Adipati Surabaya, yakni di sekitar Alun-alun Contong, Bubutan, Gemblongan, Blauran, Pasar Besar dan wilayah sekitarnya.

Belanda yang merupakan koloni dagang rempah-rempah terbesar saat itu, mulai membentuk pemerintahan. Tanpa disadari oleh Bangsa Indonesia, Belanda mulai mencengkeramkan “kukunya” di Bumi Pertiwi ini sebagai penjajah. Termasuk di Surabaya.

 

Jumlah Penduduk

Ketika pemerintahan kota pertama kali dibentuk tanggal 1 April 1906, penduduk Kota Surabaya berjumlah 150 ribu orang lebih. Limabelas tahun kemudian, dalam cacah jiwa atau sensus penduduk tahun 1920, penduduk Surabaya tercatat 192.180 orang. Sepuluh tahun kemudian pada sensus penduduk tahun 1930, warga Kota Surabaya sudah berkembang menjadi 341.675 orang.

Pada zaman Jepang, di bulan September 1943 diselenggarakan cacah jiwa (sensus penduduk) Kota Surabaya (Surabaya Syi). Jumlah penduduk Surabaya waktu itu tercatat 518.729 orang.

Dalam sensus penduduk tahun 1961 tercatat resmi 1.007.945 jiwa dan tahun 1971 naik lagi menjadi 1.556.255 jiwa. Tahun 1980 penduduk resmi yang terdaftar sebagai penduduk Surabaya berkembang menjadi 2.027.913 jiwa dan tahun 1990 naik menjadi 2.473.272 jiwa.

Anehnya, data dari Dinas Kependudukan Kota Surabaya yang dikeluarkan pada bulan Mei 2004, seolah-olah jumlah penduduk Surabaya dari tahun 1990 hingga tahun 1999 “berkurang”. Padahal ini tidak mungkin, justru sebaliknya. Manakah data kependudukan yang akurat? Mustahil penduduk Surabaya berkurang, yang pasti, penduduk Surabaya terus bertambah.

Data resmi yang disajikan memang begitu kenyataannya. Tahun 1999 penduduk Surabaya tercatat 2.406.944 jiwa. Tahun 2000 sebanyak 2.443.558 jiwa, tahun 2001 bertambah jadi 2.473.461 jiwa, tahun 2002 naik lagi jadi 2.504.128 jiwa dan akhir tahun 2003 menjadi 2.656.420 jiwa. Data pada akhir April 2004, warga kota Surabaya berjumlah 2.659.566 jiwa.

Data inipun dikutip oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berikutnya, yakni saat dikepalai oleh Drs.H.Hartojo. Sama dengan sebelumnya, sensus penduduk tahun 2000, penduduk Surabaya berjumlah 2.443.558 orang.

Secara rinci, dinas kependudukan dalam buku Informasi Kependudukan Kota Surabaya tahun 2004 berturut-turut disebutkan, penduduk Surabaya tahun 2001 sebanyak: 2.473.461 orang, tahun 2002 bertambah jadi: 2.504.128, tahun 2003 tambah lagi menjadi: 2.656.420 orang dan tahun 2004 menjadi: 2.859.655 orang.

Tahun 2006 hingga Agustus, tercatat jumlah penduduk Surabaya: 2.987.456 orang. Pada awal tahun 2007 diperkirakan sudah mencapai 3,3 juta orang.

Dari BPS (Biro Pusat Statistik) lain lagi. Tahun 1992 penduduk Surabaya berjumlah 2.259.283 jiwa, kemudian tahun berikutnya ditulis sebagai berikut: 1993 (2.286359 jiwa), 1994 (2.306.474 jiwa), 1995 (2.339.335 jiwa), 1996 (2.347.520 jiwa), 1997 (2.356.487 jiwa), 1998 (2.373.282 jiwa), 1999 (2.407.146 jiwa), 2000 (2.444.956 jiwa), 2001 (2.599.512 jiwa).

Data tentang jumlah penduduk Kota Surabaya, dalam “Resume” RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Surabaya yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, berbeda lagi.

Penduduk Surabaya tahun 2001 hingga 2005, kemudian proyeksi penduduk Surabaya tahun 2006 hingga 2013 adalah sebagai berikut:

Tahun 2001 (2.452.222 jiwa), 2002 (2.471.557 jiwa), 2003 (2.485.761 jiwa), 2004 (2.509.833 jiwa), 2005 (2.528.777 jiwa). Proyeksi tahun 2006 (2.547.586 jiwa), 2007 (2.566.257 jiwa), 2008 (2.584.894 jiwa), 2009 (2.603.258 jiwa), 2010 (2.621.558 jiwa), 2011 (2.639.724 jiwa), 2012 (2.657.766 jiwa) dan tahun 2013 (2.675.671 jiwa).

Umumnya para pejabat dan politisi di Surabaya dewasa ini menyebut angka rata-rata penduduk Surabaya adalah sekitar 3 juta jiwa lebih.

Di samping penduduk tetap, ada penduduk tetap tetapi tidak terdaftar. Di kota Surabaya juga bermukim penduduk musiman. Akhir 2008 jumlahnya mencapai 20 ribu jiwa. Kecuali itu, sebagai sebuah kota dengan kegiatan ekonomi dan pemerintahan di berbagai sektor, ada penduduk siang dan penduduk malam. Penduduk pada siang hari di bisa mencapai 5 sampai 6 juta jiwa. Pada malam hari, penduduk Surabaya sebagian besar pulang dan tidur di Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Lamongan, Bangkalan, Pasuruan, bahkan di Malang***

 

 

 

*) Yousri Nur Raja Agam MH, Ketua Yayasan Peduli Surabaya

Hari Jadi Provinsi Jawa Timur


Berdasarkan Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1929 No.2

Hari Lahir

Provinsi Jawa Timur

5 Januari 1929

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH

SUNGGUH memalukan, kalau para petinggi dan pengambil keputusan di Jawa Timur ini “membohongi” sejarah. Sebenarnya, hari lahir atau hari jadi Provinsi Jawa Timur ini datanya sudah ada di Surabaya, Jawa Timur ini. Jadi tidak perlu harus jauh-jauh pergi ke negeri Belanda sana mencari dokumennya.

Tidak sedikit buku lama di perpustakaan yang ada di Jawa Timur dan kota-kota lain di Indonesia, mermasuk di Museum Pusat dan di gedung Perpustakaan Nasional di Jakarta data dan dokumen tentang sejarah bangsa Indonesia.

Sebagaimana sekarang, ramai dipergunjingkan tentang pro-kontra rencana kunjungan kerja (kunker) anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur ke luar negeri. Salah satu di antara kunker itu adalah ke Negeri Belanda. Di negeri kincir angin itu, para anggota dewan yang terhormat ini “hanya” akan bertamu ke museum sejarah dan perpustakaan untuk mencari data tentang Hari Jadi Jawa Timur (HJJT).

Perbincangan miring yang santer terhadap rencana kunker itu, karena obyeknya cukup menggelikan. Sebab, kalau hanya untuk sekedar mencari dan menelusuri HJJT, tidak harus anggota dewan beramai-ramai ke sana. Di samping waktunya sangat pendek dan pola penelusuran seperti itu tidak logis. Padahal biaya untuk ke sana cukup besar, apalagi menggunakan uang rakyat yang diambil dari APBD Jatim.

Kalau itu berkaitan dengan sejarah, maka seyogyanya serahkanlah kepada ahlinya, yakni mereka yang ahli di bidang sejarah. Sekarang ini, tidak sedikit ahli dan pemerhati sejarah yang potensial dengan tersistem bisa dimanfaatkan. Tidak perlu berbondong-bondong meninggalkan kantor di Jalan Indrapura nomor 1 Surabaya. Sesampainya di sana, toh juga masih bingung, karena “maaf” yang ke sana itu tidak semuanya mampu berbahasa Belanda dan memiliki basis disiplin ilmu sejarah.

Ratusan, bahkan puluhan mahasiswa Indonesia, saat ini sedang menuntut ilmu di berbagai negara, termasuk di Negeri Belanda. Di antaranya, juga sedang menggali sejarah bangsa ini. Mereka bisa “dititipi” atau ditugaskan khusus untuk memperoleh tanggal yang pasti tentang HJJT dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk itu tidak ada salahnya “disisihkan” sedikit anggaran sebagai uang lelah kepada mereka yang mau menelusuri sejarah melalui buku-buku dan arsip masa lalu di museum atau perpustakaan di sana.

Sebenarnya, kalau mau serius, di negara kita sendiri tidak sedikit perpustakaan dan museum yang mampu mengungkap HJJT itu. Tidak sulit. Misalnya sedikit mempunyai kemampuan menerjemahkan bahasa asing, misalnya Belanda. Sebab, data lama tentang HJJT itu, mungkin banyak dari dokumen berbahasa Belanda.

Tanpa ke Negeri Belanda pun, data akurat dan positif bisa diperoleh di negeri sendiri. Tidak usah jauh-jauh membuang tenaga, waktu dan biaya ke sana. Sebab, di museum dan perpustakaan yang ada di Indonesia ini, baik di Jakarta atau kota-kota lain, maupun di Surabaya sendiri data itu ada. Hanya sayang, anggota dewan kita yang terhormat itu “malu” berkunjung ke rumah tetangga sendiri.

Di Kota Surabaya saja, tidak sedikit buku-buku lama peninggalan zaman dulu tersimpan dengan rapi. Saking jarangnya buku-buku itu dijamah apalagi dibaca, buku-buku itu tetap saja tersusun rapi dan indah bak hiasan di rak buku perpustakaan.

Saya sudah melakukan penelusuran “tanpa biaya” ke beberapa perpustakaan. Ternyata cukup banyak data dan dokumen yang memapu mengungkap sejarah Provinsi Jawa Timur. Penulis berhasil menghimpun berbagai bahan yang berhubungan dengan HJJT itu. Kalau mau jujur, seharusnya sesuatu yang berhubungan dengan sejarah, harus menggunakan kaidah ilmu sejarah. Salah satu unsur itu adalah tidak “membohongi” sejarah, hanya karena kepentingan. Kalau itu merupakan fakta sejarah, walupun pahit sekalipun, bahkan menyangkut harga diri dan martabat, harus tetap dijadikan dasar.

Berdasarkan SK Gubernur Jatim No.188/101/KPTS/013/2007 tanggal 5 Maret 2007 lalu sudah terbentuk Tim HJJT. Uniknya, tim itu sudah menetapkan HJJT tanggal 19 Agustus 1945. Sebab, pada tanggal 19 Agustus 1945 itulah sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan delapan propvinsi di Indonesia sebagai kepanjangantangan Pemerintah Republik Indonesia. Dari delapan provinsi itu, termasuk Provinsi Jawa Timur. Artinya, Provinsi Jawa Timur ini lahir bersamaan dengan delapan provinsi pada awal kemerdekaan RI itu.

Nah, kalau memang tanggal 19 Agustus 1945 yang ditetapkan sebagai HJJT, itu berarti Provinsi Jatim ini berulangtahun serentak dengan tujuh provinsi lainnya di Indonesia, yakni: Provinsi Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Sebelumnya tim HJJT punya empat tanggal alternatif, yakni:

Pertama, tanggal 28 Desember 1255, yakni masa kejayaan Kerajaan Singasari yang konon wilayahnya mencakup wilayah Jawa Timur sekarang ini.

Kedua, tanggal 14 Agustus 1636, di masa Kerajaan Mataram memperkenalkan istilah “Bang Wetan” yang ditafsirkan sebagtai sebutan untuk Jawa Timur.

Ketiga, tanggal 1 Januari 1929, di zaman Hindia Belanda, saat ditingkatkannya status Oost Java (Jawa Timur) dari Gewest menjadi Provincie.

Keempat, tanggal 19 Agustus 1945, sebagai tanggal ditetapkannya delapan provinsi di Indonesia – salah satu di antaranya Provinsi Jawa Timur – sebagai kepanjangantangan Pemerintah Pusat di daerah.

Saya selaku pemerhati sejarah dan membaca berbagai sumber dari buku lama, ternyata ke empat tanggal alternatif itu yang paling mendekati adalah akternatif yang ketiga. Namun, saya lebih cenderung, bergeser sedikit, tidak tanggal 1 Januari, tetapi tanggal 5 Januari 1929. Di bawah ini, penulis uraikan landasan hukumnya.

5 Januari 1929

Konon tim sudah sepakat memilih tanggal 19 Agustus 1945 sebagai HJJT (Hari Jadi Jawa Timur). Alasannya, keputusan sidang PPKI itu merupakan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 18 yang diikuti dengan Maklumat Pemerintah yang mengangkat Raden Mas Tumanggung Aryo (RMTA) Soeryo sebagai Gubernur Jawa Timur.

Bahan kajian lain, adalah adanya struktur organisasi pemerintahan Provinsi Jawa Timur dikuatkan dengan berhimpunya 8 (delapan) keresidenan yang masing-masing dipimpin oleh residen.

Penelusuran “pribadi” yang dilakukan penulis, diperoleh data yang cukup akurat dan mempunyai dasar hukum, HJJT itu yang tepat adalah tanggal 5 Januari 1929.

Jadi, secara resmi Jawa Timur dinyatakan sebagai provinsi memang tanggal 5 Januari 1929. Penetapan itu termaktub dalam Undang-Undang No.2 tahun 1929 Pemerintahan Hindia Belanda atau Staatsblad van Nedelandsch-Indie tentang bentuk pemerintahan lokal di Jawa dan Madura. Undang-undang ini disahkan berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.25 tanggal 5 Januari 1929.

Pada buku Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1929 No.2 tentang bentuk pemerintahan di Jawa dan Madura ini, ditetapkan pula kelahiran Provincie West Java (Jawa Barat) dengan ibukota Batavia (Jakarta), Provincie Oost Java (Jawa Timur) dengan ibukota Surabaya dan Gewest Midden Java (Jawa Tengah) dengan ibukota Semarang.

Secara rinci untuk Jawa Timur, wilayahnya dibagi menjadi 15 keresidenan, yakni: Surabaya, Mojokerto, Grisce (Gresik), Bojonegoro, Madiun, Ponorogo, Kediri, Blitar, Pasuruan, Malang, Probolinggo, Bondowoso, Jember, West Madura (Madura Barat) dan Oost Madura (Madura Timur).

Masing-masing keresidenan membawahkan Afdelingen (Kabupaten) yang dipimpin oleh Regent (bupati), di bawahnya ada Districten (Kewedanaan) – dikepalai oleh wedana dan di bawahnya ada Onderdistricten (Kecamatan) – dipimpin oleh asisten wedana (camat).

Dalam sejarah yang selama ini disebarluaskan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, memang sudah menetapkan, bahwa Pemerintahan Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jawa Timur untuk pertama kalinya tahun 1929 dan berakhir saat kedatangan balatentara Jepang tahun 1942.

Memang benar, secara berturut-turut Gubernur Jawa Timur itu adalah: M.Ch.Handerman (1929-1931), Ch.De Han (1931-1933), J.H.B.Kuneman (1933-1936), Ch.O.vd.Plas (1936-1941) dan Mr.Ch.Hartevelt (1941-1942).

Sebenarnya Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, sudah “mengakui” bahwa Pemerintahan Provinsi Jawa Timur itu ada sejak tahun 1929 dengan para gubernurnya seperti tersebut di atas. Selama ini, pengakuasn itu dibuktikan, dengan dipajangnya gambar dan foto-foto gubernur yang pernah memerintah di zaman Belanda tersebut di kantor Gubernur Jatim di Jalan Pahlawan 110 Surabaya dan gedung negara Grahadi Jalan Gubernur Suryo 7 Surabaya. Bahkan, inipun tertulis di buku-buku resmi terbitan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Berjajar dengan foto-foto gubernur pendahulu di zaman Hindia Belanda itu, juga terpajang berderet nama, foto dan tahun masa jabatan para gubernur di zaman Indonesia merdeka hiingga sekarang. Nama-nama gubernur tersebut adalah: RT Soerjo (1945-1948), Dr,Moerdjani (1948-1949), R.Samadikoen ((1949-1957), RTA Milano (1957-1959), R.Soewondo Ranuwidjojo (1959-1963), Moch Wijono (1963-1967), RP Mohammad Noer (1967-1971 dan 1971-1976), H.Soenandar Prijosoedarmo (1976-1981 dan 1981-1983), H.Wahono (1983-1988), H.Soelarso (1988-1993), HM Basofi Soedirman (1993-1998), H.Imam Utomo (1998-2003 dan 2003-2008).

Kalau “mau jujur” tim HJJT tidak usah membohongi sejarah. Apalagi berdalih untuk mencari data yang akurat, harus pergi ke Negeri Belanda. Anehnya lagi, walaupun nanti tim HJJT ini “melancong” ke negeri “kincir angin” itu, tanggal yang bakal ditetapkan adalah tanggal 19 Agustus 1945. Nah, apa yang dilakukan para anggota dewan terhormat ini bersama staf Pemprov Jatim, apakah tidak mubazir?

Untuk itu, saya sangat yakin tanggal yang tepat sebagai HJJT yang mempunyai kekuatan hukum adalah tanggal 5 Januari 1929, yakni tanggal ditetapkannya UU No.2 tahun 1929 atau Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1929 No.2 tentang pembentukan pemerintahan lokal di Jawa dan Madura yang menetapkan Jawa Timur sebagai Provinsi. Tanggal 5 Januari ini bisa diuji berdasarkan pendapat dan kajian para ahli, meupun pemerhati sejarah.

Oleh sebab itu, tidak tepat kalau tanggal 19 Agustus 1945 yang dijadikan tanggal HJJT (Hari Jadi Jawa Timur) sebagaimana Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang HJJT yang sekarang sedang diproses tim HJJT bersama Komisi A DPRD Jatim. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Jatim.

Datuk Raja Agam dan Negeri Meulaboh, Aceh


Pasir Karam pun

Jadi Meulaboh.

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

SERING kali, ketika saya masih anak-anak, di tahun 1960-an nenek saya bercerita tentang peristiwa perang Paderi dan perang Aceh. Perang Paderi yang dalam sejarah pemimpinnya disebut Tuanku Imam Bonjol dengan para panglima perang lainnya yang disebut Harimau nan Salapan (Harimau yang delapan). Perang paderi itu, dalam buku sejarah disebutkan terjadi tahun 1825 hingga 1837.

Sedangkan perang Aceh dipimpin oleh Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien, Cik Di Tiro dan lain-lain, terjadi tahun 1884 sampai 1904.

Begitu asyiknya mendengar cerita yang berulang-ulang itu, membuat saya di masa kecil menjadi penasaran. Saya akhirnya menyenangi cerita-cerita perang.

Secara kebetulan pula, di tahun 1958 hingga tahun 1961, daerah kami di Bukittinggi, Kabupaten Agam, Sumetera Barat memang sedang dilanda peperangan. Perang saudara antara rakyat Sumatera Barat yang mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) melawan Pemerintah Pusat. Perang itu, mulai mereda di tahun 1960-an.

Waktu itu usia saya masih sekitar 10 hingga 15 tahunan. Nenek saya, Siti Arab yang saat itu berusia sekitar 80 tahun, lancar bercerita tentang perang Paderi. Bahkan berlanjut pula dengan cerita tentang Perang Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien. Cerita nenek saya ini bukan pengalamannya secara langsung, tetapi juga cerita dari ibunya, moyang atau buyut kami, bernama Siti Arafah.

Nenek moyang kami Siti Arafah itulah yang tahu banyak tentang cerita perang Paderi dan perang Aceh. Sebab beliau mengalami peristiwa pengungsian saat perang Paderi, maupun perang Aceh. Nenek saya kakak-beradik, Siti Arab dan Siti Syariah bagaikan pita rekaman (tape recorder) yang diputar ulang, berceritakan tentang kisah perjalanan Siti Arafah dari Luhak Agam di Minangkabau bersama rombongan ke Pasir Karam di Aceh Barat.

Nenek moyang kami itu, terpaksa mengungsi, menghindari pertumpahan darah dengan saudara sendiri sesama orang Minang dan sama-sama beragama Islam. Waktu itu, kaum Paderi membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan si Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Mungkin seperti terlihat sekarang ini, antara Muhammadiyah (yang menganut ajaran Wahabi) dengan NU (Nahdlatul Ulama) yang menyatakan diri sebagai Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan ada pula yang menyebut seperti ajaran Syi’ah.

Pokoknya, kira-kira demikian, ujar nenek Siti Arab (yang kami panggil amai gaek) dan adiknya Siti Syariah (yang akrab kami panggil amai Iyah).

Nah, inti cerita adalah tentang makin kuatnya garakan Paderi melakukan penyerangan terhadap kaum adat yang menguasai Kerajaan Minangkabau di istana Pagaruyung. Dampaknya berpengaruh kepada para penghulu pemangku adat, yakni para datuk yang menjadi kepala suku di luhak nan tigo. Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Koto. (Luhak-luhak tersebut sekarang disebut kabupaten).

Salah seorang datuk yang merupakan kaum bangsawan dari keluarga Kerajaan Minangkabau itu, adalah Datuk Rajo Agam, penghulu suku Sikumbang di Luhak Agam. Bersama Datuk Rajo Alam dari Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh Koto, mereka bersepakat menghindari pertumpahan darah, mengungsi ke arah Utara. Dengan menaiki beberapa perahu di pelabuhan Tanjung Mutiara rombongan berlayar ke arah Utara. Dan berlabuh di suatu negeri pantai yang waktu itu bernama Pasir Karam.

Nenek saya mengatakan, kita punya banyak saudara dan keluarga di Aceh. Terutama di Meulaboh dan Tapak Tuan. Di kedua negeri yang berada di Aceh Barat itu banyak orang Minang, termasuk keturunan dari kakek moyangmu Datuk Raja Agam yang sudah turun temurun di sana. Dan, nama Meulaboh itu berasal dari kata melabuh atau berlabuh.

Sewaktu saya kuliah di Bandung, saya punya sahabat bernama Zulkifli M.Din Malik yang berasal dari Meulaboh. Kami sama-sama kuliah di Akademi Tekstil dan tinggal bersama pula di rumah kontrakan di Jalan Tamansari Bandung. Zulkifli mengatakan, ia merasakan berkumpul dengan saudara sendiri, sebab dalam kisah keluarganya, disebutkan nenek moyangnya berasal dari Minangkabau.

Ternyata belum lama ini, kisah yang diceritakan nenek saya itu saya temukan di salah satu situs di internet. Ceritanya, sangat mirip dengan kisah dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara, karangan HM Zainuddin mengungkap tentang asal usul Kota Meulaboh.

Nyak Kaoey, menurunkan tulisan tentang riwayat negeri Meulaboh. Secara utuh, tulisan itu saya sajikan seperti di bawah ini.

Riwayat Negeri Meulaboh

Meulaboh dulu dikenal sebagai Negeri Pasir Karam. Kedatangan orang Minangkabau yang lari dari negerinya membuat perkebunan di daerah itu maju. Ungkapan “Disikolah kito berlaboh” disebut-sebut sebagai asal mula nama Meulaboh.

Menurut H M Zainuddin dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara (1961) asal mula Meulaboh adalah Negeri Pasir Karam. Negeri itu dibangun dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.

Di negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.

Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). Sampai di Teluk Pasir Karam pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh “Disikolah kito berlaboh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata berlaboh.

Pendatang dari Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara mereka malah ada yang menjadi pemimpin diantaranya: Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu.

Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.

Sama dengan masyarakat setempat, ketiga Dtuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka lading, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yan dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.

Ketika menghadap Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.

Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama Teuku Tjiek Purba Lela. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.

Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.

Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hokum Syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teungku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.

Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah (1841-1870) karena semakin banyaknya orang-orang dari Minangkabau yang pindah ke sana, karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda. Di sana mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.

Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keudruen Tjiek Ujong Kala.

Disebut Kaway XVI karena fedrasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.

Selain federasi Kaway XVI, di perbatasan Aceh Barat dan Pidie juga terbentuk federasi XII yang terdiri dari 12 Uleebalang yaitu: Pameu, Ara, Lang Jeue, Reungeuet, Geupho, Reuhat, Tungkup/Dulok, Tanoh Mirah/Tutut, Geumpang, Tangse, Beunga, serta Keumala. Federasi XII ini dipalai oleh seorang Kejruen yang berkedudukan di Geumpang.***

Surabaya Raya Layak Menjadi Provinsi

Oleh: H.M.Yousri Nur Raja Agam

BEBERAPA tahun lalu sebagian warga kota dan pejabat di Pemerintahan Kota (Pemkot) Surabaya, “pernah bermimpi”, akan menjadikan Kota Surabaya sama dengan Jakarta. Kota Surabaya dan sekitarnya akan menjadi sebuah provinsi yang dikapelai oleh seorang gubernur. Kalau Jakarta dikenal dengan sebutan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya, maka Surabaya yang juga sebagai kota besar kedua setelah Jakarta akan menggunakan nama “Surabaya Raya”.

Mimpi itu memang belum pernah menjadi kenyataan. Bahkan, perwujudan Surabaya menjadi satu kesatuan dengan wilayah sekitar yang dikenal dengan Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan) juga belum jelas. Koordinasi antarpemerintahan Gerbang Kertosusila yang awal tahun 1980-an begitu gencar menghadapi tahun 2000, sekarang terlihat sirna.

Pada era reformai sekarang, gairah membangun dan koordinasi antarwilayah bertetangga, kelihatannya tenggelam oleh apa yang disebut otonomi daerah. Masing-masing kota dan kabupaten berjalan sendiri-sendiri tanpa menganggap perlu ‘kulonuwun’ kepada pemerintahan provinsi. Sebab, memang begitu aturannya. Pemerintahan provinsi yang dipimpin gubernur sejak ditetapkannya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah (otda) bukan lagi atasan para bupati dan walikota.

Ternyata UU No.22 tahun 1999 tidak berumur panjang. UU ini diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pertimbangan UU No.32 tahun 2004 itu dinyatakan bahwa UU No.22 tahun 1999 tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

Kalau masing-masing kepala pemerintahan kota dan kabupaten, seperti juga kota Surabaya, tidak peduli lagi dengan wilayah tetangga, apakah ‘mimpi’ menjadikan Surabaya sebagai Provinsi Surabaya Raya dapat diwujudkan? Dan apakah masih perlu ‘mimpi’ 20 tahun yang silam itu bakal menjadi kenyataan? Memang, dampak pelaksanaan UU No.22/1999 tentang otda itu di berbagai daerah cukup beragam. Terjadi pemekaran wilayah. Kalau sebelumnya provinsi di Indonesia ini ada 27 provinsi termasuk Timor Timur, sekarang setelah Timor Timur terlepas dari pemerintahan Republik Indonesia, provinsinya justru bertambah menjadi 32 provinsi. Kabupaten dan kota juga bertambah, begitu juga pemekaran kecamatan. Umumnya pembentukan provinsi baru merupakan pemekaran dari pemisahan bekas keresidenen. Di samping itu, juga ada yang berasal dari kabupaten yang wilayahnya luas. Contohnya Provinsi Banten, Gorontalo, Maluku Utara, Bangka Belitung, Irian Jaya Barat, Kepulauan Riau dan Sulawesi Barat.

Pernah Diajukan Moehadji Widjaja

Nah, Kota Surabaya juga mengalami hal yang sama. Kalau sebelumnya di Surabaya ini terdapat 28 kecamatan, terjadi penambahan akibat pemekaran menjadi 31 kecamatan dengan jumlah kelurahan tetap 163. Kendati demikian, pemerintahan kota ini berubah strukturnya. Kota Surabaya yang pernah dibagi menjadi lima wilayah: Surabaya Pusat, Surabaya Utara, Surabaya Selatan, Surabaya Timur dan Surabaya Barat, yang masing-masing wilayah dikepalai Pembantu Walikota, kini kembali hanya di bawah satu tangan, walikota.

Saat Kota Surabaya – waktu itu disebut Kotamadya – dibagi menjadi lima wilayah, gambaran Surabaya akan menjadi sebuah provinsi mulai terasa. Para kepala wilayah yang disebut Pembantu Walikota itu, hanya selangkah lagi menjadi walikota. Apalagi, keinginan menjadikan Surabaya terbagi menjadi kota-kota administratif itu sudah pernah diusulkan Walikota Surabaya Drs.Moehadji Widjaja kepada Gubernur Jatim Soenandar Projosoedarmo tanggal 23 Oktober 1979. Surat itupun diteruskan oleh gubernur Jatim kepada Mendagri tanggal 29 November 1979.

Pada akhir tahun 1979 ini Kota Surabaya masih terbagi tiga wilayah: Surabaya Utara, Surabaya Timur dan Surabaya Selatan. Waktu itu, perubahan status wilayah kerja Pembantu Walikota menjadi kota-kota administratif benar-benar menjadi impian pejabat Pemkot Surabaya, karena jabatan walikota administratif adalah jabatan karir tertinggi di bawah Sekwilda (Sekretaris Wilayah Daerah) – sebutan waktu itu sebelum diganti menjadi Sekretaris Kota (Sekkota) sekarang ini.

Ternyata impian para “walikota-walikota kecil” – istilah untuk para pembantu walikota atau kepala wilayah – di Surabaya itu benar-benar pupus. Apalagi, dengan berlakunya UU No.22/1999 tentang Otda, sebutan kota administratif dihapus. Kini Kota Surabaya, tanpa pembagian wilayah, strukturnya dari walikota langsung kepada 31 camat dan masing-masing camat membawahkan lurah yang tersebar di 163 kelurahan.

Kalau ditelusuri bentuk pemerintahan kota Surabaya ini ke belakang, memang asyik dijadikan bahan kajian. Walaupun Surabaya dinyatakan lahir 711 tahun yang lalu, pemerintahan kota sendiri baru dibentuk secara resmi tanggal 1 April 1906 oleh Pemerintahan Hindia Belanda dengan sebutan Gemeente Surabaia, berdasarkan Instellings Ordonantie Staatblad 1906 nomor 149.

Waktu itu luas kekuasaan kepala Gemeente Surabaya yang semula dirangkap Asisten Residen Afdeling (Kabupaten) Surabaya, hanya 103 kilometer per-segi atau sama dengan luas ibukota Keresidenan Surabaya. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1916, barulah ditetapkan kepala pemerintahan kota pertama untuk Kota Surabaya yang disebut Burgermeester atau walilkota, yakni: Mr.A.Meyroos.

Silih berganti pemerintahan kota dijabat oleh orang Belanda, sampai digantikan oleh Shi Tyo (walikota) bangsa Jepang, Takahashi Ichiro tahun 1942-1945 dengan wakil walikota, Radjamin Nasution. Setelah penjajah Jepang kalah, dalam pemerintahan Indonesia merdeka, jabatan walikota dipegang oleh bangsa Indonesia sendiri. Walikota Surabaya yang pertama adalah: Radjamin Nasution gelar Sutan Komala Pontas. Saat Belanda berkuasa kembali, selama dua bulan pemerintahan kota Surabaya sempat dipegang oleh kepala urusan Haminte, Mr.OJS Becht. Setelah itu, walikota Surabaya berturut-turut diganti oleh Mr.Indrakoesoema, Mr.Soerjadi, Doel Arnowo, Moestadjab Soemowidigdo, R.Istidjab Tjokrokoesoemo, Dr.R.Satrio Sastrodiredjo, Murachman SH, R.Soekotjo, HR Soeparno, Drs.Moehadji Widjaja, dr.H.Poernomo Kasidi, H.Sunarto Sumoprawiro dan sekarang Drs.Bambang Dwi Hartono, MPd.

 

Provinsi Surabaya Raya

Gagasan “besar” memisahkan Surabaya dari Jawa Timur dan membentuk provinsi sendiri, sangat dimungkinkan. Payung hukumnya kuat, yakni Undang-undang No.22 tahun 1999 maupun Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Untuk itu, ada baiknya perkembangan Surabaya dari dulu hingga sekarang dapat dijadikan kajian.

Dulu, di awal kemerdekaan Republik Indonesia, bentuk pemerintahan kota Surabaya sampai akhir tahun 1960, disebut Kota Besar Surabaya. Waktu itu masih satu kewedanaan dengan 6 kaonderan dengan luas wilayah 6.720 hektar. Kaonderan itu adalah: Nyamplungan, Krembangan, Kapasan, Kranggan, Ketabang dan Kupang. Di bawah enam kaonderan itu terdapat pemerintahan terendah berupa 36 lingkungan.

Berdasarkan Keputusan Mendagri No.PEM.20/3/15-17 tanggal 31 Oktober 1960, Kota Surabaya yang luasnya masih 6.720 hektar itu dibagi menjadi tiga kewedanaan dan 11 kaonderan. Kewedanaan itu adalah Surabaya Barat, yang membawahi 4 Kaonderan, yakni: Krembangan, Semampir, Pabean Cantikan dan Bubutan. Kewedanaan Surabaya Timur, terdiri dari 3 Kaonderan, yaitu: Simokerto, Tambaksari dan Gubeng. Kewedanaan Surabaya Selatan dengan 4 Kaonderan, yakni: Genteng, Tegalsari, Sawahan, Wonokromo.

Pada tahun 1965 terjadi perubahan luas wilayah Kota Besar Surabaya menjadi 29.178 hektar. Sesuai dengan Undang-undang No.2 tahun 1965, lima kecamatan yang semula masuk wilayah Kabupaten Surabaya (sekarang bernama Kabupaten Gresik), dimasukkkan menjadi wilayah Kota Surabaya. Ke lima kecamatan itu adalah: Tandes, Rungkut, Wonocolo, Sukolilo dan Karangpilang.

Dengan penambahan luas dan kecamatan dari “jabakota” – istilah untuk kecamatan di pinggir (luar) kota Surabaya – itu, maka sebutan kaoderan di Kota Besar Surabaya berubah menjadi kecamatan. Sebutan Surabaya berubah dari Kota Besar menjadi Kotamadya. Tahun 1968, Walikotamadya Surabaya, R.Soekotjo, dengan SK No.677/K tanggal 9 Oktober 1968 membagi Kotamadya Surabaya menjadi 16 kecamatan dan 38 lingkungan.

Gubernur Jawa Timur dengan Surat Keputusan No.PEM/128/22/SK/Ds. Tanggal 13 Maret 1975 membagi wilayah Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya menjadi 3 wilayah kerja Pembantu Walikotamadya, 16 kecamatan, 103 desa dan 60 kelurahan yang berasal dari pemekaran 38 lingkungan. Kemudian, berdasarkan UU No.5 tahun 1974, istilah sebutan desa di dalam Kotamadya Surabaya diubah menjadi kelurahan, sehingga jumlah kelurahan di Surabaya menjadi 163 kelurahan.

Perkembangan pembangunan yang terus meningkat dan penduduk terus bertambah, maka Surabaya dikembangkan lagi menjadi 5 wilayah kerja pembantu Walikota, yakni: Surabaya Utara, Surabaya Selatan, Surabaya Timur, Surabaya Barat dan Surabaya Pusat. Dari 16 kecamatan pada tahun 1978, pemekaran terus terjadi, hingga sekarang di Kota Surabaya menjadi 31 kecamatan. Berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999, tidak ada lagi sebutan pembagian wilayah yang dikepalai pembantu walikota. Dan ke 31 camat itu langsung berada di bawah komando walikota. Istilah Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya (Pemda Tk.II Kodya), juga diubah menjadi Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

Pembangunan yang cukup gencar di masa Orde Baru, dengan cepat mengubah bentuk Surabaya sebagai “Kota Metropolitan”. Daya tarik penduduk dari luar kota berurbanisasi ke kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta ini sulit dibendung. Apalagi peningkatan aktivitas sektor ekonomi memang membutuhkan banyak Sumber Daya Manusia (SDM) dalam berbagai tingkatan dan profesi.

Kota Surabaya yang berjuluk Kota Pahlawan ini benar-benar semakin memperlihatkan fungsinya sebagai Kota Indamardi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan). Jumlah penduduknya yang mencapai 3 juta jiwa itu, pada siang hari bisa menjadi dua kalilipat, karena kegiatan ekonomi dan kunjungan masyarakat dari luar Surabaya.

Untuk menjaga keseimbangan dengan kawasan sekitar Surabaya, maka jauh-jauh hari di awal tahun 1980-an Pemerintah Kota Surabaya bersama Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah merancang filter urbanisasi. Daerah sekitar Kota Surabaya dikoordinasikan dalam kegiatan pembangunan sarana dan prasarana wilayah. Mulai dari pembangunan jalan beserta utilitas pendukungnnya. Koordinasi antar instansi di Pemprov Jatim dengan Pemkot Surabaya, Pemkab Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan dan Bangkalan terus ditingkatkan.

Akhirnya terwujudlah apa yang dinamakan dengan wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Ke lima kabupaten di sekeliling Surabaya ini menjadi penyangga kepadatan penduduk dan aktivitas di Kota Surabaya. Kegiatan ekonomipun kemudian berkembang di wilayah sekitar ibukota provinsi Jawa Timur ini. Peningkatan grafik yang terjadi di wilayah Gerbang Kertosusila ini, justru mengundang pendatang baru dari berbagai daerah. Tidak hanya dari wilayah Jawa Timur dan Jawa bagian Tengah, tetapi juga dari wilayah Indonesia bagian Timur.

Penduduk Kota Surabaya ditambah dengan lima wilayah yang disebut Gerbang Kertosusila ini mendominasi hampir 30 persen penduduk Jawa Timur, atau sekitar 12 juta jiwa. Tanpa adanya koordinasi dan pengaturan bersama kegiatan ekonomi dan pembangunan di wilayah ini, dapat berakibat terjadinya ketidakseimbangan. Apabila merujuk kepada sistem pemerintahan berdasarkan Undang-undang No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.32 tahun 2004, bisa terjadi kompetisi tidak sehat antara satu wilayah dengan wilayah tetangga.

Berkaca kepada wilayah lain di Indonesia, ternyata rakyat dan pemerintahan daerahnya sangat cepat mengantisipasi kenyataan. Salah satu di antaranya, adalah pemekaran wilayah dengan pembentukan provinsi baru. Kalau sebelum tahun 2000, wilayah Indonesia masih terdiri 27 provinsi termasuk Timor Timur, sekarang ini tanpa Timor Timur justru Indonesia memiliki 33 provinsi.

Di Sumatera, lahir dua provinsi baru, yakni Provinsi Babel (Bangka-Belitung) dan Provinsi Kepri (Kepulauan Riau). Jawa Barat melepas eks Keresidenan Banten menjadi Provinsi Banten, begitu pula dengan Sulawesi Utara, melepas wilayah Gorontalo menjadi provinsi sendiri. Provinsi Maluku dibagi dua: Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Hal yang sama terjadi pula di Irian Jaya. Dari rencana membentuk tiga provinsi, di sana sudah lahir Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat. Sulawesi Selatan juga membagi wilayahnya dengan Provinsi Sulawesi Barat.

Dan, saat ini di Provinsi Jawa Barat, sedang terjadiupaya pembentukan Provinsi Bodebek, yakni gabungan kabupaten dan kota Bogor, Kota Depok, kabupaten dan kota Bekasi. Rencana Provinsi Bodebek ini, untuk mengimbangi pembangunan yang demikian pesat dari tetangga wilayahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya.

Jawa Timur Pecah Lima

Bahkan wacana mendirikan provinsi baru juga merebak di Jawa Timur. Seperti ada keinginan sebagian warga Madura memisahkan diri, menjadikan Pulau Madura sebagai provinsi. Juga ada gagasan mendirikan Provinsi Jawa Selatan di wilayah Mataraman. Provinsi ini akan menggabungkan eks keresidenan Madiun di Jatim dengan eks keresidenen Surakarta di Jawa Tengah. Ada lagi yang bakal bernama Provinsi Jipang Panolan di Jawa Utara, yang meliputi gabungan eks keresidenan Bojonegoro di Jatim dengan eks keresidenen Jepara di Jawa Tengah.

Berpijak dan berpandangan kepada kepentingan masa depan yang lebih jauh, maka impian atau gagasan pembentukan Provinsi Surabaya Raya yang pernah diajukan ke Mendagri tahun 1979 lalu tentu layak untuk dipertimbangkan kembali. Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur dan DPRD Kota Surabaya, serta DPRD kabupaten sekitar Surabaya dalam wilayah Gerbang Kertosusila tentu perlu mengembangkan cakrawala pandangnya demi masa depan bangsa.

Apakah kelak yang bakal dibentuk itu namanya Provinsi Surabaya Raya atau Gerbang Kerto Susila, atau bisa juga menjadi Provinsi Suramadu (Surabaya-Madura). Sebab, untuk membentuk Provinsi Madura sendiri masih ditemui banyak kendala. Nah, bukan tidak mungkin, dengan terwujudnya jembatan penyeberangan laut dari Surabaya ke Madura, wilayah ini semakin menyatu.

Namun bagaimanapun juga, semua itu perlu perencanaan yang matang dalam segala segi.

Wacana pemekaran Jawa Timur menjadi lebih dari satu provinsi, awal tahun 2006 menggeliat kembali. Dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Jawa Timur, sepeti diungkap oleh Ir.Edy Wahyudi, ketua Pansus RTRW DPRD Provinsi Jawa Timur, ada rencana untuk memindahkan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Timur ke Pandaan, Pasuruan. Andaikata ini terwujud, maka proses pembentukan Surabaya dan sekitarnya menjadi provinsi akan semakin licin.

Kabupaten dan Kota yang direncanakan masuk ke Provinsi Surabaya Raya adalah: Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Kota Mojokerto.

Tidak hanya wacana Surabaya Raya yang bakal menjadi provinsi, Madura dengan kepulauannya sampai ke perbatasan Selat Makasar, juga akan mendirikan Provinsi Madura. Ada empat kabupaten di Pulau Madura, yaitu: Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

Demikian pula halnya dengan kabupaten dan kota di wilayah “Mataraman”. Kabupaten dan Kota eks Keresidenan Madiun (Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Ngawi) juga sedang menjajaki untuk mendirikan provinsi sendiri, memisahkan diri dari Jawa Timur. Namanya Provinsi Jawa Selatan.

Provinsi Jawa Selatan ini tidak hanya kabupaten dan kota di eks Keresidenan Madiun saja, tetapi bergabung pula dengan sepuluh kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang bertetangga dengan Jawa Timur. Kabupaten dan kota itu adalah: Kabupaten Wonogiri, Kota Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kota Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kota Karanganyar, Kabupaten Surakarta, Kota Surakarta, Kabupaten Sragen dan Kota Sragen.

Seandainya nanti ada pemekaran Jawa Timur menjadi Provinsi Surabaya Raya, Provinsi Madura,  Provinsi Jawa Selatan dan Provinsi Jipang Panolan (Jawa Utara), maka Kabupaten dan Kota di Jawa Timur akan berkurang dari 38 Kabupaten dan Kota. ***

100 Pahlawan Nasional Belum Diabadikan di Surabaya

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

SELAIN nama Proklamator Sukarno-Hatta dan Roeslan Abdulgani, petinggi Kota Surabaya bersama DPRD-nya seharusnya tergerak hatinya untuk mengabadikan seluruh nama Pahlawan Nasional dan “orang yang berjasa” kepada bangsa dan Kota Surabaya ini.

Walaupun terlambat, kita harus berbuat. Sebagai Kota Pahlawan tentu Surabaya “wajib” menghormati para pahlawan, terutama Pahlawan Nasional – pahlawan yang telah disahkan dengan Surat Keputusan Presiden RI (Keppres) – serta pahlawan lokal yang digolongkan sebagai orang yang berjasa di daerah.

Pemerintah sudah menetapkan dengan Keppres sebanyak 118 nama sebagai pahlawan nasional, pahlawan perjuangan nasional, pahlawan pergerakan nasional, pahlawan kemerdekaan nasional, pahlawan pembela kemerdekaan, pahlawan revolusi, pahlawan Ampera dan pahlawan pembangunan.

Setiap tahun, pemerintah terus mendata dan menerima masukan dari masyrakat tentang tokoh yang diajukan untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Nama-nama tokoh perjuangan di berbagai daerah sekarang “antre” menunggu pengesahan. Namun, Pemerintah Kota Surabaya termasuk yang kurang aktif mengusulkan nama-nama calon pahlawan nasional.

Selain sebagai Kota Pahlawan, Surabaya juga terkenal sebagai kota tempat kelahiran beberapa tokoh nasional Budi Utomo, yakni Dr.Sutomo. Sehingga, setiap peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, Surabaya menjadi salah satu pusat kegiatan. Sebab, di Jalan Bubutan Surabaya, terletak makam Dr.Sutomo.

Di Kota Surabaya pula lahir, besar dan berjuang beberapa pahlawan nasional, seperti HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansur, Dr.Ir.H.Sukarno, RMTA Suryo (Gubernur Suryo), Marsda Anumerta Iswahyudi dan Letjen Anumerta MT Haryono. Dan, dua nama besar yang juga bersemayam dan dimakamkan di Kota Pahlawan Surabaya adalah Drs.Sutomo dari Gerakan Budi Utomo dan Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Kendati beberapa nama besar yang juga layak disebut sebagai pahlawan nasional, tetapi belum juga memperoleh Keppres. Di antara nama yang seharusnya sudah memperoleh julukan pahlawan nasional adalah: Sutomo (Bung Tomo), Mayjen Prof.Dr.Mustopo, Mayjen Sungkono, Mayjen HR Muhammad Mangunprodjo, Residen Sudirman, Letjen H.Sudirman, Jenderal Kehormatan (Hor) Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani dan masih banyak nama lain yang berjasa dalam peristiwa 10 November 1945.

Selain nama Kombes Pol M.Duryat yang merupakan pahlawan dari Kepolisian RI (Polri), ada beberapa nama besar yang juga layak diabadikan di Kota Pahlawan ini. Nama Kombes Pol M.Duryat yang tewas dibunuh pemeberontak PKI bersama Gubernur RT Suryo, diabadikan di Surabaya menjadi nama jalan antara Jalan Basuki Rahmat dengan Jalan Kedungsari.

Polisi Istimewa merupakan kebanggaan Arek Suroboyo di tahun 1945. Sebab, keberadaan Polisi Istimewa yang merupakan cikal-bakal Brigade Mobil (Brimob) itu lahir di Surabaya. Di balik itu ada nama Moehammad Jasin, pimpinan Polisi Istimewa yang kemudian menjadi Komandan Brimob Jatim.

Untuk tahap awal, Pemkot Surabaya belum mengabadikan nama-nama pahlawan dari kepolisian sebagai nama jalan. Tetapi, tetapi cukup nama kesatuannya saja, yakni Jalan Polisi Istimewa yang mengambil nomor awal (1-19 dan 2-32) Jalan Dr.Sutomo mulai dari Jalan Dinoyo sampai perempatan Jalan Darmo.

Penetapan nama Jalan Polisi Istimewa ini bersamaan dengan penetapan Jalan Mas TRIP sebagai pengganti Jalan Raya Kedurus, Jalan Tentara Geni Pelajar (TGP) perubahan Jalan Patua dan Jalan BKR Pelajar yang memotong Jalan Jimerto bagian timur mulai pesimpangan Jalan Jimerto dengan Jalan Wijaya Kusuma.

Perlu Dikoreksi

Nama-nama jalan di Surabaya perlu dikoreksi dan diubah, tidak hanya berdasar “selera pengusaha pengembang (real estate)”, tetapi berdasarkan keberanian Pemkot Surabaya untuk menetapkannya. Kita harus mulai sekarang, tidak perlu ditunda lagi.

Kalau sebagian masyarakat Surabaya keberatan mengubah nama-nama jalan di pusat kota di sekitar Jalan Tunjungan menjadi nama-nama pahlawan, karena keterkaitannya dengan sejarah Surabaya, maka alternatif harus dicari. Sekali lagi, nama-nama Pahlawan Nasional dan “orang yang berjasa” harus segera diabadikan di Kota Pahlawan Surabaya ini.

Mungkin, kawasan Dharmahusada Indah, Manyar Kertoarjo, Kertajaya Indah, Prapen, Jemursari dan Kendangsari dapat dijadikan sebagai “proyek percontohan”.

Kendati kawasan elite di Surabaya Timur itu teratur, namun sistem penomorannya masih belum seragam. Ada yang sudah berpatokan kepada jalan raya yang di kiri bernomor ganjil dan kanan bernomor genap, tetapi secara umum sistem blok masih dipertahankan. Nantinya, kalau nama jalan itu berdasarkan nama pahlwan, tentu sistem blok akan dengan sendirinya terlupakan.

Beranikah Pemkot Surabaya berhadapan dengan pengembang yang membangun kawasan itu, juga warganya. Sebab, bagaimanapun juga untuk mengubah nama jalan perlu pengorbanan dan ada yang menjadi korban. Pengertian korban di sini adalah, perubahan berbagai administrasi, mulai KTP, KK, surat-surat penting lainnya, termasuk berbagai surat yang berkaitan dengan hukum.

Perubahan nama jalan memang bukan yang tidak biasa dilakukan. Jadi, kalau ada kemauan dan kebersamaan dengan semua pihak, niscaya perubahan nama jalan dapat dilaksanakan tanpa hambatan. Memang, untuk itu perlu ada sosialisasi yang tidak akan menimbulkan gejolak, apalagi di era reformasi ini.

Apabila “proyek percontohan” ini dapat dilaksanakan, maka banyak nama jalan lain di Surabaya yang perlu diubah menjadi nama pahlawan dan “orang yang berjasa”. Misalnya kawasan sekitar Balaikota, nama jalannya diubah menjadi nama-nama mantan walikota, seperti nama Jalan Walikota Mustajab yang sebelumnya bernama Ondomohen. Jalan Sedap Malam, Jalan Jimerto, Jalan Pacar, Jalan Kecilung, Jalan Ngemplak dan Jalan Ambengan, bisa diganti.

Nama-nama mantan gubernur Jatim, selain Gubernur Suryo, juga banyak yang layak diabadikan. Misalnya Gubernur Samadikun. Kota Malang dan Sidoarjo, bahkan sudah mengabadikan nama Gubernur Sunandar Prijosoedarmo sebagai nama jalan. Nah, di Surabaya, nama-nama mantan gubernur Jatim dapat diabadikan mengganti nama jalan yang berawal embong, seperti Embong Trengguli, Embong Wungu, Embong Sawo, Embong Tanjung dan lain-lain.

Sebenarnya apa yang dilakukan pimpinan TNI-AL yang menetapkan nama-nama pahlawan khusus di TNI-AL di kawasan perumahan TNI-AL Kenjeran patut ditiru. Saat perumahan itu dibangun, nama jalannya langsung ditetapkan dengan nama-nama para prajurit TNI-AL yang gugur dalam peperangan.

Pahlawan Nasional

Nah, mari kita simak dari nama-nama Pahlawan nasional di bawah ini, baru berapa nama yang diabadikan di Kota Pahlawan Surabaya. Dimulai dengan Pahlawan Proklamator Sukarno-Hatta dan kemudian nama pahlawan itu kita urut berdasarkan abjad, yakni: Abdul Muis, Abdul Rahman Saleh (Marsda, Prof,Dr), Adi Sucipto (Marsda), Ageng Serang (Nyi), Agus Salim (Haji), Ahmad Dahlan (KH), Ahmad Yani (Jenderal), Albertus Sugiopranoto (dr), Antasari (Pangeran), Arie Frederik Lasut.

Berikutnya: Bagindo Azischan, Basuki Rahmat (Jenderal), Cipto Mangunkusumo (dr), HOS Cokroaminito, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Dewi Sartika, Diponegoro (Pangeran), Donald Ifak (DI) Panjaitan (Mayjen), Fachruddin (KH), Fatmawati Sukarno, Ferdinand Lumban Tobing (dr), Frans Kaisiepo, Gatot Subroto (Jenderal), Halim Perdanakusuma (Marsda), Harun bin Said (Kopral KKO), Sultan Hasanuddin, Hasyim Asyari (KH), Ki Hajar Dewantara.

I Gusti Ngurah Rai (Kolonel), I Gusti Ketut Jelantik (Patih), Iswahyudi (Marsda), Juanda Kartawijaya (Ir,H), Karel Satsuit Tubun (AIP), Kartini (Raden Ajeng), Katamso Dharmokusumo (Brigjen), Kusuma Atmadja (DR,SH), Maria Walanda Maramis, Martha Khristina Tiahahu, Marthen Indey, Mas Mansur (KH), Muhammad Husni Thamrin, Muhammad Yamin ( Prof, SH), MT Haryono (Letjen), Muwardi (dr), Nuku Muhammad Amiruddin Kaicil Paparangan

Otto Iskandardinata, Pakubuwono VI, Pangeran Sambernyawa, Pattimura (Kapten), Piere Tandean (Kapten), Raden Inten II, Raden Saleh, Rasuna Said (Rangkayo,Hajjah), RE Martadinata (Laksamana), Sahardjo (dr,SH), Samanhudi (KH), Sam Ratulangi (dr), Setiabudi (dr, Douwes Dekker atau Danu Dirjo), Silas Papare, Si Singamangaraja XII, Siswondo Parman (Letjen), Siti Walidah (Hj, Nyi Ahmad Dahlan).

Sudirman (Jenderal), Sugiono Mangunwiyoto (Kolonel), Suharso (Prof,Dr) Sukarjo Wiryopranoto, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Agung Anyorokusumo, Sultan Iskandar Muda, Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Thoha Syafiudin, Supeno, Supomo (Prof,Dr,SH), Suprapto (Letjen), Supriyadi, Suroso (Raden Panji), Suryo Pranoto (RM), Suryo (RM, Gubernur), Sutan Syahrir, Sutomo (dr), Sutoyo Siswomiharjo, Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Teuku Nyak Arif, Teuku Umar, Tengku Amir Hamzah, Tengku Cik Ditiro, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, Untung Surapati, Urip Sumoharjo (Letjen), Usman bin M.Ali (Serda KKO), Wage Rudolf Supratman, Wahid Hasyim (KH), Wahidin Sudirohusodo (dr) WZ Yohannes (Prof,Dr), Wolter Robert Monginsidi, Yosaphat Sudarso (Laksda), Yusuf Tajul Khalwati (Syekh), Zaenal Mustafa (KH), Zainul Arifin (KH).

Nah, dari nama-nama pahlawan nasional itu, baru beberapa nama yang diabadikan di Kota Pahlawan Surabaya ini. Sungguh memprihatinkan. ***